Selasa, 18 Juni 2013

KONSEP DASAR PEMBIAYAAN PENDIDIKAN



MODUL 1
KONSEP DASAR PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Oleh: NN

I.      Pendahuluan
Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan baik ditingkat makro (negara) maupun di tingkat mikro (lembaga) pembiayaan merupakan unsur  yang multak harus tersedia. Sebagai contoh pemerintah Republik Indonesia sesuai amanat Undang-Undang setiap tahunnya telah mencanangkan alokasi anggaran pendidikan sebesar minima 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), demikian pula pemerintah daerah setiap tahun menetapkan anggaran untuk pendidikan seperti untuk gaji guru dan gaji tenaga kependidikan lainnya di daerah. Dalam konteks lembaga atau organisasi, sekolah setiap tahun menyusun Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang menunjukkan bagaimana perencanaan pendapatan dan penggunaan biaya untuk keperluan operasional sekolah. Penggunaan biaya tersebut menggambarkan pola pembiayaan dalam pendidikan. Dengan demikian pada semua tingkatan penyelenggaraan pendidikan pembiayaan merupakan hal yang sangat penting untuk turut menjamin terlaksananya pendidikan.
Secara konseptual hal tersebut sejalan dengan unsur-unsur utama dalam organisasi yaitu man (manusia), material (bahan-bahan), money (uang) dan method (metode). Dengan demikian pembiayaan akan terkait dengan ketersediaan unsur uang dalam organisasi, termasuk organisasi pendidikan. Pembiayaan untuk pendidikan berarti merencanakan bagaimana uang tersebut diperoleh dan bagaimana menggunakan uang tersebut untuk keperluan kegiatan pendidikan di tingkatan satuan pendidikan atau wilayah tertentu.
          Namun demikian, dalam memahami pembiayaan pendidikan tersebut kita perlu memahami  konsep dan teori dasar yang dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana dasar pemikiran pembiayaan pendidikan, pola pembiayaan pendidikan dan tujuan yang ingin dicapai dari suatu aktivitas pembiayaan pendidikan. Dalam kaitan ini mengapa negara turut bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan dan bagaimana peran instutusi dan masyarakat dalam membiayai pendidikan. Hal tersebut akan dijelaskan dalam modul ini.
Pemahaman tentang pembiayaan pendidikan juga akan membawa kita pada bagaimana praktik pembiayaan dan kebijakan pembiayaan pendidikan di berbagai negara. Pemahaman atas implementasi pembiayaan pendidikan dan kebijakannya diharapkan dapat memperkuat pemahaman tentang relevansi antara teori dan konsep dasar pembiayaan pendidikan mengingat berbagai negara memiliki karakteristik tersendiri dalam pola pembiayaan pendidikannya.
          Memperhatikan hal di atas maka konsep dasar pembiayaan pendidikan akan mencakup tentang: teori dasar ekonomi pendidikan dan pengertian pembiayaan pendidikan, model-model pembiayaan pendidikan di negara maju dan kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia.
Dengan demikian setelah menyelesaikan modul konsep dasar pembiayaan pendidikan ini secara umum Anda diharapkan dapat:
1.       Menjelaskan teori dasar ekonomi pendidikan yang menjadi dasar pembiayaan pendidikan
2.       Menguraikan pengertian pembiayaan pendidikan
3.       Menjelaskan model-model pembiayaan pendidikan di negara-negara maju
4.       Menjelaskan kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia.
Modul ini terdiri dari 4 kegiatan belajar yaitu: Human Capital Theory dan Cost and Benefit Analysis dalam Konteks Pembiayaan Pendidikan, Pengertian dan Pendekatan dalam  Pembiayaan Pendidikan, Model-Model Pembiayaan Pendidikan Negara Maju dan Negara Berkembang dan Kebijakan Pembiayaan di Indonesia.

II.    Kompetensi Umum

Setelah mempelajari modul ini Anda diharapkan dapat memahami dan menjelaskan aspek teoritis pembiayaan pendidikan, pengertian serta model-model pembiayaan yang ada di negara maju dan negara berkembang.

III.                Kompetensi Khusus

 Adapun kompetensi khusus yang diharapkan dapat Anda capai setelah mempelajari modul ini yaitu Anda diharapkan dapat:
1. Memahami teori dasar ekonomi pendidikan yang menjadi dasar pembiayaan pendidikan, pembiayaan pendidikan, model-model pembiayaan pendidikan di negara-negara maju dan negara berkembang, serta kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia.
2.  Mampu menyebutkan teori dasar ekonomi pendidikan yang menjadi dasar pembiayaan pendidikan, pembiayaan pendidikan, model-model pembiayaan pendidikan di negara-negara maju dan negara berkembang, serta kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia.
3.  Mampu menganalisa mengenai model-model pembiayaan pendidikan di negara-negara maju dan negara berkembang, serta kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia.


IV.      Petunjuk Belajar    
Pelajarilah uraian singkat materi pertemuan 1 di bawah ini, kembangkan pemahaman anda dengan memperdalam dan mengembangkannya dari berbagai sumber, kemudian kerjakanlah bagian latihannya untuk mengukur tingkat pemahaman anda terhadap materi yang telah dipelajari.



























Kegiatan Belajar 1

Human Capital Theory dan Cost and Benefit Analysis dalam Konteks Pembiayaan Pendidikan

A.   Human Capital Theory and Cost Benefit Analysis
Teori human capital adalah suatu pemikiran yang menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital atau barang modal sebagaimana barang-barang modal lainnya, seperti tanah, gedung, mesin, dan sebagainya. Human capital dapat didefinisikan sebagai jumlah total dari pengetahuan, skill, dan kecerdasan rakyat dari suatu negara. Investasi tersebut (human capital) dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh tingkat konsumsi yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Walaupun kontroversi mengenai diperlakukannya human resources sebagai human capital belum terselesaikan, namun beberapa ekonom klasik dan neo-klasik seperti Adam Smith, Von Threnen, dan Alfred Marshall sependapat bahwa human capital terdiri dari kecakapan-kecakapan yang diperoleh melalui pendidikan dan berguna bagi semua anggota masyarakat. Kecakapan-kecakapan tersebut merupakan kekuatan utama bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa  human  capital  (modal  tenaga  kerja)  merupakan  dana  individu  yang diinvestasikan  untuk  memperoleh  keahlian,  pengetahuan  dan  pengalaman.  Investasi  dalam  human  capital membutuhkan  pengorbanan  pada masa  sekarang tetapi dapat meningkatkan aliran pendapatan pada masa yang akan datang.
Walaupun sistem pendiidkan telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, namun baru tahun 1940 an orang mulai sadar akan hubungan pendidikan dan latihan terhadap pertumbuhan ekonomi. Seorang ekonom asal Amerika Serikat, John Kendrick mengidentifikasi hasil penelitian bahwa selama tahun 1919 sampai dengan tahun 1957 pendapatan nasional Amerika Serikat bertambah 3,2% setahun sedangkan modal dan tenaga kerja hanya bertambah 1,1 % per tahun. Hal ini berarti bahwa terdapat selisih sebesar 2,1 persen yang merupakan hasil peningkatan produkstivitas kerja sebagai akibat perbaikan manajemen dan teknologi, perbaikan gizi dan kesehatan serta peningkatan kualitas pekerja akibat pendidikan dan latihan.
Hasil penelitian serupa juga diperoleh Edward F Denison yang menunjukkan bahwa 23% dari pertambahan pendapatan nasional amerika Serikat dari tahun 1929 sampai dengan 1957 merupakan kontribusi pertambahan kualitas pekerja akibat peningkatan pendidikan.  Dengan demikian pandangan human capital merupakan implikasi dari keinginan dunia industri dan pemerintah pada saat itu untuk meningkatkan pendapatan melalui investasi di bidang sumber daya manusia. Hal itu sebagai bentuk kesadaran bahwa manusia merupakan modal yang penting dalam pencapaian hasil ekonomi yang optimal.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Bahwa sumber daya ada tiga macam, yaitu sumber daya alam (natural resources), sumber daya manusia (human resources), dan sumber daya modal (capital resources).Yang dibahas di sini adalah sumber daya manusia yang titik beratnya pada modal manusia (human capital). Tujuan dari pengembangan sumber daya manusia adalah untuk meningkatkan mutunya dan penggunaannya. Tentang tujuan ini dikemukakan secara singkat dalam Statement Budapest dan Jakarta Plan of Action. Ada dua aspek utama dalam pengembangan sumber daya manusia, yaitu aspek mikro, yaitu yang berkenaan dengan pengembangan pribadi, dan aspek makro, yang berkenaan dengan sarana, fasilitas, dan iklim yang berkenaan dengan pengembangan pribadi.
Upaya pengembangan tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan Pelatihan dilakukan dengan maksud untuk membentuk, mempersiapkan, membina, dan meningkatkan kemampuan-kemampuan manusia (peserta didik) dan penggunaannya. Oleh karena pengembangan tersebut dilakukan dengan mengorbankan konsumsi pasa saat pengembangan berlangsung dan ditujukan untuk memperoleh tingkat konsumsi yang lebih tinggi di masa yang akan datang, maka pada hakikatnya kegiatan tersebut merupakan investasi, yaitu investasi dalam sumber daya manusia (human capital). Jadi pendidikan dan latihan mempunyai peranan yang penting, bukan hanya menambah pengetahuan, tetapi juga meningkatkan produktivitas kerja. Sebagai human capital, maka pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang ditempuh setelah sekolah wajib belajar.
Pendidikan dan latihan dapat dilakukan di luar sekolah, antara lain melalui on the job training, institusional training, apprenticeship traning, dan up-grading training. On the job training diberikan kepada mereka yang resmi berstatus pegawai. Ada dua bentuk pelatihan yaitu in-service training dan pre-service training. Pelatihan kelembagaan (institusional training) dilakukan melalui organisasi dan pengembangan sistem secara integral sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Pelaksanaannya biasanya dilakukan oleh perguruan tinggi. Pelatihan tingkat teknis dan pelatihan tingkat pekerja tangan. Kemudian pelatihan magang. Pelatihan ini diberikan kepada mereka yang akan diangkat menjadi pegawai/pekerja. Selanjutnya pelatihan upgrading. Pelatihan ini dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kecerdasan dari mereka yang telah mempunyai tugas tertentu.
  1.  
    1. Peningkatan mutu pendidikan dapat dilaksanakan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Standar hasil pendidikan mungkin akan berbeda antarsekolah dan antardaerah akan menghasilkan standar kompetensi nasional dalam tingkatan standar minimal, normal (mainstream) dan unggulan.
    2. Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan
    3. Peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan dan level operasional melalui komite atau dewan sekolah. Komite ini terdiri dari kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh masyarakat dan perwakilan siswa. Peran komite ini meliputi perencanaan, implementasi, monitoring serta evaluasi program kerja sekolah.
    4. Pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini berkenaan dengan penerapan formula pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan, upaya pemerataan mutu pendidikan dengan adanya standar kompetensi minimal serta pemerataan pelayanan pendidikan bagi siswa pada seluruh lapisan masyarakat.

Sejauh ini  masih terdapat perbedaan pendapat mengenai konsep human capital, termasuk juga perbedaan pendapat mengenai pengukurannya. Menurut Mary Jean Bowman perbedaan pendapat tersebut bersumber pada dua hal, yaitu Pertama mengenai persoalan apakah kapital (human capital) itu sebagai persediaan (store) ataukah sebagai input terhadap produksi. Kedua, berkenaan dengan pembobotan. Dalam pembobotan ini terlihat adanya upaya-upaya untuk memperlakukan ukuran-ukuran kuantitatif dan kualitatif dalam satuan-satuan human capital. Namun belum ada kesepakatan mengenai perlakuan pengukuran kuantitatif dalam human capital.
Suatu ukuran pendididikan yang diwujudkan dalam labor force (satuan tenaga kerja) dapat digunakan untuk mengubah kualitas menjadi kuantitas. Komponen-komponen pendidikan kemudian menjadi variabel yang spesifik yang dapat dibandingkan dengan kapital fisik, dan ukuran angkatan kerja dalam pertumbuhan ekonomi. Sebagai konsekuensinya, maka satuan kapital didefinisikan dalam pengertian yang terbatas, yaitu dalam labor force, yang dapat diukur dengan beberapa cara, antara lain ialah:
  1. Number of school years
  2. Efficiency-equivalence units
  3. Base-year lifetime earned income
  4. Approximations to base year real cost
  5. Approximations to current real cost
Ada beberapa persoalan pengukuran pembentukan human capital menurut pendekatan dasar biaya. Ukuran-ukuran pembentukan kapital neto menemui beberapa kesulitan, antara lain.
    1. Berkenaan dengan masalah kompleksnya hubungan antara konsumsi dan investasi.
    2. Adalah berkenaan dengan bagaimana memperlakukan pengangguran dalam memperkirakan opportunity cost.


Ace Suryadi (1991) mengungkapkan bahwa menurut teori human capital  tercermin keterampilan, pengetahuan dan produktivitas sumber daya manusia. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa terdapat model investasi dalam bentuk sumber daya manusia yang secara langsung atau tidak melakukan hubungan antara indikator pendidikan di satu pihak dan indikator ekonomi di lain pihak. Model yang dimaksudkan adalah model analisis biaya dan keuntungan pendidikan (cost benefit analysis). Model ini merupakan metodologi yang sangat penting dalam melakukan analisis untuk investasi pendidikan dan dapat membantu pengambilan keputusan untuk memutuskan dan memilih diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas agar mampu memberikan kemampuan yang paling tinggi.

B.    Kaitan Teori Dasar Ekonomi Pendidikan dalam Pembiayaan Pendidikan

Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Nilai Balikan Pendidikan

Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain
Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.

Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di depan Mahasiswa Pasca UPI Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah
2. Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan
3. Kesenjangan tingkat pendidikan
4. Good Governance yang belum berjalan secara optimal
5. Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata
6. Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik
7. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK
8. Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien
9. Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalahan tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : 1. Perluasan dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.

Nilai Ekonomi Pendidikan

Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya.
Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.
Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Asumsi darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.

Intervensi Ekonomi Secara Spesifik Pada Pendidikan

Pendapat yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.
Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjeba untuk mengukut peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan oefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan disana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diteraka secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

Dalam hal pembiayaan pendidikan ini, Fattah (2001) menjelaskan bahwa biaya yang rendah berpenggaruh terhadap kualitas pendidikan di Sekolah Dasar dan proses belajar–mengajar serta kualitas outcomes yang dihasilkan. Artinya ada korelasi yang positif antara besarnya biaya pendidikan terhadap peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Oleh karena itu perencana pendidikan harus menggunakan sebaik mungkin sumber daya yang tersedia, mengawasi  penggunaan sumber daya yang ada terhadap permintaan atas sumber daya tersebut, dan mensupport setiap argumen dengan analisa kuantitatif dengan menggunakan bantuan cost analysis ini.
Mengukur biaya dan manfaat (cost benefit analysis) dalam hitungan ekonomi atau keuangan, hal ini diekspresikan dalam bentuk konsep rasio antara present value dari biaya dengan present value dari manfaat di masa depan yang diharapkan (digunakan istilah rate of return on the investment). Tujuan dari setiap analisa cost-benefit ini adalah untuk membandingkan opportunity cost dari suatu project dengan benefit yang diharapkan, diukur dengan tambahan pendapatan yang akan terjadi di masa depan sebagai hasil dari suatu investasi.
Penghitungan ini bisa mengevaluasi pendidikan sebagai suatu investasi baik sebagai individu maupun untuk masyarakat. Kalkulasi private rate of return terhadap investasi pendidikan menunjukkan sejauh mana keuntungannya bagi individu bersangkutan atau untuk keluarganya dengan berinvestasi dalam pendidikan. Sedangkan social rate of return menyediakan yardstick dalam mengevaluasi pendidikan sebagai suatu investasi sosial. Keduanya melihat biaya pendidikan sebagai suatu investasi sosial. Keduanya melihat biaya pendidikan sebagai suatu opportunity cost.
Private costs of education” terdiri dari pengeluaran untuk biaya sekolah, buku, peralatan, travel, dan pendapatan yang seharusnya didapat bila tidak kuliah. Sedangkan “social cost” terdiri dari seluruh pengeluaran biaya kuliah, nilai bangunan & peralatan sekolah, dan pendapatan yang didapat bila tidak kuliah.
Benefit ekonomi pendidikan diukur dari pendapatan tambahan sepanjang hidup seorang pekerja yang terdidik. Benefit dalam konteks ini  adalah manfaat yang diterima oleh peserta didik sebagai hasil atau perolehan dari proses pendidikan yang ditempuhnya. Manfaat yang diterima dapat berupa pengetahuan, keterampilan yang bermuara pada kemandirian kerja guna memperoleh pendapatan. Dalam kaitan ini, pendapatan orang dengan tingkat pendidikan yang berbeda dapat dilihat dari usia kemampuan, latar belakang sosial. Walaupun sulit mengukur benefit langsung atau tidak langsung dari pendidikan, setidak-tidaknya dapat diukur dengan rate of return to education dengan menggunakan discounted cash flow techniques dengan mengukur present value baik dari biaya yang dikeluarkan dan benefit yang akan diterima. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa:
·         Rate of return dari seluruh bentuk pendidikan bernilai positif di hampir seluruh negara, dan rate of return dari pendidikan dasar dan  menengah lebih tinggi dari pada pendidikan tinggi. Penjelasan dari hal tersebut adalah manfaat yang diberikan dari pendidikan dasar dan menengah lebih tinggi daripada manfaat yang diterima dari pendidikan tinggi
·         Secara konsisten, private rate of return lebih tinggi daripada social rate of return, mengindikasikan bahwa pendidikan lebih menguntungkan sebagai bentuk investasi untuk individu, daripada untuk masyarakat secara keseluruhan.

Latihan Kerja
1.       Jelaskan yang dimaksud dengan human capital theory, berikan penjelasan terkait dengan investasi di bidang sumber daya manusia
2.       Buatlah suatu bagan atau diagram tentang hubungan antara human capital theory dan pembiayaan pendidikan
3.       Uraikan bentuk private cost education yang Anda pahami, berikan contoh.

Petunjuk Jawaban Latihan
1.       Untuk menjawab soal latihan tersebut, cobalah Anda cermati uraian tentang human capital theory dan investasi dalam pendidikan dari sumber-sumber yang relevan.
2.       Untuk menjawab pertanyaan no 2 Anda dapat melakukan penelaahan pada jawaban yang telah Anda uraikan untuk No. 1, selanjutnya Anda dapat menentukan hubungan dan keterkaitan dari masing-masing aspek tersebut.
3.       Untuk menjawab pertanyaan No. 3 Anda dapat membaca kembali konsep tentang Private costs of educationpada bagian B kegiatan belajar ini.

Rangkuman
Teori human capital  mencerminkan keterampilan, pengetahuan dan produktivitas kerja. Model yang digunakan di dalam perhitungannya adalah cost benefit analysis yang merupakan metodologi yang sangat penting dalam melakukan analisis untuk investasi pendidikan dan dapat membantu pengambilan keputusan untuk memutuskan dan memilih diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas agar mampu memberikan kemampuan yang paling tinggi. Penghitungan ini bisa mengevaluasi pendidikan sebagai suatu investasi baik sebagai individu maupun untuk masyarakat. Benefit ekonomi pendidikan diukur dari pendapatan tambahan sepanjang hidup seorang pekerja yang terdidik.


Tes Formatif
1.    Jelaskan apa yang dimaksud dengan human capital theori dan cost benefit analysis!
2.    Jelaskan hubungan antara teori human capital dengan implementasi pembiayaan untuk pendidikan.
3.    Bagaimana peranan konsep rate of return pendidikan dalam konteks pembiayaan pendidikan
4.    Jelaskan mengapa perlu dilakukan penghitungan atau kajian rate of return dalam konteks ekonomi pendidikan.
5.    Jelaskan bentuk-bentuk benefit dalam pendidikan yang dapat diperoleh oleh peserta didik dan berikan contohnya.

Tindak Lanjut:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar ini yang perlu Anda lakukan adalah:
1.       Buatlah rangkuman materi dengan mengambil konsep-konsep utama dan kata-kata kunci
2.       Buatlah  latihan yang diberikan dengan mengikuti petunjuk jawaban latihan
3.       Cocokkanlah hasil latihan dengan petunjuk jawaban, dan yang dikerjakan teman-teman, serta penjelasan tutor
4.       Apabila penjelasan  tutor menunjukkan hasil latihan Anda baik, silakan melanjutkan ke materi berikutnya

Petunjuk Jawaban Latihan
1.       Untuk menjawab soal latihan tersebut, cobalah Anda cermati uraian tentang peran human capital theory dan cost and benefit analysis dalam konteks pembiayaan pendidikan pada Kegiatan Belajar 1
2.       a. Menjelaskan human capital theory sesuaikan dengan soal latihan serta implementasi pembiayaan untuk pendidikan.
b. Menjelaskan manfaat analisa cost benefit dalam konteks pembiayaan pendidikan.
c. Menjelaskan peranan konsep rate of return pendidikan dalam konteks pembiayaan pendidikan serta benefitnya.

Referensi:
Bahan Ajar Mata Kuliah Manajemen Keuangan Pendidikan. Nanang Fattah, dkk. 2009. Jurusan Administrasi Pendidikan

Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah; Masalah dan Prospek. Edy Priyono. 2002. Makalah. Managing Basic Education (MBE) Project RTI International-USAID. 

Becker G.S. 1993. Human Capital, A theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education. Chicago, University of Chicago P ress
Cohn. Elchanan, 1979. The Economics Of Education, Ballinger Publishing
Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004













Kegiatan Belajar 2

Pengertian dan Pendekatan dalam  Pembiayaan Pendidikan
A.   Pengertian Pembiayaan Pendidikan
Secara bahasa biaya (cost) dapat diartikan pengeluaran, dalam istilah ekonomi, biaya/pengeluaran dapat berupa uang atau bentuk moneter lainnya. Dan biaya pendidikan menurut Supriadi (2000), merupakan salah satu komponen instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Biaya dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan uang).
Nanang Fattah menambahkan biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa seperti pembelian alat-alat pembelajaran, penyediaan sarana pembelajaran, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar, contohnya, uang jajan siswa, pembelian peralatan sekolah (pulpen, tas, buku tulis,dll).
Keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah, yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar-mengajar di sekolah bersama dengan komponen-komponen yang lain. Dengan kata lain setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya, baik itu disadari maupun yang tidak disadari. Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya, agar dana-dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Penghitungan biaya pendidikan meliputi antara lain total cost yang mencakup fixed cost dan variable cost, unit cost per program studi atau per siswa/mahasiswa, average cost, dan marginal cost. Masing-masing jenis biaya tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Biaya pendidikan ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: besar kecilnya sebuah institusi pendidikan, jumlah siswa, tingkat gaji guru atau dosen yang disebabkan oleh bidang keahlian atau tingkat pendidikan, ratio siswa berbanding guru/dosen, kualifikasi guru, tingkat pertumbuhan  penduduk (khususnya di negara berkembang), perubahan kebijakan dari penggajian/pendapatan (revenue theory of cost).
Dalam menghitung biaya pendidikan ini, faktor input dan output dari pendidikan serta proses yang ada didalamnya yang dikaitkan dengan program pengurangan biaya dan peningkatan efisiensi, dapat dihitung menggunakan teknik (cost analysis): 1) productifity measurement atau analisa cost-effectiveness atau 2) analisis cost-benefit. Hasil perhitungan biaya pendidikan  dapat mengevaluasi apakah investasi tersebut menguntungkan atau tidak baik untuk individu tersebut (private rate of return) ataupun untuk masyarakat secara luas (social rate of return).
Menurut Levin (1987) pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia  digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta administrasi sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah, yakni school revenues, school expenditures, capital dan current cost. Dalam pembiayaan sekolah  tidak ada pendekatan tunggal dan yang paling baik untuk pembiayaan semua sekolah  karena kondisi tiap sekolah  berbeda.

B.    Pendekatan dalam Pembiayaan Pendidikan
1.       Prinsip Dasar Pembiayaan Pendidikan
Dalam pembiayaan pendidikan terdapat prinsip- prinsip pembiayaan pendidikan, yakni:
·         prinsip keadilan: yaitu kemampuan maksudnya kemampuan financial masyrakat yang tidak sama rata tergantung kondisi ekonomi masyarakat,
·         prinsip kecukupan: yaitu unit cost maksudnya menghitung biaya pendidikan atau siswa, misalnya Jakarta tidak sama unit cost nya dengan Papua.
·         prinsip keberlanjutan: maksudnya yaitu pendidikan bukan hari ini tetapi untuk esok.

2.       Perbedaan Pembiayaan Pendidikan dan Ekonomi Pendidikan
Elchanan Cohn (1979) mengemukakan ekonomi pendidikan pada dasarnya berkenaan dengan produktivitas pendidikan bagi kelompok dan individu, da persoalan berapa banyak biaya yang seyogyanya dikeluarkan untuk pendiidkan dan jenis pendidika apa yang dipilih oleh masyarakat. Pendidikan melibatkan banyak orang da uang, baik dilihat dari jumlah siswa maupun tenaga kerja yang terlibat, demikian pula jumlah anggarannya.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam studi- studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi standar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13. Hal ini menggambarkan adanya perbedeaan yang semakin tajam.
Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini. Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Sementara itu, pembiayaan pendidikan tidak hanya menyangkut analisa sumber-sumber saja, tetapi juga penggunaan dana secara efisien. Makin efisien dana pada sistem pendidikan tersebut maka berkurang pula dana yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuannya, oleh karena itu dengan efisiensi akan lebih banyak tujua program yang dicapai dengan anggaran yang tersedia (Zymelman, 1975)


3.       Fungsi Pembiayaan Pendidikan
Pembiayaan pembangunan pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan ketentuan perundangan serta kebijakan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pembiayaan pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
·         memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat kurang beruntung lainnya;
·         memperkuat otonomi dan desentralisasi pendidikan; dan
·         memberikan insentif dan disinsentif bagi
(a) perluasan dan pemerataan akses pendidikan,
(b) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan secara berkelanjutan, dan
(c) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelola pendidikan.
Latihan Kerja
1. Carilah 3 definisi pembiayaan pendidikan dari 3 ahli dan 3 sumber atau ahli.
2. Buatlah definisi tentang pembiayaan pendidikan berdasarkan sintesa dari ketiga definisi tersebut
3. Diskusikan dengan teman-teman bagaimana peranan pembiayaan dalam pendidikan dalam memperkuat ekonomi dan desentralisasi pendidikan.

Petunjuk Jawaban Latihan
1. Untuk menjawab soal latihan tersebut, cobalah Anda cermati uraian tentang pengertian pembiayaan pendidikan baik dari buku sumber maupun dari sumber lainnya yang relevan
2. Untuk menjawab pertanyaan no 2 Anda dapat melakukan penelaahan pada jawaban yang telah Anda uraikan untuk No. 1, selanjutnya Anda dapat menentukan kata kunci dari masing-masing definisi tersebut sehingga diperoleh definisi baru yang sesuai dengan pemahaman Anda tentang pembiayaan pendidikan.
3. Untuk menjawab pertanyaan No. 3 Anda dapat berdiskusi dengan 2 teman lain. Mintalah teman-teman Anda memberikan pendapat tentang peranan pembiayaan pendidikan dalam era desentralisasi dan otonomi. Buatlah catatan dari diskusi tersebut dan buat kesimpulan dalam bahasa Anda sendiri.

Rangkuman
Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost).   Keuangan dalam pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan.yang diimplementasikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah.
Dalam pembiayaan pendidikan terdapat prinsip- prinsip pembiayaan pendidikan, yakni prinsip keadilan,
prinsip kecukupan, dan prinsip keberlanjutan. Pembiayaan pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi pemihakan terhadap masyarakat miskin, penguatan otonomi dan desentralisasi pendidikan, serta pemberian insentif dan disinsentif .

Tes Formatif
1.       Jelaskan apa yang dimaksud dengan pembiayaan pendidikan!
2.       Sebutkan dan jelaskan prinsip dasar pembiayaan pendidikan!
3.       Apa sajakah fungsi pembiayaan pendidikan?
4.       Apakah perbedaan antara pembiayaan pendidikan dengan ekonomi pendidikan?
5.       Berdasarkan studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau menunjukkan bahwa petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Buatlah analisis terkait dengan fungsi pembiayaan pendidikan untuk peningkatan kualitas SDM.


Tindak Lanjut:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar ini yang perlu Anda lakukan adalah:
1.       Buatlah rangkuman materi dengan mengambil konsep-konsep utama dan kata-kata kunci
2.       Buatlah  latihan yang diberikan dengan mengikuti petunjuk jawaban latihan
3.       Cocokkanlah hasil latihan dengan petunjuk jawaban, dan yang dikerjakan teman-teman, serta penjelasan tutor
4.       Apabila penjelasan  tutor menunjukkan hasil latihan Anda baik, silakan melanjutkan ke materi berikutnya

Petunjuk Jawaban Latihan
1.       Untuk menjawab soal latihan tersebut, cobalah Anda cermati uraian tentang peran pembiayaan pendidikan pada Kegiatan Belajar 2
2.       Menjelaskan definisi, prinsip, serta fungsi pembiayaan pendidikan sesuai dengan soal latihan di atas.
Referensi:
Bahan Ajar Mata Kuliah Manajemen Keuangan Pendidikan. Nanang Fattah, dkk. 2009. Jurusan Administrasi Pendidikan

Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah; Masalah dan Prospek. Edy Priyono. 2002. Makalah. Managing Basic Education (MBE) Project RTI International-USAID. 














Kegiatan Belajar 3

Model-Model Pembiayaan Pendidikan
Negara Maju dan Negara Berkembang

A.      Model Pembiayaan Pendidikan di Negara Maju
1.       Model Pembiayaan Pendidikan di Amerika Serikat
Terdapat 12 model pembiayaan pendidikan yag ada dan dipergunakan di Amerika Serikat, yang terdiri dari:
1)      Model Flat Grant
Merupakan metode tertua, paling sederhana dan paling tak seimbang dalam pembiayaan sekolah. Bantuan negara kepada sekolah distrik lokal berdasarkan suatu jumlah tertentu yang dikalikan dengan jumlah siswa.
2)      Foundation Plan
Merupakan pendekatan yang paling umum, tujuannya adalah untuk menjamin suatu pengeluaran minimum tahunan per siswa untuk semua sekolah distrik di negara bagian.
3)      Power-equalizing Plan
Banyak negara bagian yang mulai mengadopsi beberapa bentuk dari rencana terbaru. Negara bagian membiayai suatu persentase pengeluaran dari sekolah lokal dalam ratio kebalikan terhadap kekayaan distrik.
4)      Weighted Student Plan
Para siswa weighted secara proporsi pada karakteristik spesial mereka (cacat dll) atau program khusus (bilingual dll) untuk menentukan biaya pendidikan per siswa.
5)      Model Perencanaan Pokok Jaminan Pajak (Guaranted Tax Base Plan)
Model ini dibatasi dengan menentukan penafsiran penilaian per siswa yang menjadi jaminan negara diperuntukkan bagi wilayah sekolah setempat. Bantuan negara menjadi berbeda antara apa yang diterima daerah per siswa dengan jaminan negara per siswa. Pembagian presentasenya sangat tinggi di sekolah distrik yang miskin, dan rendah di sekolah distrik yang kaya/ sejahtera.
6)      Model Persamaan Persentase (Persentage Equalizing Model)
Model ini dikembangkan tahun 1920-an, lebih banyak memberikan sumbangan yang dibutuhkan pada tiap murid & guru ke daerah-daerah yang kurang makmur. Dalam program yang sama, jumlah pembayaran yang disetujui dihitung bagi setiap siswa, tiap guru, atau bagian lain yang di butuhkan. Jumlah yang diperlukan berubah-ubah tiap bagian sesuai keperluan.
7)      Model Pendanaan Negara Sepenuhnya (Full State Funding Model)
Model ini merupakan rencana yang dirancang untuk mengeliminir perbedaan local dalam hal pembelanjaan dan perpajakan. Pendanaan sekolah akan dikumpulkan ditingkat negara dan diberikan ke sekolah distrik dengan dasar yang sama. Asas keadilan tentang perlakuan terhadap siswa dan pembayar pajak, serta pembiayaan pendidikan berdasarkan tingkat kekayaan yang dimiliki. Untuk menghindari banyaknya anak pada masyarakat miskin meninggalkan pendidikan sehingga muncul masalah pengangguran dan kesejahteraan bagi generasi penerusnya.
8)      Model Sumber Pembiayaan (The Resources Cost Model)
Model ini dikembangkan Hambers dan Parrish yang menyediakan suatu proses penentuan pembiayaan pendidikan yang mencerminkan kebutuhan berbeda dari kondisi ekonomi di setiap daerah. Model ini menurut Sergivanni tidak bersangkutan dengan pendapatan pajak maupun kekayaan suatu daerah.
9)      Model Surat Bukti/ Penerimaan (Models of Choice and Voucher Plans)
Model ini memberikan dana untuk pendidikan langsung kepada individu atau institusi rumah tangga berdasarkan permintaan pendidikan. Mereka diberikan surat bukti penerimaan dana untuk bersekolah melalui sistem voucher yang mencerminkan subsidi langsung kepada pihak yang membutuhkan yaitu murid.
10)   Model Berdasarkan Pengalaman (Historic Funding)
Model ini sering disebut Incrementalism, dimana biaya yang diterima satu sekolah mengacu pada penerimaan tahun yang lalu, dengan hanya penyesuaian.


11)   Model Berdasarkan Usulan (Bidding Model)
Model ini sekolah mengajukan usulan pada sumber dana dengan berbagai acuan, kemudian sumber dana meneliti usulan yang masuk, dan menyesuaikan dengan criteria.
12)   Model Berdasarkan Kebijaksanaan (Descretion Model)
Model ini penyandang dana melakukan studi terlebih dahulu untuk mengetahui komponen-komponen apa yang perlu dibantuberdasarkan prioritas pada suatu tempat dari hasil eksplorasinya.

2.    Model Pembiayaan di Negara-Negara Eropa
a.       Model Pembiayaan Pendidikan di Jerman
Suatu ciri khas belajar di Jerman adalah mengenai biaya pendidikan tiap semesternya. Untuk semua jenis sekolah publik tidak dipungut biaya. Sarana pelajaran, terutama buku ajar, sebagian diberikan kepada peserta secara cuma-cuma. Pelajaran agama, kecuali di sekolah netral. Menurut undang-undang merupakan pelajaran kokurikuler. Di kebanyakan negara bagian didirikan sekolah Kristen bersama. Keistimewaan ini juga terdapat di negara lain seperti Austria dan negara-negara Skandinavia. Pada saat ini sudah mulai banyak beberapa  negara  bagian di Jerman mendiskusikan tentang biaya kuliah untuk tahun-tahun mendatang. Apakah Jerman masih tetap mempertahankan keistimewaan ini atau secara bertahap melakukan pembaharuan peraturannya, dengan kata lain sudah tidak gratis lagi. Hal ini masih dalam tahap wacana.
Pada universitas swasta dan program internasional (MBA) biaya pendidikannya tidak lagi gratis. Pada saat ini lembaga tersebut masih sedikit jumlahnya. Sesunguhnya biaya kuliah di Jerman relatif rendah (hampir berarti tak perlu bayar SPP), baik untuk warga negara Jerman, ataupun mahasiswa asing. Biasanya mahasiswa hanya perlu membayar uang yang namanya "Sozialgebühren". Ini untuk mendapatkan beberapa fasilitas bagi mahasiswa, misal agar bisa makan di MENSA (kantin khusus mahasiswa yang ada di kampus-kampus di  Jerman) dengan harga mahasiswa, di beberapa negara bagian, tiket kereta, bus dan trem tak perlu bayar.  Sozialgebühren ini sekitar 100 Euro/semester. Sebagai gambaran di Universitas Bremen, kalau kita makan di MENZA, sekali makan dengan tarif mahasiswa hanya membayar 1,3 Euro, tetapi bila kita sebagai pegawai Universitas atau orang luar yang ikut makan, dikenakan biaya 3,5 Euro.

b.      Model Pembiayaan Pendidikan di Inggris
Sejarah pendidikan di Inggris dimulai pada 600 M ketika King’s School Canterbury didirikan. Sekolah tersebut hanya diperuntukkan untuk kalangan kerajaan, sedangkan rakyat tidak diperkenankan untuk mengenyam bangku sekolah. Baru pada 1249 Universitas Oxford ditemukan. Selanjutnya pada 1902, Education Act memperkenalkan secondary education untuk anak usia 11-18 tahun. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Education Act mencanangkan eleven plus (11+) examination di mana anak-anak diharuskan mengikuti tes untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke grammar schools secara gratis. Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap mobilitas strata sosial warga Inggris pada saat itu. Sayangnya, mobilitas itu justru menjauhkan anak-anak dari orang tua yang less well-educated karena lebih mengedepankan pelajaran akademis dibandingkan teknis. Berikut jenis-jenis sekolah di Inggris :
1)      State School, biaya pendidikan dibiayai oleh pemerintah. Sekitar 93% pelajar bersekolah di StateSchool atau Sekolah Negeri. State School terdiri dari Primary School (usia 5-11 tahun), Secondary School (usia11-16 tahun).
2) Grammar Schools, mengedepankan sisi akademis (11+ tahun)
3) Fee Paying School
a) Independent Schools, terdiri dari Private Schools and Public Schools. Orang tua yang membiayai pendidikan, bukan pemerintah. Untuk dapat masuk Public Schools, seorang pelajar harus melalui tes yang dikenal dengan Common Entrance Exams. Public Schools yang terkenal di antaranya, Eton, Harrow, dan Winchester.
b) Preparatory Schools, mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke public school.
Bicara mengenai sejarah pendidikan di Inggris, tentunya juga tidak terlepas dari isu marjinalisasi yang terjadi pada 1950-an. Adanya sekolah swasta dengan biaya yang mahal, menyebabkan masyarakat Inggris melakukan protes agar pemerintah mau memberikan budget lebih kepada sekolah negeri. Hal ini disebabkan masyarakat Inggris mendambakan persamaan hak serta menentang adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan. Namun, terlepas dari isu di atas, pendidikan di Inggris menjadi salah satu faktor penting yang membentuk identitas kebudayaan masyarakat Inggris saat ini. Jika dulu isu marjinalisasi begitu kental mewarnai pendidikan di Inggris, maka saat ini, pemerintah Inggris telah menggratiskan biaya pendidikan khusus untuk state school, setara SMA negeri. Sekitar 93% pelajar di Inggris menempuh pendidikan gratis melaui State Schools, dan sisanya menempuh pendidikan diindependent fee paying school, yaitu Public school dan Private school di mana orang tua membiayai pendidikan untuk anaknya.Hal senada tidak hanya diberlakukan di Inggris, tapi juga di negara Britania lainnya seperti Wales dan Skotlandia. 
 Pada 1950-an, isu agama rupanya turut mempengaruhi pengalokasian dana dari pemerintah untuk state school. Kebanyakan sekolah-sekolah di Inggris beragama anglican, selanjutnya Katolik Roma dan Yahudi. Sekolah-sekolah tersebut mendapat alokasi dana yang cukup, sementara untuk agama seperti Hindu dan Islam, dukungan finansial dari pemerintah dirasa kurang. Hal ini menjadi isu utama di daerah Bradford dan daerah-daerah yang terdapat banyak warga muslim.  
Pada 1991 persentasi working-class children yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi berkurang. Pasalnya, hanya anak-anak yang orangtuanya mampu saja yang dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Semakin tinggi jenjangnya, semakin sedikit persentasi pelajar yang melanjutkan pendidikannya.
Sekitar 30% usia 18-19 tahun melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Khusus untuk perguruan tinggi, pemerintah menyediakan berbagai beasiswa (scholarship) bagi yang kurang mampu. Sayangnya, akses golongan ekonomi lemah ke perguruan tinggi di Inggris saat ini sedang mengahadapi masalah. Pada pemilu tahun 2004, isu kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke Perguruan Tinggi menjadi agenda politik dua partai yang bersaing pada waktu itu, yaitu Partai Buruh dan Partai Torries. Partai Torries berjanji akan meningkatkan akses golongan kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada para mahasiswa, sedangkan Partai Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan akses golongan kurang mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payment). Menurut penilaian Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari London School of Economics, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi. Menggunakan penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan menyebabkan dana unruk program lainnya menjadi berkurang.
Lebih lanjut lagi, menurut beliau, dalam real politics, subsidi untuk pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah. Selain itu, pelaksanaan subsidi di Inggris selalu kurang manguntungkan kelompok miskin. Selama bertahun-tahun, akses keluarga kurang mampu ke pendidikan tinggi hanya 15%, dibandingkan 81% dari keluarga mampu (Sofian Effendi, www.unisosdem.org).
Selain itu, di Inggris cukup banyak masyarakat yang mendukung rencana sistem pajak progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan dari pajak lebih digunakan untuk pendidikan pra- sekolah, menurunkan angka drop out pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk anak-anak keluarga tidak mampu.
Terlepas dari masalah yang sedang melanda Inggris di atas, kabar menggembirakan bagi negara Inggris datang pada 2006, di mana Oxford University, menurut versi majalah Times menempati ranking pertama kategori lima ratus dua puluh Top University dunia. Begitu juga Cambridge yang menempati urutan ketiga dunia. Revolusi Industri di Inggris menjadi salah satu faktor perkembangan ilmu pengetahuan di negara tersebut. Inggris boleh menjadi imperialis di masa lampau untuk menunjukan identitasnya, tapi sekarang, imperialisme itu menjelma dalam bentuk lain yang diberi nama “Intelektualitas”.
Jika menelaah data dari majalah Times World University Rankings 2005 dan 2006 yang dipublikasikan oleh The Times Higher, amat jelas bahwa mutu pendidikan sangat tergantung dari jumlah dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. Bagi negara yang berada pada simpangan ranking yang besar, pendanaannya dilakukan oleh swasta, seperti Amerika dan Inggris. Jika dilihat secara mutu pendidikan, model pembiayaan pendidikan tersebut tidak berpengaruh secara linier kepada prestasi dan kualitas pendidikan. Ranking The Times membuktikan tesis ini. Artinya, sesungguhnya mutu pendidikan masih sangat dipengaruhi oleh besarnya dana untuk pembiayaan pendidikan, terlepas dana itu berasal dari mana. Semakin besar dana, semakin maju pendidikan. Pengembangan fasilitas pendidikan hingga kualitas SDM pendidikan juga sangat tergantung oleh besarnya dana ini (www.kompas.com, 19 Mei 2006).
Di Inggris, ada tiga opsi yang dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk membiayai pembangunan pendidikan tinggi yang bertujuan mengatasi permasalahan di Inggris. Pertama, pemerintah memberikan subsidi pendidikan tinggi untuk semua mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi. Biayanya tergantung standar mutu dan tingkat partisipasi yang hendak dicapai. Artinya, diperlukan pengeluaran untuk pendidikan tinggi antara 3 sampai 12 kali. Kedua, perlu adanya subsidi silang dengan menerapkan full-payment kepada keluarga mampu, memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari keluarga tidak mampu, dan subsidi 50% kepada mahasiswa dari keluarga penghasilan menengah. Ketiga, penyediaan pinjaman pendidikan tinggi dengan subsidi bunga kepada keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah kredit tergantung dari besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh masing-masing universitas. Ketiga opsi ini adalah agenda politik pemerintah Inggris pada 2004.

c.       Model Pembiayaan Pendidikan Tinggi di Uni Eropa
Masyarakat di negara-negara Uni Eropa secara umum menunjukkan minat yang sangat tinggi terhadap pendidikan tinggi, khususnya di negara-negara yang baru bergabung pada organisasi Uni Eropa.   Hal ini secara cepat menutup kesenjangan antara negara tersebut dengan negara-negara yang terlebih dahulu menjadi anggota Uni Eropa.  Angka partisipasi dan timbulnya pendidikan tinggi sangat tampak pada populasi usia kerja. Ekspansi ini adalah membantu negara-negara untuk memasukkan diri ke dalam pengetahuan ekonomi global, sebagai proporsi tinggi dari lulusan mereka mendapatkan pekerjaan di sektor pengetahuan layanan intensif.  Namun demikian, pada saat yang sama, sumber daya per siswa menurun dan hal ini meningkatkan kekhawatiran tentang kualitas pendidikan tinggi.
Munculnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi swasta dan pengenaan biaya bagi siswa telah menimbulkan sistem pembiayaan ganda yang mempengaruhi akses yang adil untuk memperoleh pendidikan tinggi.
Untuk rata-rata biaya pendaftaran di pendidikan tinggi di negara-negara Uni Eropa saat ini relatif sama, adapun  manfaat pribadi dari pendidikan yang ditempuh di  universitas telah meningkat cukup baik, yaitu ditandai dengan perolehan pendapatan yang lebih tinggi.
Premi pendapatan untuk pendidikan tinggi di pasar tenaga kerja sangat tinggi di negara-negara di mana lulusan pendidikan tinggi dinilai masih langka. Tingkat pengangguran bervariasi antar negara, tetapi  pengangguran banyak terjadi pada lulusan pendidikan menengah dan bukan pendidikan tinggi. Dengan adanya pola subsidi untuk pendidikan tinggi, maka nilai sosial yang dihasilkan menjadi lebih tinggi.
Pengeluaran per peserta didik tampaknya bervariasi dan berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi yang menunjukkan setidaknya kemungkinan tradeoff antara aksesibilitas dan kualitas pendidikan tinggi dari sudut pandang peserta didik. Peran kecil biaya di sebagian besar negara-negara Uni Eropa tidak berarti bahwa orang tua dan siswa menghindari membayar bagi negara-negara education. Pendidikan tinggi telah menerapkan sistem ganda, tetap menjaga bebas biaya pendidikan tinggi untuk secara teratur mengaku didukung negara mahasiswa, sambil menambahkan biaya khusus membayar jalur untuk mereka yang gagal untuk mendapatkan pengakuan tersebut.
Mereka yang mendapatkan bebas biaya adalah dari keluarga yang istimewa, siswa miskin, yang kurang berhasil dalam ujian masuk dan tidak mampu membayar biaya alternatif. Dalam rangka memfasilitasi masuk ke pendidikan tinggi bagi siswa yang membutuhkan dukungan keuangan untuk membayar biaya dan / atau biaya pemeliharaan, beberapa negara telah melembagakan sistem pinjaman untuk keperluan pendidikan.
Kecenderungan peningkatan partisipasi dalam pendidikan tinggi tidak mungkin dapat dikombinasikan dengan peningkatan kualitas dan relevansi yang diperlukan untuk menjadi kompetitif dalam Uni Eropa dan untuk meningkatkan partisipasi dalam ekonomi pengetahuan global, kecuali jika jumlah uang yang tersedia untuk meningkatkan kualitas lembaga-lembaga . Pada saat yang sama, anggaran pemerintah sangat dibatasi, dan sulit untuk mewujudkan peningkatan alokasi publik untuk pendidikan tinggi yang menghasilkan tingkat pengembalian tinggi swasta kepada orang yang tidak proporsional dari latar belakang istimewa. Juga, meningkatnya internasionalisasi pendidikan tinggi dan lintas-batas mobilitas tenaga kerja dari baru terhadap negara-negara anggota Uni Eropa lama mengurangi jaminan bahwa lulusan universitas akhirnya akan membayar untuk pendidikan mereka melalui pajak penghasilan. Dengan demikian, hampir tak terelakkan bahwa biaya rata-rata di perguruan tinggi harus ditingkatkan ke tingkat yang meliputi proporsi yang signifikan dari total biaya.

3.       Pembiayaan Pendidikan di Negara Berkembang
Kasus yang ditampilkan dalam pembiayaan pendidikan di negara berkembang adalah kasus pada pembiayaan pendidikan dasar di India. Dalam konteks pembiayaan pendidikan nampak adanya konsistensi dalam tingkat belanja pendidikan. Angka berkisar antara 20 persen di tahun 1980-81 dan sekitar 25 persen pada tahun 1998-99. Alokasi intra-sektoral dalam pendidikan baik cenderung ke arah pendidikan dasar. Pendidikan dasar menerima sekitar 70 persen dari alokasi anggaran total untuk pendidikan. Angka nasional untuk pendidikan dasar untuk belanja pendidikan hanya total 48,7 persen pada tahun 1998-99. Bahkan, angka itu lebih tinggi daripada setiap negara bagian.
Kecenderungan lain yang signifikan dalam hal ini telah menjadi konsistensi Bihar, sejak 1980-1981, dalam mempertahankan tingkat pengeluaran pendidikan dan bagian dari pendidikan dasar. Tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata pengeluaran publik untuk pendidikan dasar telah 12,7 persen selama periode 1980-81 untuk 1998-99. Pemerintah berupaya untuk menjaga konsistensi untuk pendidikan SD terlepas adanya kendala keuangan telah mengakibatkan tingkat pertumbuhan negatif pengeluaran pendidikan tinggi dan teknis.
Indikator lain yang penting adalah persentase dari Produk Domestik Bersih (PDB) yang dihabiskan untuk pendidikan dasar. Hampir  6 persen dari PDB dihabiskan untuk pendidikan dasar sedangkan rata-rata nasional hanya sekitar 4 persen.
Namun demikian tampak adanya stagnasi virtual dalam pengeluaran pendidikan selama awal 1990-an (Pushpendra, 2001). Tingkat pertumbuhan pengeluaran di sektor pendidikan secara umum adalah negatif (-0,3 persen) antara 1990-1991 dan 1995-1996, sedangkan angka nasional yang sesuai adalah 3,4 persen. Namun, pada periode 1995-2000 pengeluaran untuk pendidikan di Bihar meningkat secara substansial dengan tingkat pertumbuhan positif secara keseluruhan pengeluaran untuk pendidikan pada umumnya, dan pendidikan SD khususnya, selama 1990-an. Tren dalam pengeluaran sebenarnya pada harga saat ini pada pendidikan dasar serta total untuk periode 1980 sampai tahun 2000 disajikan pada Tabel 3.12. Pada tahun 1999-2000 meskipun peningkatan dalam ukuran anggaran total negara itu sendiri memberikan kontribusi terhadap peningkatan pengeluaran pendidikan di negara, persentase akan sektor pendidikan menurun lebih lanjut pada tahun 1999-2000 meninggalkan angka di terendah selama 1980-an dan 1990-an. Selanjutnya adalah penting untuk dicatat bahwa meskipun persentase dari total anggaran untuk pendidikan akan jauh lebih tinggi di Bihar (lebih dari 20 persen) daripada di seluruh India (11 sampai 12 persen), berbagi telah menurun sejak 1980-an tengah dari lebih dari 24 persen pada 1985-86 untuk dekat dengan 21 persen pada 1999-2000, seperti tampak pada Tabel berikut:

Pengeluaran biaya pendidikan ini didanai juga oleh bantuan eksternal, yang disediakan baik melalui skema pusat seperti 'Belajar Menyenangkan' atau melalui program-program negara seperti Pendidikan untuk Semua program (atau DPEP). DPEP dana yang tersedia secara langsung melalui sebuah lembaga negara pelaksana, BEP, dan ini transfer.

4.    Peranan Pajak dalam Pembiayaan Pendidikan
Dilihat dari sumber- sumbernya, biaya pendidikan pada tingkat makro berasal dari pendapatan negara dari sektor pajak dan non pajak. Di Amerika Serikat, kegiatan sekolah umum bergantung terutama pada pendapatan yang dihasilkan dari pajak, khususya pajak properti pada level lokal, pajak penjualan dan pendapatan pada level negara bagian.
Dalam buku Manajemen Keuangan Daerah (Halim, Abdul,2004:131) yang diterbitkan oleh UPP AM YKPN, mengutip Brotodiharjo (Mardiasmo, 2000) pajak mempunyai 2 fungsi yakni:
1.       Fungsi Budgeter
Fungsi ini terletak dan lazim dilakukan pada sektor publik dan merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara/daerah sesuai dengan waktunya dalam rangka membiayai seluruh pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintah pusat/ daerah.
2.       Fungsi Pengaturan
Merupakan fungsi yag dipergunakan oleh pemerintah pusat/daerah untuk mencapai tujuan tertentu yang berada diluar sektor keuangan negara/ daerah.

Masyarakat umum akan menerima pajak apabila :
1.       Pajak tidak menyebabkan distorsi ekonomi (perubahan perilaku ekonomi dalam pola belanja atau relokasi bisnis, industri dan penduduk).
2.       Pajak harus equitable (memperhatikan kemampuan wajib pajak).
3.       Pajak harus memberi kemudahan (pajak dikumpulkan dengan biaya yang rendah bagi wajib pajak dan pemerintah)
4.       Pajak harus responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi.

Latihan Kerja
1.       Carilah 2 model pembiayaan pendidikan di 2 negara maju selain Amerika, Jerman, dan Inggris.
2.       Analisis besaran alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan di masing-masing negara tersebut.

Petunjuk Mengerjakan Latihan
1.       Informasi mengenai model-model pendidikan di negara maju dapat diakses pada berbagai situs yang memuat kajian tentang pembiayaan pendidikan. Anda dapat memasukkan kata pencarian: pembiayaan pendidikan di Negara..... pada mesin pencari google atau yahoo.
2.       Setelah Anda memperoleh informasi no. 2 buatlah analisis tentang besaran biaya pada negara tersebut. Besaran biaya tersebut dapat per jenjang atau per individu.

Rangkuman
Terdapat berbagai macam model pembiayaan pendidikan yang digunakan di Amerika Serikat, dan keseluruhannya terdiri atas 12 model pembiayaan pendidikan. Sumber pembiayaan pendidikannya berasal dari pajak yang memiliki fungsi budgeter dan fungsi pengaturan.
Sementara itu di negara Eropa seperti Jerman, ciri khas belajar di Jerman adalah mengenai biaya pendidikan tiap semesternya. Untuk semua jenis sekolah publik tidak dipungut biaya.
Di Inggris, kebanyakan sekolah-sekolah di sana beragama anglican, selanjutnya Katolik Roma dan Yahudi. Sekolah-sekolah tersebut mendapat alokasi dana yang cukup, sementara untuk agama seperti Hindu dan Islam, dukungan finansial dari pemerintah dirasa kurang. Hal ini menjadi isu utama di daerah Bradford dan daerah-daerah yang terdapat banyak warga muslim.  Khusus untuk perguruan tinggi, pemerintah menyediakan berbagai beasiswa (scholarship) bagi yang kurang mampu.

Tes Formatif
1.       Sebutkan dan jelaskan minimal 5 model pembiayaan pendidikan di Amerika Serikat! Buatlah analisis dengan padanan pembiayaan di Indonesia.
2.       Bagaimanakah pembiayaan pendidikan yang diterapkan di negara-negara di Eropa, khususnya di Inggris dan Jerman?Analisis keunggulan dan kelemahannya
3.       Buatlah uraian tentang kemajuan yang dicapai India dengan fenomena pembiayaan pendidikan dasar di India.

Tindak Lanjut:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar ini yang perlu Anda lakukan adalah:
1.       Buatlah rangkuman materi dengan mengambil konsep-konsep utama dan kata-kata kunci
2.       Buatlah  latihan yang diberikan dengan mengikuti petunjuk jawaban latihan
3.       Cocokkanlah hasil latihan dengan petunjuk jawaban, dan yang dikerjakan teman-teman, serta penjelasan tutor
4.       Apabila penjelasan  tutor menunjukkan hasil latihan Anda baik, silakan melanjutkan ke materi berikutnya


Petunjuk Jawaban Latihan
1.       Untuk menjawab soal latihan tersebut, cobalah Anda cermati uraian tentang peran pembiayaan pendidikan pada Kegiatan Belajar 3
2.       Menjelaskan mengenai mengenai model-model pembiayaan pendidikan baik di negara maju maupun negara berkembang sesuai dengan soal latihan.

Referensi:
Bahan Ajar Mata Kuliah Manajemen Keuangan Pendidikan. Nanang Fattah, dkk. 2009. Jurusan Administrasi Pendidikan

nenengmp07.multiply.com/journal/item/9 - Filipina

Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah; Masalah dan Prospek. Edy Priyono. 2002. Makalah. Managing Basic Education (MBE) Project RTI International-USAID.








Kegiatan Belajar 4

Kebijakan Pembiayaan Pendidikan
Di Indonesia


A.   Dasar Hukum dan Pendekatan dalam Alokasi Anggaran Pendidikan di Indonesia
Salah satu indikator penuntasan program Wajib Belajar 9 Tahun diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP/sederajat. Pada tahun 2008 APK rata-rata telah mencapai 96,18%, sehingga program Wajib Belajar 9 tahun telah tuntas sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan pemerintah Indonesia dan bahkan target itu dapat dicapai 7 tahun lebih awal dibandingkan dengan komitmen internasional yang dideklarasikan di Dakar mengenai Education for All (EFA) tahun 2000 yang mewajibkan semua negara di dunia harus menuntaskan Wajib Belajar 9 tahun paling lambat tahun 2015 nanti.
Sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam bagian ini akan diuraikan jenis-jenis biaya pendidikan sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun 2008 tersebut.
Biaya pendidikan dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Biaya Satuan Pendidikan, Biaya Penyelenggaraan dan/ atau Pengelolaan Pendidikan, serta Biaya Pribadi Peserta Didik.
a.       Biaya Satuan Pendidikan adalah biaya penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan yang meliputi:
(1)    Biaya investasi adalah biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap.
(2)    Biaya operasional, terdiri dari biaya personalia dan biaya nonpersonalia. Biaya personalia terdiri dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan-tunjangan yang melekat pada gaji. Biaya nonpersonalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dll.
(3)    Bantuan biaya pendidikan yaitu dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya.
(4)    Beasiswa adalah bantuan dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang berprestasi.
b.      Biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan adalah biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau penyelenggara/satuan pendidikan yang didirikan masyarakat.
c.       Biaya pribadi peserta didik adalah biaya personal yang meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

B.    Perbandingan Alokasi Anggaran Pendidikan di Indonesia dengan Negara Asia Tenggara dan Amerika Serikat
Mengenai masalah alokasi anggaran pendidikan di Indonesia sampai sekarang ini besarnya anggaran pendidikan di negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan kita ternyata termasuk terjelek di dunia.
Apabila mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan Indonesia lebih jelek tidak saja dari negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, nggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Brasilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih jelek dari negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia, Nepal, Congo, dan sebagainya.  Angka rata-rata anggaran pendidikan di negara maju mencapai 5,1 persen terhadap GNP, di negara berkembang 3,8 persen dan negara terbelakang 3,5 persen. Sementara itu, negara kita hanya mengalokasi dana kurang dua persen terhadap GNP.
Untuk memajukan dunia pendidikan nasional dan meningkatkan kualitas SDM bangsa sesuai dengan yang dicita-citakan, maka pemenuhan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Komitmen serius untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan adalah persoalan mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui pendidikan yang bermutu. Karena, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selama ini Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI telah sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam penetapan APBN setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada kenaikan anggaran di Departemen Pendidikan dan Agama yang melonjak sangat tinggi pada tiga tahun terakhir. Upaya untuk memenuhi anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari dana APBN, diluar gaji dan pendidikan kedinasan, telah diupayakan untuk direalisasikan secara bertahap sampai tahun 2009. Rentang kenaikannya adalah dari yang semula hanya 6,6 % pada tahun 2004, menjadi 9,3 % untuk tahun 2005, kemudian menjadi 12 % untuk tahun 2006, lalu menjadi 14,7 % untuk tahun 2007, selanjutnya menjadi 17,4 % untuk tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 21,1%. Anggaran fungsi pendidikan pada tahun 2006 memang telah mencapai Rp45,3 triliun, meningkat menjadi Rp52,4 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,4 triliun pada tahun 2008.
Anggaran pendidikan di APBN sebenarnya terus naik cukup signifikan sejak 2003. Fenomena penurunan persentase anggaran hanya sempat terjadi pada 2002. Ketika itu, anggaran pendidikan hanya mendapatkan porsi 3,76 persen. Padahal, pada 2001 sudah mencapai 4,55 persen. 
Setelah itu, anggaran pendidikan terus bertambah menjadi 4,15 persen pada 2003; 6,6 persen (2004); 7 persen (2005); 9,1 persen (2006); dan 11,8 persen (2007). Dalam APBN 2007, pendidikan telah berhasil mendapatkan porsi terbesar. Begitu juga dalam RAPBN 2008. 



C.    Dana BOS dan Unsur-Unsurnya
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan dalam percepatan pencapaian program Wajib Belajar 9 tahun. Oleh karena itu, mulai tahun 2009, pemerintah melakukan perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi BOS. Program BOS ke depan bukan hanya berperan untuk mempertahankan APK, namun harus juga berkontribusi penting untuk peningkatan mutu pendidikan dasar.
BOS adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Secara detail jenis kegiatan yang boleh dibiayai dari dana BOS dibahas pada bab berikutnya.
Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Secara khusus program BOS bertujuan untuk:
1.       Menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
2.       Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).
3.       Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.

Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD dan SMP, termasuk Sekolah Menengah Terbuka (SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia. Program Kejar Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran dari program BOS ini. Besar biaya satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan:
·         SD/SDLB di kota : Rp 400.000,-/siswa/tahun
·         SD/SDLB di kabupaten : Rp 397.000,-/siswa/tahun
·         SMP/SMPLB/SMPT di kota : Rp 575.000,-/siswa/tahun
·         SMP/SMPLB/SMPT di kabupaten : Rp 570.000,-/siswa/tahun
Setiap Tahun Anggaran, dana BOS akan diberikan selama 12 bulan untuk periode Januari sampai Desember, yaitu semester 2 tahun pelajaran 2008/2009 dan semester 1 tahun pelajaran. Penyaluran dana dilakukan setiap periode 3 bulanan, yaitu periode Januari-Maret, April-Juni, Juli-September dan Oktober-Desember. Penyaluran diharapkan dilakukan di bulan pertama setiap triwulan.



D.   Pembiayaan Pendidikan di Era Otonomi Daerah
1.       Kondisi Umum Pembiayaan Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah
Kondisi umum pendidikan pada era otonomi daerah dapatt dikaji dari hasil penelitian Priyono (2002). Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa perubahan  kewenangan  pengelolaan  pendidikan  dengan  segera  mengubah  pola pembiayaan  sektor  pendidikan.   Sebelum  otonomi  daerah,  praktis  hanya  pembiayaan sekolah  dasar  (SD)  yang menjadi  tanggung  jawab Pemda,  sedangkan SLTP dan SLTA (dan  juga  perguruan  tinggi)  menjadi  tanggung  jawab  Pusat.   Pembiayaan  SLTP  dan SLTA dilakukan melalui Kanwil Depdiknas  (di  tingkat propinsi) dan Kandepdiknas  (di tingkat kabupaten/kota).  
Setelah diberlakukannya otonomi daerah, sebagaimana disinggung di atas, seluruh pengelolaan  sekolah  dari  SD  hingga  SLTA  menjadi  tanggung  jawab  Pemda.  Konsekuensinya,  tidak  ada  lagi  Kanwil  dan  Kandepdiknas,  yang  ada  hanyalah  Dinas Pendidikan di  tingkat  kabupaten/kota  yang  berada  di  bawah  kendali Pemda,  dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali pemerintah propinsi.   Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota  dengan  Dinas  Pendidikan  propinsi  tidak  ada  hubungan  hierarkhis, sedangkan  propinsi  masih  tetap  mengemban  amanat  sebagai  perwakilan  pemerintah pusat.   Dengan konfigurasi kelembagaan  seperti  itu,  jelas bahwa Pusat  tidak  lagi punya “tangan”  di  daerah  untuk  mengimplementasikan  program-programnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Dengan  konfigurasi  kelembagaan  yang  seperti  itu  pula,  pola  pembiayaan pendidikan  mengalami  perubahan  yang  cukup  mendasar.   Daerah  memiliki  tanggung jawab  yang  sangat  besar  untuk  membiayai  sektor  pendidikan  dengan  menggunakan APBD-nya.   Dukungan dari Pusat  (dan Propinsi)  tetap dimungkinkan,  tetapi  juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota. 

2.       Analisis Terhadap APBD 245 Kabupaten/Kota Tahun 2002 
Hasil penelitian Priyono (2004) juga menjelaskan bahwa tantangan  pertama  yang  harus  dihadapi  oleh  para  pengelola  pendidikan  adalah masalah pendanaan.  Sebagai ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. 
Di  sisi  lain,  UU  No.  20  Tahun  2003  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional (Sisdiknas) memberi  beban  yang  sangat  berat  bagi  pemerintah.   Pasal  49 menyatakan bahwa  pemerintah  (pusat  maupun  daerah)  harus  mengalokasikan  minimal  20% anggarannya  untuk  keperluan  sektor  pendidikan  di  luar  gaji  pendidik  dan  biaya pendidikan kedinasan.  
Studi  terhadap  245  kabupaten/kota  yang  dilakukan  oleh  penulis  menunjukkan bahwa  realisasi  anggaran masih  jauh dari yang diharapkan.   Pada  tahun 2002,  rata-rata persentase  anggaran  pembangunan  terhadap APBD  hanya  3,14%.   Bahkan,  persentase tertinggi hanya mencapai 10%, masih sangat jauh dari target 20% yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas.  Di  atas  kertas,  Pemda  memang  memiliki  beberapa  sumber  keuangan  daerah, seperti  dana  perimbangan  (DAU, DAK  dan Dana Bagi Hasil),  pendapatan  asli  daerah (PAD)  dan  pinjaman.   Tapi  pada  kenyataannya,  rata-rata  peranan  PAD  dalam  APBD hanya sekitar 7%.   Sementara  itu, rata-rata  tertimbang  rasio dana perimbangan  terhadap pengeluaran rutin adalah 1,4 yang menunjukkan bahwa  tidak banyak dana perimbangan yang bisa digunakan untuk keperluan di luar anggaran rutin.  Jelas  bahwa  Pemda  memiliki  tanggung  jawab  yang  besar  dan  bersifat  jangka panjang di  sektor pendidikan,  tetapi  tidak memiliki  sumber dana yang cukup dan  stabil untuk  mendanai.  Jika  situasinya  tidak  berubah,  Daerah  tidak  akan  mampu  memenuhi 20%  anggaran  untuk  pendidikan  seperti  yang  diamanatkan  UU  Sisdiknas  dan  pada gilirannya  ada  risiko  terjadi  penurunan  kualitas SDM  sebagai  dampak  otonomi  daerah. 
Beberapa  plot  dan  berikut  ini  akan  memberi  gambaran  lebih  lengkap  tentang  alokasi APBD untuk sektor pendidikan. Hasil  analisis  regresi  menunjukkan  bahwa  dilihat  dari  sisi  nilai  pengeluaran pembangunan  sektor  pendidikan  maupun  persentase  pengeluaran  pendidikan  terhadap total pengeluaran pembangunan, tidak ada perbedaan komitmen antara kabupaten dengan kota.   Dari semua model  regresi dalam analisis  ini, variabel “kabkot”  (yang merupakan dummy  variable  untuk  status  sebagai  kabupaten  atau  kota)  pengaruhnya  selalu  tidak signifikan  terhadap  pengeluaran  pembangunan  sektor  pendidikan  atau  persentase pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan.  Sementara  itu,  analisis  terhadap  variabel  bebas  total  pengeluaran  APBD,  total dana  perimbangan  dan  PAD  menunjukkan  bahwa  ketiga  variabel  tersebut  memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai pengeluaran untuk sektor pendidikan, tetapi tidak signifikan  pengaruhnya  terhadap  persentase  pengeluaran  pembangunan  sektor pendidikan.   Jadi,  jika  komitmen  suatu  daerah  terhadap  sektor  pendidikan  dilihat  dari persentase pengeluaran sektor pendidikan (bukan nilai absolutnya), maka  terlihat bahwa tidak ada jaminan bahwa daerah-daerah yang lebih kaya akan mengalokasikan prosi dana yang lebih besar untuk pembangunan sektor pendidikan. 

3. Masalah Alokasi Dana APBN 
Dalam  Pemilu  legislatif  2004,  hampir  semua  partai  berlomba-lomba  untuk mengusung  tema-tema  populer,  utamanya masalah  pengangguran  dan  pendidikan. Di bidang pendidikan, hampir  semua partai menjanjikan alokasi dana yang  sigifikan untuk sektor ini.  Beberapa  calon presiden  secara eksplisit menjanjikan  bahwa  kalau menang, maka  pemerintah  akan mengalokasikan  20 persen APBN untuk pendidikan. Di  sisi  lain,  beberapa  pengamat  menyatakan  bahwa  pemerintah  sekarang  telah melakukan  pelanggaran,  karena  tidak mengalokasikan  dana APBN minimal  20  persen untuk  sektor  pendidikan  di  luar  gaji  pegawai  dan  pendidikan  kedinasan  sebagaimana diamanatkan UUD  1945  (amandemen).   Alokasi  yang  ada  untuk  tahun  anggaran  2005 baru sekitar tujuh persen.  Persoalan  utama  berkaitan  dengan  target  anggaran  pendidikan  20  persen  adalah masalah  kemampuan  finansial  (affordability)  pemerintah.   Pertanyaannya:  Apakah memang  pemerintah  memiliki  sumber  dana  yang  cukup  besar  untuk  dialokasikan  ke sektor pendidikan? 
Perlu diingat kembali, bahwa yang dimaksud sebagai anggaran pendidikan dalam hal  ini adalah di  luar untuk keperluan gaji pendidikan dan pendidikan kedinasan.   Jadi, kurang  lebih,  yang  dimaksud  sebagai  anggaran  pendidikan  di  sini  adalah  apa  yang dikenal sebagai anggaran pembangunan (bukan anggaran rutin).  Kemampuan fiskal bisa dilihat dari struktur pengeluaran APBN, misalkan APBN 2004.  Untuk tahun 2004, sekitar 15 persen dari APBN akan digunakan untuk keperluan belanja pegawai, 19 persen untuk membayar cicilan bunga hutang, dan 31 persen untuk transfer  ke  daerah.   Itu merupakan  jenis-jenis  pengeluaran  yang  tak  terhindarkan,  baik karena “terlanjur” maupun karena ketentuan perundang-undangan.   Pos tak  terhindarkan itu total memakan sekitar 65 persen dari APBN.   Perlu  ditambahkan,  bahwa  pada  tahun  2004  ada  beban  subsidi  sekitar  Rp  23 trilyun atau enam persen dari anggaran  (sebagian besar untuk subsidi BBM dan  listrik). 
Secara politis,  subsidi  ini  juga  tak  terelakkan mengingat  resistensi yang demikian besar terhadap ide pencabutan subsidi pemerintah. Jadi,  andaikan  pengeluaran  rutin  lain  bisa  dihilangkan,  potensi  dana  untuk anggaran pembangunan  tak akan  lebih dari 30 persen.   Pada kenyataannya, untuk  tahun 2004  total  anggaran  pembangunan  bahkan  kurang  dari  20  persen.   Katakanlah  kita bergerak  dari  angka  potensi  yang  30  persen  itu.   Mungkinkah  kemudian  sektor pendidikan  diberi  20  persen,  dan  sisanya  10  persen  untuk  pembangunan  semua  sektor lain.  Padahal di luar sektor pendidikan juga ada sektor lain yang erat kaitannya dengan Paparan  di  atas  menunjukkan,  bahwa  dalam  jangka  pendek  dan  menengah pemerintah  memang  tidak  memiliki  dana  yang  cukup  untuk  memenuhi  ketentuan konstitusi 20 persen APBN untuk pendidikan.  Bahkan  target waktu  lima  tahun  (hingga 2009)  untuk  mencapainya,  sebagaimana  disepakati  oleh  pemerintah  dan  DPR, kelihatannya juga terlalu optimistik. Pertama,  alokasi  di  bawah  20  persen  untuk  pendidikan hingga  saat  ini  tidak dengan  serta-merta bisa dianggap  sebagai penyimpangan  terhadap konstitusi.  Dalam kondisi  tekanan fiskal seperti sekarang  ini, siapa pun pemerintahnya, target  20  persen  itu  tidak  akan  bisa  tercapai.  Kedua,  siapa  pun  yang  berjanji  akan mengalokasikan  anggaran  20  persen  untuk  pendidikan  dalam  jangka  pendek,  dia  pasti akan dengan terpaksa mengingkari janjinya.   
Di luar masalah kemampuan finansial, ada sejumlah pertanyaan seputar ketentuan normatif  tersebut.   Pertama, menyangkut  dasar  penentuan  target  anggaran.   Angka  20 persen sangat mekanistik, dan  tidak menjamin kecukupan anggaran. Mengapa?   Karena ketentuan  tersebut  tidak didasari oleh  sebuah perhitungan yang  teliti  tentang kebutuhan anggaran, khususnya perhitungan biaya  satuan  (unit cost).   Akibatnya, angka 20 persen itu  menjadi  sangat  relatif,  bisa  cukup,  bisa  kurang,  bisa  juga  “berlebih”.   Meskipun terlihat “aneh”, kemungkinan “kelebihan” dana Ini  menyangkut  persoalan  kedua,  yakni  terkait  dengan  otonomi  daerah.  Kalau berbicara  tentang  alokasi  APBN,  berarti  kita  sedang  berbicara  tentang  pengeluaran pemerintah pusat.   Seperti beberapa kali disinggung di bagian  terdahulu, di era otonomi daerah  ini,  kewenangan  pusat  di  sektor  pendidikan  sangat  terbatas,  yakni  di  bidang kurikulum  dan  penetapan  standar,  selain  tanggung  jawab  untuk  pengelolaan  perguruan tinggi.   Itu pun dengan catatan bahwa peran pemerintah di tingkat perguruan tinggi lebih banyak  di  bidang  regulasi  dan  pengawasan.  
Di  luar  itu,  khususnya  dalam pengelolaan Wajib Belajar, menjadi tanggung jawab daerah.  tersebut sangat mungkin terjadi.    Angka 20 persen itu sangat besar, melibatkan uang sekitar Rp 50 trilyun.  Dengan tugas pusat yang demikian terbatas, untuk apa uang sebanyak itu?  Jelas bahwa kebijakan tersebut  tidak  sejalan  dengan  arah  kebijakan  otonomi  daerah  yang  (konon) mengikuti prinsip “uang mengikuti kewenangan” atau money follows function.  Jajaran  pemerintah  pasti  sudah  menyiapkan  jawabannya,  yakni  untuk dialokasikan  ke  sekolah-sekolah  atau  yang  terkait  dengan  itu.   Ini  kemudian  terkait dengan persoalan ketiga, yakni tentang mekanisme alokasi.  Kalau  pusat  akan  mengalokasikan  langsung  ke  sekolah-sekolah,  pasti  akan muncul  masalah  mistargeting.   Salah  satu  kelemahan  utama  pusat  adalah ketidakmampuannya  mengidentifikasi  kebutuhan  dan  permasalahan  di  tingkat  mikro (sekolah).  Kalau  disalurkan  melalui  pemerintah  daerah,  untuk  kemudian  pemda mengalokasikan  ke  sekolah-sekolah,  ini  seperti  pola  lama.   Sense  of  belonging  pemda untuk  kasus-kasus  seperti  ini  terbukti  scara  umum  rendah,  kontrol  masyarakat  juga minim,  sehingga kemungkinan penyimpangan menjadi  sangat  terbuka.   Lagipula, kalau akhirnya dialokasikan melalui Pemda, mengapa anggaran itu tidak langsung dialokasikan ke  daerah  saja  (melalui  mekanisme  dana  perimbangan)  tanpa  perlu  melalui  instansi pusat?  Ada  ide untuk menggunakan Dewan Pendidikan yang merupakan  institusi multi-stakeholder  di  tingkat  kabupaten/kota  untuk menyalurkan  dana  itu.   Padahal,  institusi yang relatif baru tersebut belum teruji akuntabilitas dan efektifitasnya sejauh ini. 

E.    Permasalahan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik. Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidikan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut. Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk tidak turut dalam penanganan pendidikan.

Latihan Kerja
1.       Carilah kliping/ artikel mengenai permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia
2.       Jelaskan fenomena praktik pembiayaan pendidikan di Indonesia dan permasalahannya serta solusi apa yang ditawarkan guna mengatasi masalah tersebut.
3.       Jelaskan permasalahan mendasar yang dapat timbul sebagai akibat desentralisasi dalam pembiayaan pendidikan.


Petunjuk Mengerjakan Latihan
1.       Untuk mengerjakan latihan 1 Anda dapat mencari artikel tentang permasalahan pembiayaan pendidikan baik dari koran dan internet.
2.       Latihan no 2 dapat Anda buat dalam bentuk matriks yang memuat praktik pendidikan, potensi permasalahan dan upaya untuk mengatasinya
3.       Latihan 3 dapat Anda kerjakan dengan membaca hasil penelitian Priyono (2004) yang menelaah tentang pembiayaan pendidikan pada era otonomi daerah.

Rangkuman
Sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Biaya pendidikan dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Biaya Satuan Pendidikan, Biaya Penyelenggaraan dan/ atau Pengelolaan Pendidikan, serta Biaya Pribadi Peserta Didik. Untuk besaran anggaran pendidikan, negara Indonesia dikatakan kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia maupun di dunia.
Salah satu program pembiayaan pendidikan yang dicanangkan pemerintah adalah program bantuan operasional sekolah (BOS) yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan dalam percepatan pencapaian program Wajib Belajar 9 tahun. Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
Sementara itu, permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia masih banyak, salah satunya pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% dan mahalnya biaya pendidikan untuk masing-masing jenjang.

Tes Formatif
1.       Sebutkan dasar hukum yang digunakan dalam rangka pelaksanaan pembiayaan pendidikan di Indonesia!
2.       Bagaimana implementasi besaran alokasi dana pendidikan di Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan Amerika?
3.       Siapakah yang menjadi sasaran untuk menerima batuan operasional sekolah (BOS)?
4.       Permasalahan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan pembiayaan pendidikan di Indonesia?

Tindak Lanjut:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar ini yang perlu Anda lakukan adalah:
1.       Buatlah rangkuman materi dengan mengambil konsep-konsep utama dan kata-kata kunci
2.       Buatlah  latihan yang diberikan dengan mengikuti petunjuk jawaban latihan
3.       Cocokkanlah hasil latihan dengan petunjuk jawaban, dan yang dikerjakan teman-teman, serta penjelasan tutor
4.       Apabila penjelasan  tutor menunjukkan hasil latihan Anda baik, silakan melanjutkan ke materi berikutnya

Petunjuk Jawaban Latihan
1.       Untuk menjawab soal latihan tersebut, cobalah Anda cermati uraian tentang peran pembiayaan pendidikan pada Kegiatan Belajar 4
2.       a. Menjelaskan dasar hukum pelaksanaan pembiayaan pendidikan sesuaikan dengan soal latihan.
b.      Menjelaskan implementasi alokasi dana pendidikan riil di Indonesia
c.       Menjelaskan mengenai dana BOS
d.      Memaparka mengenai permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia





Referensi:
Bahan Ajar Mata Kuliah Manajemen Keuangan Pendidikan. Nanang Fattah, dkk. 2009. Jurusan Administrasi Pendidikan

Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah; Masalah dan Prospek. Edy Priyono. 2002. Makalah. Managing Basic Education (MBE) Project RTI International-USAID. 

Becker G.S. 1993. Human Capital, A theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education. Chicago, University of Chicago P ress
Cohn. Elchanan, 1979. The Economics Of Education, Ballinger Publishing
Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar