MODUL 1
KONSEP
DASAR PEMBIAYAAN PENDIDIKAN
Oleh: NN
I. Pendahuluan
Dalam konteks
penyelenggaraan pendidikan baik ditingkat makro (negara) maupun di tingkat
mikro (lembaga) pembiayaan merupakan unsur
yang multak harus tersedia. Sebagai contoh pemerintah Republik Indonesia
sesuai amanat Undang-Undang setiap tahunnya telah mencanangkan alokasi anggaran
pendidikan sebesar minima 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), demikian pula pemerintah daerah setiap tahun menetapkan anggaran untuk
pendidikan seperti untuk gaji guru dan gaji tenaga kependidikan lainnya di
daerah. Dalam konteks lembaga atau organisasi, sekolah setiap tahun menyusun
Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) yang menunjukkan bagaimana
perencanaan pendapatan dan penggunaan biaya untuk keperluan operasional
sekolah. Penggunaan biaya tersebut menggambarkan pola pembiayaan dalam
pendidikan. Dengan demikian pada semua tingkatan penyelenggaraan pendidikan
pembiayaan merupakan hal yang sangat penting untuk turut menjamin terlaksananya
pendidikan.
Secara
konseptual hal tersebut sejalan dengan unsur-unsur utama dalam organisasi yaitu
man (manusia), material (bahan-bahan), money
(uang) dan method (metode). Dengan
demikian pembiayaan akan terkait dengan ketersediaan unsur uang dalam organisasi,
termasuk organisasi pendidikan. Pembiayaan untuk pendidikan berarti
merencanakan bagaimana uang tersebut diperoleh dan bagaimana menggunakan uang
tersebut untuk keperluan kegiatan pendidikan di tingkatan satuan pendidikan
atau wilayah tertentu.
Namun
demikian, dalam memahami pembiayaan pendidikan tersebut kita perlu
memahami konsep dan teori dasar yang
dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana dasar pemikiran pembiayaan pendidikan,
pola pembiayaan pendidikan dan tujuan yang ingin dicapai dari suatu aktivitas
pembiayaan pendidikan. Dalam kaitan ini mengapa negara turut bertanggung jawab
dalam pembiayaan pendidikan dan bagaimana peran instutusi dan masyarakat dalam
membiayai pendidikan. Hal tersebut akan dijelaskan dalam modul ini.
Pemahaman
tentang pembiayaan pendidikan juga akan membawa kita pada bagaimana praktik
pembiayaan dan kebijakan pembiayaan pendidikan di berbagai negara. Pemahaman
atas implementasi pembiayaan pendidikan dan kebijakannya diharapkan dapat
memperkuat pemahaman tentang relevansi antara teori dan konsep dasar pembiayaan
pendidikan mengingat berbagai negara memiliki karakteristik tersendiri dalam
pola pembiayaan pendidikannya.
Memperhatikan
hal di atas maka konsep dasar pembiayaan pendidikan akan mencakup tentang:
teori dasar ekonomi pendidikan dan pengertian pembiayaan pendidikan,
model-model pembiayaan pendidikan di negara maju dan kebijakan pembiayaan
pendidikan di Indonesia.
Dengan demikian
setelah menyelesaikan modul konsep dasar pembiayaan pendidikan ini secara umum
Anda diharapkan dapat:
1.
Menjelaskan teori dasar ekonomi pendidikan
yang menjadi dasar pembiayaan pendidikan
2.
Menguraikan pengertian pembiayaan pendidikan
3.
Menjelaskan model-model pembiayaan
pendidikan di negara-negara maju
4.
Menjelaskan kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia.
Modul ini terdiri dari 4 kegiatan belajar yaitu: Human
Capital Theory dan Cost and Benefit Analysis dalam Konteks
Pembiayaan Pendidikan, Pengertian dan Pendekatan dalam Pembiayaan Pendidikan, Model-Model Pembiayaan
Pendidikan Negara Maju dan Negara Berkembang dan Kebijakan Pembiayaan di
Indonesia.
II.
Kompetensi Umum
Setelah mempelajari modul ini Anda
diharapkan dapat memahami dan menjelaskan aspek teoritis pembiayaan pendidikan,
pengertian serta model-model pembiayaan yang ada di negara maju dan negara
berkembang.
III.
Kompetensi Khusus
Adapun
kompetensi khusus yang diharapkan dapat Anda capai setelah mempelajari modul
ini yaitu Anda diharapkan dapat:
1. Memahami teori dasar ekonomi pendidikan yang menjadi dasar pembiayaan
pendidikan, pembiayaan pendidikan, model-model pembiayaan pendidikan di
negara-negara maju dan negara berkembang, serta kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia.
2. Mampu menyebutkan teori dasar ekonomi pendidikan yang menjadi dasar pembiayaan pendidikan,
pembiayaan pendidikan, model-model pembiayaan pendidikan di negara-negara maju
dan negara berkembang, serta kebijakan pembiayaan pendidikan di
Indonesia.
3. Mampu menganalisa mengenai model-model pembiayaan pendidikan di negara-negara maju dan
negara berkembang, serta kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia.
IV.
Petunjuk Belajar
Pelajarilah
uraian singkat materi pertemuan 1 di bawah ini, kembangkan pemahaman anda
dengan memperdalam dan mengembangkannya dari berbagai sumber, kemudian
kerjakanlah bagian latihannya untuk mengukur tingkat pemahaman anda terhadap
materi yang telah dipelajari.
Kegiatan Belajar 1
Human Capital Theory dan Cost and Benefit Analysis dalam Konteks Pembiayaan Pendidikan
A.
Human Capital Theory and Cost Benefit Analysis
Teori human capital
adalah suatu pemikiran yang menganggap bahwa manusia merupakan suatu bentuk
kapital atau barang modal sebagaimana barang-barang modal lainnya, seperti
tanah, gedung, mesin, dan sebagainya. Human capital dapat didefinisikan sebagai
jumlah total dari pengetahuan, skill, dan kecerdasan rakyat dari suatu negara. Investasi tersebut (human capital) dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh tingkat konsumsi yang lebih tinggi di masa yang akan datang.
Walaupun kontroversi mengenai diperlakukannya human resources sebagai human
capital belum terselesaikan, namun beberapa ekonom klasik dan neo-klasik
seperti Adam Smith, Von Threnen, dan Alfred Marshall sependapat bahwa human
capital terdiri dari kecakapan-kecakapan yang diperoleh melalui pendidikan dan
berguna bagi semua anggota masyarakat. Kecakapan-kecakapan tersebut merupakan
kekuatan utama bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam penjelasannya
dikemukakan bahwa human capital
(modal tenaga kerja)
merupakan dana individu
yang diinvestasikan untuk memperoleh
keahlian, pengetahuan dan
pengalaman. Investasi dalam
human capital membutuhkan pengorbanan
pada masa sekarang tetapi dapat
meningkatkan aliran pendapatan pada masa yang akan datang.
Walaupun sistem
pendiidkan telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, namun baru tahun 1940 an
orang mulai sadar akan hubungan pendidikan dan latihan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Seorang ekonom asal Amerika Serikat, John Kendrick mengidentifikasi
hasil penelitian bahwa selama tahun 1919 sampai dengan tahun 1957 pendapatan
nasional Amerika Serikat bertambah 3,2% setahun sedangkan modal dan tenaga
kerja hanya bertambah 1,1 % per tahun. Hal ini berarti bahwa terdapat selisih
sebesar 2,1 persen yang merupakan hasil peningkatan produkstivitas kerja
sebagai akibat perbaikan manajemen dan teknologi, perbaikan gizi dan kesehatan
serta peningkatan kualitas pekerja akibat pendidikan dan latihan.
Hasil penelitian serupa
juga diperoleh Edward F Denison yang menunjukkan bahwa 23% dari pertambahan
pendapatan nasional amerika Serikat dari tahun 1929 sampai dengan 1957
merupakan kontribusi pertambahan kualitas pekerja akibat peningkatan
pendidikan. Dengan demikian pandangan
human capital merupakan implikasi dari keinginan dunia industri dan pemerintah
pada saat itu untuk meningkatkan pendapatan melalui investasi di bidang sumber
daya manusia. Hal itu sebagai bentuk kesadaran bahwa manusia merupakan modal
yang penting dalam pencapaian hasil ekonomi yang optimal.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Bahwa sumber
daya ada tiga macam, yaitu sumber daya alam (natural resources), sumber daya
manusia (human resources), dan sumber daya modal (capital resources).Yang
dibahas di sini adalah sumber daya manusia yang titik beratnya pada modal
manusia (human capital). Tujuan dari pengembangan sumber daya manusia adalah
untuk meningkatkan mutunya dan penggunaannya. Tentang tujuan ini dikemukakan
secara singkat dalam Statement Budapest dan Jakarta Plan of Action. Ada dua
aspek utama dalam pengembangan sumber daya manusia, yaitu aspek mikro, yaitu yang
berkenaan dengan pengembangan pribadi, dan aspek makro, yang berkenaan dengan
sarana, fasilitas, dan iklim yang berkenaan dengan pengembangan pribadi.
Upaya
pengembangan tersebut dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan
dan Pelatihan dilakukan dengan maksud untuk membentuk, mempersiapkan, membina,
dan meningkatkan kemampuan-kemampuan manusia (peserta didik) dan penggunaannya.
Oleh karena pengembangan tersebut dilakukan dengan mengorbankan konsumsi pasa
saat pengembangan berlangsung dan ditujukan untuk memperoleh tingkat konsumsi
yang lebih tinggi di masa yang akan datang, maka pada hakikatnya kegiatan
tersebut merupakan investasi, yaitu investasi dalam sumber daya manusia (human
capital). Jadi pendidikan dan latihan mempunyai peranan yang penting, bukan
hanya menambah pengetahuan, tetapi juga meningkatkan produktivitas kerja.
Sebagai human capital, maka pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan
yang ditempuh setelah sekolah wajib belajar.
Pendidikan dan latihan dapat
dilakukan di luar sekolah, antara lain melalui on the job training,
institusional training, apprenticeship traning, dan up-grading training. On the
job training diberikan kepada mereka yang resmi berstatus pegawai. Ada dua
bentuk pelatihan yaitu in-service training dan pre-service training. Pelatihan
kelembagaan (institusional training) dilakukan melalui organisasi dan
pengembangan sistem secara integral sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional. Pelaksanaannya biasanya dilakukan oleh perguruan tinggi. Pelatihan tingkat
teknis dan pelatihan tingkat pekerja tangan. Kemudian pelatihan magang.
Pelatihan ini diberikan kepada mereka yang akan diangkat menjadi
pegawai/pekerja. Selanjutnya pelatihan upgrading. Pelatihan ini dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kecerdasan dari mereka yang telah
mempunyai tugas tertentu.
- Peningkatan mutu pendidikan dapat dilaksanakan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat. Standar hasil pendidikan mungkin akan berbeda antarsekolah dan antardaerah akan menghasilkan standar kompetensi nasional dalam tingkatan standar minimal, normal (mainstream) dan unggulan.
- Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan
- Peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan dan level operasional melalui komite atau dewan sekolah. Komite ini terdiri dari kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh masyarakat dan perwakilan siswa. Peran komite ini meliputi perencanaan, implementasi, monitoring serta evaluasi program kerja sekolah.
- Pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini berkenaan dengan penerapan formula pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan, upaya pemerataan mutu pendidikan dengan adanya standar kompetensi minimal serta pemerataan pelayanan pendidikan bagi siswa pada seluruh lapisan masyarakat.
Sejauh ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai
konsep human capital, termasuk juga perbedaan pendapat mengenai pengukurannya.
Menurut Mary Jean Bowman perbedaan pendapat tersebut bersumber pada dua hal,
yaitu Pertama mengenai persoalan apakah kapital (human capital) itu sebagai
persediaan (store) ataukah sebagai input terhadap produksi. Kedua, berkenaan
dengan pembobotan. Dalam pembobotan ini terlihat adanya upaya-upaya untuk
memperlakukan ukuran-ukuran kuantitatif dan kualitatif dalam satuan-satuan
human capital. Namun belum ada kesepakatan mengenai perlakuan pengukuran
kuantitatif dalam human capital.
Suatu ukuran pendididikan
yang diwujudkan dalam labor force (satuan tenaga kerja) dapat digunakan
untuk mengubah kualitas menjadi kuantitas. Komponen-komponen pendidikan
kemudian menjadi variabel yang spesifik yang dapat dibandingkan dengan kapital
fisik, dan ukuran angkatan kerja dalam pertumbuhan ekonomi. Sebagai
konsekuensinya, maka satuan kapital didefinisikan dalam pengertian yang
terbatas, yaitu dalam labor force, yang dapat diukur dengan beberapa
cara, antara lain ialah:
- Number of school years
- Efficiency-equivalence units
- Base-year lifetime earned income
- Approximations to base year real cost
- Approximations to current real cost
Ada beberapa
persoalan pengukuran pembentukan human capital menurut pendekatan dasar biaya.
Ukuran-ukuran pembentukan kapital neto menemui beberapa kesulitan, antara lain.
Ace Suryadi
(1991) mengungkapkan bahwa menurut teori human capital
tercermin keterampilan, pengetahuan dan produktivitas sumber daya manusia.
Lebih lanjut dikemukakannya bahwa terdapat model investasi dalam bentuk sumber
daya manusia yang secara langsung atau tidak melakukan hubungan antara
indikator pendidikan di satu pihak dan indikator ekonomi di lain pihak. Model
yang dimaksudkan adalah model analisis biaya dan keuntungan pendidikan (cost
benefit analysis). Model ini merupakan metodologi yang sangat penting dalam
melakukan analisis untuk investasi pendidikan dan dapat membantu pengambilan
keputusan untuk memutuskan dan memilih diantara alternatif alokasi
sumber-sumber pendidikan yang terbatas agar mampu memberikan kemampuan yang
paling tinggi.
B.
Kaitan Teori Dasar Ekonomi
Pendidikan dalam Pembiayaan Pendidikan
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as
investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap
negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi
pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber
daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan
ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam
Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya
sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada
tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul
“Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association
merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato
tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui
pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga
merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan
sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan
kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui
peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan
cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti
mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya
pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari
pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi
investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti
Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human
capital ini.
Perkembangan
tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah,
perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern
lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan
pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek
konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital
investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh
karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh,
misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor
lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan
pembangunan makronya.
Pada
tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan
oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan
pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di
Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia
pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog
pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human
capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang
memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik
Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan
tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari
itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan
hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus
dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa
penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan
pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung
bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah
akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di
berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin
kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi
fisik lainnya.
Artinya,
investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari
jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung
akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang
diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran
dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal
fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral
dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang
luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan
SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,
dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi
yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif
tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah
hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank
Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang
mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun
1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata
16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain
Juga telah
digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung
terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal
dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak
berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika
masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik
usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak
berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang
berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development
Report, 1980).
Peranan
wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending sehingga membuat
pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan
adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya
dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik
dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh
investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah
studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World
Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of
return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang
berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan
berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai
penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia
lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami
kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita
mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor
pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.
Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Menurut
Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di
depan Mahasiswa Pasca UPI Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa
masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara
lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat
relatif rendah
2. Dinamika perubahan struktur
penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan
3. Kesenjangan tingkat pendidikan
4. Good Governance yang belum
berjalan secara optimal
5. Fasilitas pelayanan pendidikan
yang belum memadai dan merata
6. Kualitas pendidikan relatif
rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik
7. Pendidikan tinggi masih
menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK
8. Manajemen pendidikan belum
berjalan secara efektif dan efisien
9. Anggaran pembangunan
pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalahan
tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara
berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi,
maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat
terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan
dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam
Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada
upaya : 1. Perluasan dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan
dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya
untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia,
sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga
tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.
Nilai Ekonomi Pendidikan
Menurut Ari
A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan
pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”,
kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004).
Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan
ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal
pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut
Indonesia.
Peranan
pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan
ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan
ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990)
serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik
dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam
studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu
menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak
cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara
di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan,
sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Namun,
sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang
sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001)
menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88
persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen
menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di
dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun
1990 menjadi lebih dari separuhnya.
Nyatanya,
kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan
kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga
tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4
persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5
persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu
Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan
negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut.
Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8
persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam
periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah.
Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan
2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi,
perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.
Selain
tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak
berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per
kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan
antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat
pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi
standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi
1,13.
Asumsi
darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika
produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi
lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan
bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi
kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat,
penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya
ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya,
asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan
dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk
jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum
tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita
berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari
Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di
India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor
pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana
pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam
kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Dalam
studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif
daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara
memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain
itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali
produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di
tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat,
juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa
mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial.
Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam
pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial
tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas
sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang
sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain
mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Intervensi Ekonomi Secara Spesifik Pada Pendidikan
Pendapat
yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi
kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara
impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang
menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra
ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus
dilakukan secara hati-hati.
Bentuk
kehati-hatian adalah tidak terjeba untuk mengukut peranan pemerintah dari
besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan
pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan
bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru
dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran
untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan
mutu pendidikan.
Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth
(2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank
subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan
oefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang
paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin
menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi
pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di
Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh
kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat
cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas
pendidikan disana.
Kesimpulannya,
tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diteraka secara universal di semua
negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal.
Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku
secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran
pemerintah yang lebih besar.
Menurut
Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di
pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah
mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup
tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM
Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka
negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat
kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran
belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi
dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk
menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus
dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan
diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya
keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu
tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
Dalam hal pembiayaan pendidikan ini, Fattah (2001)
menjelaskan bahwa biaya yang rendah berpenggaruh terhadap kualitas pendidikan
di Sekolah Dasar dan proses belajar–mengajar serta kualitas outcomes
yang dihasilkan. Artinya ada korelasi yang positif antara besarnya biaya
pendidikan terhadap peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar. Oleh karena itu perencana pendidikan harus
menggunakan sebaik mungkin sumber daya yang tersedia, mengawasi penggunaan sumber daya yang ada terhadap
permintaan atas sumber daya tersebut, dan mensupport setiap argumen dengan
analisa kuantitatif dengan menggunakan bantuan cost analysis ini.
Mengukur biaya dan manfaat (cost benefit
analysis) dalam hitungan ekonomi atau keuangan, hal ini
diekspresikan dalam bentuk konsep rasio antara present value dari biaya
dengan present value dari manfaat di masa depan yang diharapkan
(digunakan istilah rate of return on the investment). Tujuan dari setiap
analisa cost-benefit ini adalah untuk membandingkan opportunity cost
dari suatu project dengan benefit yang diharapkan, diukur dengan
tambahan pendapatan yang akan terjadi di masa depan sebagai hasil dari suatu
investasi.
Penghitungan ini bisa mengevaluasi pendidikan sebagai
suatu investasi baik sebagai individu maupun untuk masyarakat. Kalkulasi
private rate of return terhadap investasi pendidikan menunjukkan sejauh
mana keuntungannya bagi individu bersangkutan atau untuk keluarganya dengan
berinvestasi dalam pendidikan. Sedangkan social rate of return
menyediakan yardstick dalam mengevaluasi pendidikan sebagai suatu
investasi sosial. Keduanya melihat biaya pendidikan sebagai suatu investasi
sosial. Keduanya melihat biaya pendidikan sebagai suatu opportunity cost.
“Private costs of education” terdiri dari
pengeluaran untuk biaya sekolah, buku, peralatan, travel, dan pendapatan yang
seharusnya didapat bila tidak kuliah. Sedangkan “social cost” terdiri
dari seluruh pengeluaran biaya kuliah, nilai bangunan & peralatan sekolah,
dan pendapatan yang didapat bila tidak kuliah.
Benefit ekonomi pendidikan diukur dari pendapatan
tambahan sepanjang hidup seorang pekerja yang terdidik. Benefit dalam konteks ini adalah manfaat yang diterima oleh peserta
didik sebagai hasil atau perolehan dari proses pendidikan yang ditempuhnya.
Manfaat yang diterima dapat berupa pengetahuan, keterampilan yang bermuara pada
kemandirian kerja guna memperoleh pendapatan. Dalam kaitan ini, pendapatan
orang dengan tingkat pendidikan yang berbeda dapat dilihat dari usia kemampuan,
latar belakang sosial. Walaupun sulit mengukur benefit langsung atau tidak langsung dari pendidikan,
setidak-tidaknya dapat diukur dengan rate of return to education dengan menggunakan discounted
cash flow techniques dengan mengukur present value baik dari
biaya yang dikeluarkan dan benefit yang akan diterima. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa:
·
Rate of return dari seluruh
bentuk pendidikan bernilai positif di hampir seluruh negara, dan rate of
return dari pendidikan dasar
dan menengah lebih tinggi dari pada
pendidikan tinggi. Penjelasan dari hal tersebut adalah manfaat
yang diberikan dari pendidikan dasar dan menengah lebih tinggi daripada manfaat
yang diterima dari pendidikan tinggi
·
Secara konsisten, private
rate of return lebih tinggi daripada social rate of return,
mengindikasikan bahwa pendidikan lebih menguntungkan sebagai bentuk investasi
untuk individu, daripada untuk masyarakat secara keseluruhan.
Latihan Kerja
1.
Jelaskan yang dimaksud dengan human capital theory, berikan penjelasan
terkait dengan investasi di bidang sumber daya manusia
2.
Buatlah suatu bagan atau diagram tentang
hubungan antara human capital theory
dan pembiayaan pendidikan
3.
Uraikan
bentuk private cost education yang
Anda pahami, berikan contoh.
Petunjuk
Jawaban Latihan
1.
Untuk menjawab soal latihan tersebut,
cobalah Anda cermati uraian tentang human capital theory dan investasi dalam
pendidikan dari sumber-sumber yang relevan.
2.
Untuk menjawab pertanyaan no 2 Anda dapat
melakukan penelaahan pada jawaban yang telah Anda uraikan untuk No. 1,
selanjutnya Anda dapat menentukan hubungan dan keterkaitan dari masing-masing
aspek tersebut.
3.
Untuk menjawab pertanyaan No. 3 Anda dapat
membaca kembali konsep tentang “Private costs of education” pada bagian B kegiatan belajar ini.
Rangkuman
Teori human capital mencerminkan keterampilan,
pengetahuan dan produktivitas kerja. Model yang digunakan di dalam
perhitungannya adalah cost benefit
analysis yang merupakan metodologi yang sangat penting dalam melakukan
analisis untuk investasi pendidikan dan dapat membantu pengambilan keputusan
untuk memutuskan dan memilih diantara alternatif alokasi sumber-sumber
pendidikan yang terbatas agar mampu memberikan kemampuan yang paling tinggi. Penghitungan
ini bisa mengevaluasi pendidikan sebagai suatu investasi baik sebagai individu
maupun untuk masyarakat. Benefit ekonomi pendidikan diukur dari
pendapatan tambahan sepanjang hidup seorang pekerja yang terdidik.
Tes Formatif
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan human
capital theori dan cost benefit
analysis!
2. Jelaskan hubungan antara teori human capital dengan implementasi
pembiayaan untuk pendidikan.
3. Bagaimana peranan
konsep rate of return pendidikan
dalam konteks pembiayaan pendidikan
4. Jelaskan mengapa
perlu dilakukan penghitungan atau kajian rate
of return dalam konteks ekonomi pendidikan.
5. Jelaskan
bentuk-bentuk benefit dalam pendidikan yang dapat diperoleh oleh peserta didik
dan berikan contohnya.
Tindak Lanjut:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar ini yang
perlu Anda lakukan adalah:
1. Buatlah rangkuman materi dengan mengambil konsep-konsep utama dan
kata-kata kunci
2. Buatlah latihan yang diberikan
dengan mengikuti petunjuk jawaban latihan
3. Cocokkanlah hasil latihan dengan petunjuk jawaban, dan yang dikerjakan
teman-teman, serta penjelasan tutor
4. Apabila penjelasan tutor
menunjukkan hasil latihan Anda baik, silakan melanjutkan ke materi berikutnya
Petunjuk
Jawaban Latihan
1.
Untuk menjawab soal latihan tersebut,
cobalah Anda cermati uraian tentang peran human
capital theory dan cost and benefit
analysis dalam konteks pembiayaan pendidikan pada Kegiatan Belajar 1
2.
a. Menjelaskan human capital theory sesuaikan
dengan soal latihan serta implementasi pembiayaan untuk pendidikan.
b.
Menjelaskan manfaat analisa cost benefit dalam konteks pembiayaan pendidikan.
c. Menjelaskan peranan konsep rate of return pendidikan dalam konteks
pembiayaan pendidikan serta benefitnya.
Referensi:
Bahan Ajar Mata Kuliah Manajemen Keuangan Pendidikan. Nanang Fattah, dkk. 2009.
Jurusan Administrasi Pendidikan
Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah;
Masalah dan Prospek. Edy Priyono. 2002. Makalah. Managing Basic
Education (MBE) Project RTI International-USAID.
Becker G.S. 1993. Human Capital,
A theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education.
Chicago, University of Chicago P ress
Cohn. Elchanan, 1979. The
Economics Of Education, Ballinger Publishing
Engkoswara. 2002. Lembaga
Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan
Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan
Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of
Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New
York, Amacom
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education
Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004
Kegiatan Belajar 2
Pengertian
dan Pendekatan dalam Pembiayaan
Pendidikan
A. Pengertian
Pembiayaan Pendidikan
Secara bahasa biaya (cost) dapat diartikan
pengeluaran, dalam istilah ekonomi, biaya/pengeluaran dapat berupa uang atau
bentuk moneter lainnya. Dan biaya pendidikan
menurut Supriadi (2000), merupakan salah satu komponen instrumental (instrumental
input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di
sekolah). Biaya dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua
jenis pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam
bentuk uang maupun barang dan tenaga (yang dapat dihargakan uang).
Nanang Fattah menambahkan biaya dalam pendidikan
meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak
langsung (indirect cost). Biaya langsung terdiri dari
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan
kegiatan belajar siswa seperti pembelian alat-alat pembelajaran, penyediaan
sarana pembelajaran, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan
pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung
berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk
biaya kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang
dikorbankan oleh siswa selama belajar, contohnya, uang jajan siswa, pembelian
peralatan sekolah (pulpen, tas, buku tulis,dll).
Keuangan dan pembiayaan merupakan salah
satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi
pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam implementasi
Manajemen Berbasis Sekolah, yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pengelolaan dana
secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan
dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan
pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan
terlaksananya kegiatan belajar-mengajar di sekolah bersama dengan
komponen-komponen yang lain. Dengan kata lain setiap kegiatan yang dilakukan
sekolah memerlukan biaya, baik itu disadari maupun yang tidak disadari.
Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya, agar
dana-dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang
tercapainya tujuan pendidikan.
Penghitungan biaya
pendidikan meliputi antara lain total cost yang mencakup fixed cost dan variable
cost, unit cost per program studi atau per siswa/mahasiswa, average
cost, dan marginal cost. Masing-masing jenis biaya tersebut
mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
Biaya pendidikan
ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: besar kecilnya sebuah institusi
pendidikan, jumlah siswa, tingkat gaji guru atau dosen yang disebabkan oleh
bidang keahlian atau tingkat pendidikan, ratio siswa berbanding guru/dosen,
kualifikasi guru, tingkat pertumbuhan
penduduk (khususnya di negara berkembang), perubahan kebijakan dari
penggajian/pendapatan (revenue theory of cost).
Dalam menghitung
biaya pendidikan ini, faktor input dan output dari pendidikan serta proses yang
ada didalamnya yang dikaitkan dengan program pengurangan biaya dan peningkatan
efisiensi, dapat dihitung menggunakan teknik (cost analysis): 1) productifity
measurement atau analisa cost-effectiveness atau 2) analisis cost-benefit.
Hasil perhitungan biaya pendidikan dapat
mengevaluasi apakah investasi tersebut menguntungkan atau tidak baik untuk
individu tersebut (private rate of return) ataupun untuk masyarakat
secara luas (social rate of return).
Menurut Levin (1987)
pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan sumber daya
tersedia digunakan untuk memformulasikan
dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai wilayah geografis dan tingkat
pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan dengan bidang
politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta administrasi
sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah, yakni
school revenues, school expenditures, capital dan
current cost. Dalam pembiayaan sekolah
tidak ada pendekatan tunggal dan yang paling baik untuk pembiayaan semua
sekolah karena kondisi tiap sekolah berbeda.
B.
Pendekatan dalam Pembiayaan
Pendidikan
1.
Prinsip Dasar Pembiayaan
Pendidikan
Dalam pembiayaan pendidikan terdapat prinsip- prinsip pembiayaan
pendidikan, yakni:
·
prinsip
keadilan: yaitu
kemampuan maksudnya kemampuan financial masyrakat yang tidak sama rata
tergantung kondisi ekonomi masyarakat,
·
prinsip
kecukupan: yaitu unit cost maksudnya
menghitung biaya pendidikan atau siswa, misalnya Jakarta tidak sama
unit cost nya dengan Papua.
·
prinsip
keberlanjutan: maksudnya yaitu pendidikan bukan hari ini tetapi untuk esok.
2.
Perbedaan Pembiayaan Pendidikan
dan Ekonomi Pendidikan
Elchanan Cohn (1979) mengemukakan ekonomi
pendidikan pada dasarnya berkenaan dengan produktivitas pendidikan bagi
kelompok dan individu, da persoalan berapa banyak biaya yang seyogyanya
dikeluarkan untuk pendiidkan dan jenis pendidika apa yang dipilih oleh
masyarakat. Pendidikan melibatkan banyak orang da uang, baik dilihat dari
jumlah siswa maupun tenaga kerja yang terlibat, demikian pula jumlah
anggarannya.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal
manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama
masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A.
Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil
(1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang
legendaris itu.
Dalam studi- studinya, mereka menunjukkan
bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian
sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan
tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal
manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa
dijelaskan.
Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan
di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi.
Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga
tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan
per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat
pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi standar dalam
tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama,
deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93
menjadi 1,13. Hal ini menggambarkan adanya perbedeaan yang semakin tajam.
Asumsi dasar dalam menilai kontribusi
pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah
pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja
meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi lain kenaikan produktivitas berarti
kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan
secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika
tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh
lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu
bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan
produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan
tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat
terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai
manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995)
mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau
bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti
India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena
mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di
sektor ini. Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh
lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan
signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Sementara itu, pembiayaan pendidikan tidak
hanya menyangkut analisa sumber-sumber saja, tetapi juga penggunaan dana secara
efisien. Makin efisien dana pada sistem pendidikan tersebut maka berkurang pula
dana yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuannya, oleh karena itu dengan
efisiensi akan lebih banyak tujua program yang dicapai dengan anggaran yang
tersedia (Zymelman, 1975)
3.
Fungsi Pembiayaan Pendidikan
Pembiayaan
pembangunan pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan ketentuan perundangan
serta kebijakan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pembiayaan
pendidikan disusun dalam rangka melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
·
memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat
kurang beruntung lainnya;
·
memperkuat otonomi dan desentralisasi pendidikan; dan
·
memberikan insentif dan disinsentif bagi
(a)
perluasan dan pemerataan akses pendidikan,
(b)
peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan secara berkelanjutan,
dan
(c) penguatan
tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelola pendidikan.
Latihan Kerja
1. Carilah 3
definisi pembiayaan pendidikan dari 3 ahli dan 3 sumber atau ahli.
2. Buatlah
definisi tentang pembiayaan pendidikan berdasarkan sintesa dari ketiga definisi
tersebut
3. Diskusikan
dengan teman-teman bagaimana peranan pembiayaan dalam pendidikan dalam
memperkuat ekonomi dan desentralisasi pendidikan.
Petunjuk
Jawaban Latihan
1. Untuk
menjawab soal latihan tersebut, cobalah Anda cermati uraian tentang pengertian
pembiayaan pendidikan baik dari buku sumber maupun dari sumber lainnya yang
relevan
2. Untuk
menjawab pertanyaan no 2 Anda dapat melakukan penelaahan pada jawaban yang
telah Anda uraikan untuk No. 1, selanjutnya Anda dapat menentukan kata kunci
dari masing-masing definisi tersebut sehingga diperoleh definisi baru yang
sesuai dengan pemahaman Anda tentang pembiayaan pendidikan.
3. Untuk
menjawab pertanyaan No. 3 Anda dapat berdiskusi dengan 2 teman lain. Mintalah
teman-teman Anda memberikan pendapat tentang peranan pembiayaan pendidikan dalam
era desentralisasi dan otonomi. Buatlah catatan dari diskusi tersebut dan buat
kesimpulan dalam bahasa Anda sendiri.
Rangkuman
Biaya
dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan
biaya tidak langsung (indirect cost). Keuangan
dalam pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung
menunjang efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan.yang
diimplementasikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah.
Dalam pembiayaan pendidikan terdapat
prinsip- prinsip pembiayaan pendidikan, yakni prinsip keadilan,
prinsip kecukupan, dan prinsip keberlanjutan. Pembiayaan pendidikan disusun dalam rangka
melaksanakan fungsi-fungsi pemihakan terhadap masyarakat miskin, penguatan
otonomi dan desentralisasi pendidikan, serta pemberian insentif dan disinsentif
.
Tes Formatif
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pembiayaan pendidikan!
2. Sebutkan dan jelaskan
prinsip dasar pembiayaan pendidikan!
3. Apa sajakah fungsi
pembiayaan pendidikan?
4. Apakah perbedaan
antara pembiayaan pendidikan dengan ekonomi pendidikan?
5. Berdasarkan studi
dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap
petani di India semasa revolusi hijau menunjukkan bahwa petani yang memiliki
pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah
sekolah. Buatlah analisis terkait dengan fungsi pembiayaan pendidikan untuk
peningkatan kualitas SDM.
Tindak Lanjut:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar ini yang
perlu Anda lakukan adalah:
1. Buatlah rangkuman materi dengan mengambil konsep-konsep utama dan
kata-kata kunci
2. Buatlah latihan yang diberikan
dengan mengikuti petunjuk jawaban latihan
3. Cocokkanlah hasil latihan dengan petunjuk jawaban, dan yang dikerjakan
teman-teman, serta penjelasan tutor
4. Apabila penjelasan tutor menunjukkan
hasil latihan Anda baik, silakan melanjutkan ke materi berikutnya
Petunjuk
Jawaban Latihan
1.
Untuk menjawab soal latihan tersebut,
cobalah Anda cermati uraian tentang peran pembiayaan pendidikan pada Kegiatan
Belajar 2
2.
Menjelaskan definisi, prinsip, serta fungsi
pembiayaan pendidikan sesuai dengan soal latihan di atas.
Referensi:
Bahan Ajar Mata Kuliah Manajemen Keuangan Pendidikan. Nanang Fattah, dkk. 2009.
Jurusan Administrasi Pendidikan
Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah;
Masalah dan Prospek. Edy Priyono. 2002. Makalah. Managing Basic
Education (MBE) Project RTI International-USAID.
Kegiatan
Belajar 3
Model-Model Pembiayaan
Pendidikan
Negara Maju dan Negara Berkembang
A.
Model Pembiayaan Pendidikan
di Negara Maju
1.
Model Pembiayaan Pendidikan
di Amerika Serikat
Terdapat 12
model pembiayaan pendidikan yag ada dan dipergunakan di Amerika Serikat, yang
terdiri dari:
1) Model Flat Grant
Merupakan metode tertua, paling sederhana dan paling tak seimbang
dalam pembiayaan sekolah. Bantuan negara kepada sekolah distrik lokal
berdasarkan suatu jumlah tertentu yang dikalikan dengan jumlah siswa.
2)
Foundation Plan
Merupakan pendekatan yang paling umum, tujuannya adalah untuk menjamin
suatu pengeluaran minimum tahunan per siswa untuk semua sekolah distrik di
negara bagian.
3)
Power-equalizing Plan
Banyak negara bagian yang mulai mengadopsi beberapa bentuk dari
rencana terbaru. Negara bagian membiayai suatu persentase pengeluaran dari
sekolah lokal dalam ratio kebalikan terhadap kekayaan distrik.
4)
Weighted Student Plan
Para siswa weighted secara proporsi pada karakteristik spesial mereka
(cacat dll) atau program khusus (bilingual dll) untuk menentukan biaya
pendidikan per siswa.
5) Model Perencanaan Pokok Jaminan Pajak (Guaranted Tax Base Plan)
Model
ini dibatasi dengan menentukan penafsiran penilaian per siswa yang menjadi
jaminan negara diperuntukkan bagi wilayah sekolah setempat. Bantuan negara
menjadi berbeda antara apa yang diterima daerah per siswa dengan jaminan negara
per siswa. Pembagian presentasenya sangat tinggi di sekolah distrik yang
miskin, dan rendah di sekolah distrik yang kaya/ sejahtera.
6) Model Persamaan Persentase (Persentage
Equalizing Model)
Model
ini dikembangkan tahun 1920-an, lebih banyak memberikan sumbangan yang
dibutuhkan pada tiap murid & guru ke daerah-daerah yang kurang makmur. Dalam
program yang sama, jumlah pembayaran yang disetujui dihitung bagi setiap siswa,
tiap guru, atau bagian lain yang di butuhkan. Jumlah yang diperlukan berubah-ubah tiap bagian sesuai
keperluan.
7) Model Pendanaan Negara Sepenuhnya (Full
State Funding Model)
Model
ini merupakan rencana yang dirancang untuk mengeliminir perbedaan local dalam
hal pembelanjaan dan perpajakan. Pendanaan sekolah akan dikumpulkan ditingkat
negara dan diberikan ke sekolah distrik dengan dasar yang sama. Asas keadilan
tentang perlakuan terhadap siswa dan pembayar pajak, serta pembiayaan
pendidikan berdasarkan tingkat kekayaan yang dimiliki. Untuk menghindari
banyaknya anak pada masyarakat miskin meninggalkan pendidikan sehingga muncul
masalah pengangguran dan kesejahteraan bagi generasi penerusnya.
8) Model Sumber Pembiayaan (The
Resources Cost Model)
Model
ini dikembangkan Hambers dan Parrish yang menyediakan suatu proses penentuan
pembiayaan pendidikan yang mencerminkan kebutuhan berbeda dari kondisi ekonomi
di setiap daerah. Model ini menurut Sergivanni tidak bersangkutan dengan
pendapatan pajak maupun kekayaan suatu daerah.
9) Model Surat Bukti/ Penerimaan (Models
of Choice and Voucher Plans)
Model
ini memberikan dana untuk pendidikan langsung kepada individu atau institusi
rumah tangga berdasarkan permintaan pendidikan. Mereka diberikan surat bukti
penerimaan dana untuk bersekolah melalui sistem voucher yang mencerminkan
subsidi langsung kepada pihak yang membutuhkan yaitu murid.
10) Model Berdasarkan Pengalaman (Historic
Funding)
Model
ini sering disebut Incrementalism, dimana biaya yang diterima satu sekolah
mengacu pada penerimaan tahun yang lalu, dengan hanya penyesuaian.
11) Model Berdasarkan Usulan (Bidding
Model)
Model
ini sekolah mengajukan usulan pada sumber dana dengan berbagai acuan, kemudian
sumber dana meneliti usulan yang masuk, dan menyesuaikan dengan criteria.
12) Model Berdasarkan Kebijaksanaan (Descretion
Model)
Model
ini penyandang dana melakukan studi terlebih dahulu untuk mengetahui
komponen-komponen apa yang perlu dibantuberdasarkan prioritas pada suatu tempat
dari hasil eksplorasinya.
2.
Model Pembiayaan di
Negara-Negara Eropa
a.
Model Pembiayaan Pendidikan
di Jerman
Suatu ciri
khas belajar di Jerman adalah mengenai biaya pendidikan tiap semesternya. Untuk
semua jenis sekolah publik tidak dipungut biaya. Sarana pelajaran, terutama
buku ajar, sebagian diberikan kepada peserta secara cuma-cuma. Pelajaran agama,
kecuali di sekolah netral. Menurut undang-undang merupakan pelajaran
kokurikuler. Di kebanyakan negara bagian didirikan sekolah Kristen bersama.
Keistimewaan ini juga terdapat di negara lain seperti Austria dan negara-negara
Skandinavia. Pada saat ini sudah mulai banyak beberapa negara
bagian di Jerman mendiskusikan tentang biaya kuliah untuk tahun-tahun
mendatang. Apakah Jerman masih tetap mempertahankan keistimewaan ini atau
secara bertahap melakukan pembaharuan peraturannya, dengan kata lain sudah
tidak gratis lagi. Hal ini masih dalam tahap wacana.
Pada
universitas swasta dan program internasional (MBA) biaya pendidikannya tidak
lagi gratis. Pada saat ini lembaga tersebut masih sedikit jumlahnya.
Sesunguhnya biaya kuliah di Jerman relatif rendah (hampir berarti tak perlu
bayar SPP), baik untuk warga negara Jerman, ataupun mahasiswa asing. Biasanya
mahasiswa hanya perlu membayar uang yang namanya "Sozialgebühren".
Ini untuk mendapatkan beberapa fasilitas bagi mahasiswa, misal agar bisa makan
di MENSA (kantin khusus mahasiswa yang ada di kampus-kampus di Jerman) dengan harga mahasiswa, di beberapa
negara bagian, tiket kereta, bus dan trem tak perlu bayar. Sozialgebühren ini sekitar 100 Euro/semester.
Sebagai gambaran di Universitas Bremen, kalau kita makan di MENZA, sekali makan
dengan tarif mahasiswa hanya membayar 1,3 Euro, tetapi bila kita sebagai
pegawai Universitas atau orang luar yang ikut makan, dikenakan biaya 3,5 Euro.
b.
Model Pembiayaan Pendidikan
di Inggris
Sejarah
pendidikan di Inggris dimulai pada 600 M ketika King’s School Canterbury
didirikan. Sekolah tersebut hanya diperuntukkan untuk kalangan kerajaan,
sedangkan rakyat tidak diperkenankan untuk mengenyam bangku sekolah. Baru pada
1249 Universitas Oxford ditemukan. Selanjutnya pada 1902, Education Act
memperkenalkan secondary education untuk anak usia 11-18
tahun. Ketika Perang Dunia II berlangsung,
Education Act mencanangkan eleven plus (11+) examination di
mana anak-anak diharuskan mengikuti tes untuk bisa
melanjutkan pendidikannya ke grammar schools secara
gratis. Hal
ini sangat berpengaruh besar terhadap mobilitas strata sosial warga Inggris
pada saat itu. Sayangnya, mobilitas itu justru menjauhkan anak-anak dari orang
tua yang less well-educated karena lebih mengedepankan
pelajaran akademis dibandingkan teknis. Berikut
jenis-jenis sekolah di Inggris :
1)
State School, biaya pendidikan dibiayai oleh pemerintah. Sekitar
93% pelajar bersekolah di StateSchool atau Sekolah Negeri. State
School terdiri dari Primary School (usia 5-11 tahun), Secondary
School (usia11-16 tahun).
2) Grammar
Schools, mengedepankan sisi akademis (11+ tahun)
3) Fee Paying School
a) Independent
Schools, terdiri dari Private Schools and Public
Schools. Orang tua yang membiayai pendidikan, bukan pemerintah. Untuk dapat
masuk Public Schools, seorang pelajar harus melalui tes yang
dikenal dengan Common Entrance Exams. Public Schools yang
terkenal di antaranya, Eton, Harrow, dan Winchester.
b) Preparatory
Schools, mempersiapkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke public
school.
Bicara mengenai sejarah
pendidikan di Inggris, tentunya juga tidak terlepas dari isu marjinalisasi yang
terjadi pada 1950-an. Adanya sekolah swasta dengan biaya yang mahal,
menyebabkan masyarakat Inggris melakukan protes agar pemerintah mau memberikan
budget lebih kepada sekolah negeri. Hal ini disebabkan masyarakat Inggris mendambakan persamaan hak serta
menentang adanya diskriminasi dalam dunia
pendidikan. Namun,
terlepas dari isu di atas, pendidikan di Inggris menjadi salah satu faktor
penting yang membentuk identitas kebudayaan masyarakat Inggris saat ini. Jika dulu
isu marjinalisasi begitu kental mewarnai pendidikan di Inggris, maka saat ini,
pemerintah Inggris telah menggratiskan biaya pendidikan khusus untuk state
school, setara SMA negeri. Sekitar 93% pelajar di Inggris menempuh
pendidikan gratis melaui State Schools, dan sisanya menempuh
pendidikan diindependent fee paying school, yaitu Public school dan Private
school di mana orang tua membiayai pendidikan untuk anaknya.Hal senada
tidak hanya diberlakukan di Inggris, tapi juga di negara Britania lainnya seperti
Wales dan Skotlandia.
Pada 1950-an, isu agama rupanya turut
mempengaruhi pengalokasian dana dari pemerintah untuk state school. Kebanyakan
sekolah-sekolah di Inggris beragama anglican, selanjutnya Katolik Roma dan Yahudi. Sekolah-sekolah tersebut mendapat
alokasi dana yang cukup, sementara untuk agama seperti Hindu dan Islam,
dukungan finansial dari pemerintah dirasa kurang. Hal ini menjadi isu utama di
daerah Bradford dan daerah-daerah yang terdapat banyak warga
muslim.
Pada
1991 persentasi working-class children yang melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi berkurang. Pasalnya, hanya anak-anak yang
orangtuanya mampu saja yang dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Semakin tinggi jenjangnya, semakin sedikit persentasi pelajar yang melanjutkan
pendidikannya.
Sekitar
30% usia 18-19 tahun melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Khusus untuk
perguruan tinggi, pemerintah menyediakan berbagai beasiswa (scholarship) bagi
yang kurang mampu. Sayangnya, akses golongan ekonomi lemah ke perguruan tinggi
di Inggris saat ini sedang mengahadapi masalah. Pada pemilu tahun 2004, isu
kemerosotan mutu dan terbatasnya akses golongan lemah ke Perguruan Tinggi
menjadi agenda politik dua partai yang bersaing pada waktu itu, yaitu Partai
Buruh dan Partai Torries. Partai Torries berjanji akan meningkatkan akses
golongan kurang mampu dengan memberi subsidi penuh kepada para mahasiswa,
sedangkan Partai Buruh yang sedang berkuasa, menjanjikan akan meningkatkan
akses golongan kurang mampu melalui pembayaran yang ditangguhkan (deferred payment). Menurut penilaian Prof. Nicholas Barr, profesor ekonomi publik dari
London School of Economics, subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan tidak
selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi. Menggunakan
penerimaan dari pajak sebagai sumber pembiayaan pendidikan tinggi akan
menyebabkan dana unruk program lainnya
menjadi berkurang.
Lebih
lanjut lagi, menurut beliau, dalam real politics, subsidi untuk
pendidikan tinggi selalu kalah dengan sistem kesehatan nasional dan untuk
membiayai pendidikan wajib dan program pra-sekolah. Selain itu, pelaksanaan
subsidi di Inggris selalu kurang manguntungkan kelompok miskin. Selama
bertahun-tahun, akses keluarga kurang mampu ke pendidikan tinggi hanya 15%, dibandingkan
81% dari keluarga mampu (Sofian Effendi, www.unisosdem.org).
Selain
itu, di Inggris cukup banyak masyarakat yang mendukung rencana sistem pajak
progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan dari pajak lebih digunakan
untuk pendidikan pra- sekolah, menurunkan angka drop
out pada SLTA, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus
untuk anak-anak keluarga tidak mampu.
Terlepas
dari masalah yang sedang melanda Inggris di atas, kabar menggembirakan bagi
negara Inggris datang pada 2006, di mana Oxford University, menurut versi
majalah Times menempati ranking pertama kategori lima ratus dua puluh Top University
dunia. Begitu juga Cambridge yang menempati urutan ketiga dunia. Revolusi
Industri di Inggris menjadi salah satu faktor perkembangan ilmu pengetahuan di
negara tersebut. Inggris boleh menjadi imperialis di masa lampau untuk
menunjukan identitasnya, tapi sekarang, imperialisme itu menjelma dalam bentuk
lain yang diberi nama “Intelektualitas”.
Jika
menelaah data dari majalah Times World University Rankings 2005
dan 2006 yang dipublikasikan oleh The Times Higher, amat
jelas bahwa mutu pendidikan sangat tergantung dari jumlah dana yang
dialokasikan untuk sektor pendidikan. Bagi negara yang berada pada
simpangan ranking yang besar, pendanaannya dilakukan oleh swasta, seperti
Amerika dan Inggris. Jika dilihat secara mutu pendidikan, model pembiayaan
pendidikan tersebut tidak berpengaruh secara linier kepada prestasi dan
kualitas pendidikan. Ranking The Times membuktikan tesis ini. Artinya, sesungguhnya mutu pendidikan masih sangat dipengaruhi oleh besarnya dana untuk
pembiayaan pendidikan, terlepas dana itu berasal dari mana. Semakin besar dana,
semakin maju pendidikan. Pengembangan fasilitas pendidikan hingga kualitas SDM
pendidikan juga sangat tergantung oleh besarnya dana ini (www.kompas.com, 19 Mei 2006).
Di
Inggris, ada tiga opsi yang dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk membiayai
pembangunan pendidikan tinggi yang bertujuan mengatasi permasalahan di
Inggris. Pertama, pemerintah
memberikan subsidi pendidikan tinggi untuk semua mahasiswa yang diterima di
perguruan tinggi. Biayanya tergantung standar mutu dan tingkat partisipasi yang
hendak dicapai. Artinya, diperlukan pengeluaran untuk pendidikan tinggi antara
3 sampai 12 kali. Kedua, perlu adanya subsidi silang dengan menerapkan
full-payment kepada keluarga mampu, memberi subsidi penuh kepada mahasiswa dari
keluarga tidak mampu, dan subsidi 50% kepada mahasiswa dari keluarga
penghasilan menengah. Ketiga, penyediaan pinjaman pendidikan tinggi dengan
subsidi bunga kepada keluarga tidak mampu dan keluarga kurang mampu. Jumlah kredit tergantung
dari besarnya biaya pendidikan yang dikenakan oleh masing-masing universitas.
Ketiga opsi ini adalah agenda politik pemerintah Inggris pada 2004.
c. Model
Pembiayaan Pendidikan Tinggi di Uni Eropa
Masyarakat di negara-negara Uni Eropa
secara umum menunjukkan minat yang sangat tinggi terhadap pendidikan tinggi,
khususnya di negara-negara yang baru bergabung pada organisasi Uni Eropa. Hal ini
secara cepat menutup kesenjangan antara
negara tersebut dengan negara-negara yang terlebih dahulu menjadi anggota Uni
Eropa. Angka
partisipasi dan timbulnya pendidikan
tinggi sangat tampak pada populasi usia kerja. Ekspansi ini adalah membantu negara-negara untuk memasukkan diri ke
dalam pengetahuan ekonomi global, sebagai proporsi tinggi dari lulusan mereka mendapatkan pekerjaan di sektor pengetahuan layanan intensif.
Namun demikian, pada
saat yang sama, sumber daya per siswa menurun dan hal ini meningkatkan kekhawatiran
tentang kualitas pendidikan tinggi.
Munculnya lembaga-lembaga pendidikan
tinggi swasta dan pengenaan
biaya bagi siswa telah
menimbulkan sistem pembiayaan ganda yang mempengaruhi akses yang adil untuk memperoleh pendidikan
tinggi.
Untuk rata-rata biaya pendaftaran di pendidikan tinggi di negara-negara
Uni Eropa saat ini relatif sama, adapun manfaat pribadi dari pendidikan yang ditempuh di
universitas telah meningkat
cukup baik, yaitu ditandai dengan perolehan pendapatan
yang lebih tinggi.
Premi pendapatan untuk pendidikan
tinggi di pasar tenaga kerja sangat
tinggi di negara-negara di mana
lulusan pendidikan tinggi dinilai masih langka. Tingkat
pengangguran bervariasi antar
negara, tetapi pengangguran
banyak terjadi pada lulusan pendidikan menengah dan bukan pendidikan tinggi.
Dengan adanya pola subsidi untuk pendidikan tinggi, maka nilai sosial yang
dihasilkan menjadi lebih tinggi.
Pengeluaran
per peserta didik tampaknya bervariasi dan berbanding terbalik dengan tingkat
partisipasi yang menunjukkan setidaknya kemungkinan tradeoff antara
aksesibilitas dan kualitas pendidikan tinggi dari sudut pandang peserta didik. Peran kecil biaya di sebagian besar negara-negara Uni Eropa tidak berarti bahwa orang tua dan siswa menghindari membayar bagi negara-negara education. Pendidikan tinggi
telah menerapkan sistem ganda, tetap menjaga bebas
biaya pendidikan tinggi untuk
secara teratur mengaku didukung
negara mahasiswa, sambil
menambahkan biaya khusus membayar
jalur untuk mereka yang gagal untuk mendapatkan pengakuan tersebut.
Mereka yang mendapatkan bebas biaya adalah dari keluarga yang istimewa, siswa miskin, yang kurang berhasil
dalam ujian masuk dan tidak mampu
membayar biaya alternatif. Dalam rangka memfasilitasi masuk ke pendidikan tinggi bagi siswa yang membutuhkan dukungan keuangan untuk
membayar biaya dan / atau biaya pemeliharaan, beberapa negara telah
melembagakan sistem pinjaman untuk
keperluan pendidikan.
Kecenderungan peningkatan partisipasi
dalam pendidikan tinggi tidak mungkin dapat dikombinasikan dengan peningkatan kualitas dan relevansi yang diperlukan
untuk menjadi kompetitif dalam
Uni Eropa dan untuk meningkatkan
partisipasi dalam ekonomi pengetahuan
global, kecuali jika jumlah
uang yang tersedia untuk meningkatkan
kualitas lembaga-lembaga . Pada saat yang sama, anggaran pemerintah
sangat dibatasi, dan sulit untuk mewujudkan peningkatan alokasi publik untuk pendidikan
tinggi yang menghasilkan tingkat
pengembalian tinggi swasta kepada orang yang tidak proporsional dari latar belakang istimewa.
Juga, meningkatnya internasionalisasi pendidikan tinggi dan lintas-batas mobilitas tenaga kerja
dari baru terhadap negara-negara anggota Uni Eropa lama mengurangi jaminan
bahwa lulusan universitas akhirnya
akan membayar untuk pendidikan mereka
melalui pajak penghasilan. Dengan
demikian, hampir tak terelakkan bahwa
biaya rata-rata di perguruan
tinggi harus ditingkatkan ke tingkat yang meliputi proporsi yang signifikan dari total biaya.
3. Pembiayaan
Pendidikan di Negara Berkembang
Kasus
yang ditampilkan dalam pembiayaan pendidikan di negara berkembang adalah kasus
pada pembiayaan pendidikan dasar di India. Dalam konteks pembiayaan pendidikan
nampak adanya konsistensi dalam tingkat
belanja pendidikan. Angka berkisar antara 20
persen di tahun 1980-81 dan
sekitar 25 persen pada tahun
1998-99. Alokasi intra-sektoral dalam pendidikan baik cenderung ke arah pendidikan
dasar. Pendidikan dasar menerima sekitar
70 persen dari alokasi anggaran total untuk pendidikan.
Angka nasional untuk pendidikan dasar untuk belanja pendidikan hanya total
48,7 persen pada
tahun 1998-99. Bahkan, angka itu
lebih tinggi daripada setiap negara bagian.
Kecenderungan lain yang
signifikan dalam hal ini telah menjadi konsistensi Bihar, sejak 1980-1981,
dalam mempertahankan tingkat pengeluaran pendidikan dan bagian dari pendidikan
dasar. Tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata pengeluaran publik untuk
pendidikan dasar telah 12,7 persen selama periode 1980-81 untuk 1998-99. Pemerintah
berupaya untuk menjaga konsistensi untuk pendidikan SD terlepas adanya kendala
keuangan telah mengakibatkan tingkat pertumbuhan negatif pengeluaran pendidikan
tinggi dan teknis.
Indikator
lain yang
penting adalah persentase dari
Produk Domestik Bersih (PDB) yang
dihabiskan untuk pendidikan dasar.
Hampir 6 persen dari PDB
dihabiskan untuk pendidikan dasar sedangkan rata-rata nasional hanya sekitar 4 persen.
Namun
demikian tampak adanya
stagnasi virtual dalam pengeluaran pendidikan selama awal 1990-an (Pushpendra, 2001). Tingkat pertumbuhan pengeluaran di sektor pendidikan secara umum adalah negatif (-0,3 persen) antara 1990-1991 dan 1995-1996, sedangkan
angka nasional yang sesuai adalah 3,4 persen. Namun,
pada periode 1995-2000 pengeluaran untuk pendidikan di Bihar meningkat secara
substansial dengan tingkat pertumbuhan positif secara keseluruhan pengeluaran untuk
pendidikan pada umumnya, dan pendidikan SD khususnya,
selama 1990-an. Tren dalam pengeluaran sebenarnya pada harga saat ini pada pendidikan
dasar serta total untuk periode 1980 sampai tahun 2000 disajikan pada Tabel 3.12.
Pada tahun 1999-2000 meskipun peningkatan dalam ukuran anggaran total negara
itu sendiri memberikan kontribusi terhadap peningkatan pengeluaran pendidikan di negara, persentase
akan sektor pendidikan menurun lebih lanjut pada
tahun 1999-2000 meninggalkan angka
di terendah selama 1980-an dan 1990-an. Selanjutnya
adalah penting untuk dicatat bahwa meskipun persentase dari total anggaran untuk
pendidikan akan jauh lebih tinggi
di Bihar (lebih dari 20 persen) daripada di seluruh
India (11 sampai 12 persen),
berbagi telah menurun sejak 1980-an tengah
dari lebih dari 24 persen pada 1985-86 untuk
dekat dengan 21 persen pada
1999-2000, seperti tampak pada Tabel berikut:
Pengeluaran
biaya pendidikan ini didanai juga oleh bantuan eksternal, yang disediakan baik
melalui skema pusat seperti 'Belajar Menyenangkan' atau melalui program-program
negara seperti Pendidikan untuk Semua program (atau DPEP). DPEP dana yang
tersedia secara langsung melalui sebuah lembaga negara pelaksana, BEP, dan ini
transfer.
4.
Peranan Pajak dalam
Pembiayaan Pendidikan
Dilihat dari sumber- sumbernya, biaya
pendidikan pada tingkat makro berasal dari pendapatan negara dari sektor pajak
dan non pajak. Di Amerika Serikat, kegiatan sekolah umum bergantung terutama pada
pendapatan yang dihasilkan dari pajak, khususya pajak properti pada level
lokal, pajak penjualan dan pendapatan pada level negara bagian.
Dalam buku Manajemen Keuangan Daerah
(Halim, Abdul,2004:131) yang diterbitkan oleh UPP AM YKPN, mengutip
Brotodiharjo (Mardiasmo, 2000) pajak mempunyai 2 fungsi yakni:
1. Fungsi Budgeter
Fungsi ini terletak dan lazim
dilakukan pada sektor publik dan merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan
untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara/daerah sesuai
dengan waktunya dalam rangka membiayai seluruh pengeluaran rutin dan
pembangunan pemerintah pusat/ daerah.
2. Fungsi Pengaturan
Merupakan fungsi yag
dipergunakan oleh pemerintah pusat/daerah untuk mencapai tujuan tertentu yang
berada diluar sektor keuangan negara/ daerah.
Masyarakat umum akan menerima pajak
apabila :
1. Pajak tidak
menyebabkan distorsi ekonomi (perubahan perilaku ekonomi dalam pola belanja
atau relokasi bisnis, industri dan penduduk).
2. Pajak harus equitable
(memperhatikan kemampuan wajib pajak).
3. Pajak harus memberi
kemudahan (pajak dikumpulkan dengan biaya yang rendah bagi wajib pajak dan
pemerintah)
4. Pajak harus responsif
terhadap perubahan kondisi ekonomi.
Latihan Kerja
1.
Carilah 2 model pembiayaan pendidikan di 2
negara maju selain Amerika, Jerman, dan Inggris.
2.
Analisis besaran alokasi dana untuk
pembiayaan pendidikan di masing-masing negara tersebut.
Petunjuk Mengerjakan Latihan
1.
Informasi
mengenai model-model pendidikan di negara maju dapat diakses pada berbagai
situs yang memuat kajian tentang pembiayaan pendidikan. Anda dapat memasukkan
kata pencarian: pembiayaan pendidikan di Negara..... pada mesin pencari google atau yahoo.
2.
Setelah
Anda memperoleh informasi no. 2 buatlah analisis tentang besaran biaya pada
negara tersebut. Besaran biaya tersebut dapat per jenjang atau per individu.
Rangkuman
Terdapat berbagai macam model pembiayaan pendidikan yang digunakan di
Amerika Serikat, dan keseluruhannya terdiri atas 12 model pembiayaan
pendidikan. Sumber pembiayaan pendidikannya berasal dari pajak yang memiliki
fungsi budgeter dan fungsi pengaturan.
Sementara itu di negara Eropa seperti Jerman, ciri khas belajar di
Jerman adalah mengenai biaya pendidikan tiap semesternya. Untuk semua jenis
sekolah publik tidak dipungut biaya.
Di Inggris, kebanyakan sekolah-sekolah di sana beragama anglican, selanjutnya Katolik Roma dan Yahudi. Sekolah-sekolah tersebut mendapat
alokasi dana yang cukup, sementara untuk agama seperti Hindu dan Islam,
dukungan finansial dari pemerintah dirasa kurang. Hal ini menjadi isu utama di
daerah Bradford dan daerah-daerah yang terdapat banyak warga
muslim. Khusus
untuk perguruan tinggi, pemerintah menyediakan berbagai beasiswa (scholarship)
bagi yang kurang mampu.
Tes Formatif
1. Sebutkan dan jelaskan
minimal 5 model pembiayaan pendidikan di Amerika Serikat! Buatlah analisis
dengan padanan pembiayaan di Indonesia.
2. Bagaimanakah
pembiayaan pendidikan yang diterapkan di negara-negara di Eropa, khususnya di
Inggris dan Jerman?Analisis keunggulan dan kelemahannya
3. Buatlah uraian tentang kemajuan yang dicapai India dengan fenomena
pembiayaan pendidikan dasar di India.
Tindak Lanjut:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar ini yang
perlu Anda lakukan adalah:
1. Buatlah rangkuman materi dengan mengambil konsep-konsep utama dan
kata-kata kunci
2. Buatlah latihan yang diberikan
dengan mengikuti petunjuk jawaban latihan
3. Cocokkanlah hasil latihan dengan petunjuk jawaban, dan yang dikerjakan
teman-teman, serta penjelasan tutor
4. Apabila penjelasan tutor
menunjukkan hasil latihan Anda baik, silakan melanjutkan ke materi berikutnya
Petunjuk
Jawaban Latihan
1.
Untuk menjawab soal latihan tersebut,
cobalah Anda cermati uraian tentang peran pembiayaan pendidikan pada Kegiatan
Belajar 3
2.
Menjelaskan mengenai mengenai model-model
pembiayaan pendidikan baik di negara maju maupun negara berkembang sesuai
dengan soal latihan.
Referensi:
Bahan Ajar Mata Kuliah Manajemen Keuangan Pendidikan. Nanang Fattah, dkk. 2009.
Jurusan Administrasi Pendidikan
Pembiayaan Pendidikan dalam
nenengmp07.multiply.com/journal/item/9 - Filipina
Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah;
Masalah dan Prospek. Edy Priyono. 2002. Makalah. Managing Basic
Education (MBE) Project RTI International-USAID.
Studi Pendidikan Mancanegara Jerman dan
Indonesia dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CBcQFjAA&url=http%3A%2F%2Ffile.upi.edu%2FDirektori%2FFP....._iAVfE9TzlAVrOiMQ
Kegiatan Belajar 4
Kebijakan Pembiayaan
Pendidikan
Di Indonesia
A.
Dasar Hukum dan Pendekatan
dalam Alokasi Anggaran Pendidikan di Indonesia
Salah satu indikator penuntasan program Wajib Belajar 9
Tahun diukur dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMP/sederajat. Pada
tahun 2008 APK rata-rata telah mencapai 96,18%, sehingga program Wajib Belajar
9 tahun telah tuntas sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan pemerintah
Indonesia dan bahkan target itu dapat dicapai 7 tahun lebih awal dibandingkan
dengan komitmen internasional yang dideklarasikan di Dakar mengenai Education
for All (EFA) tahun 2000 yang mewajibkan semua negara di dunia harus
menuntaskan Wajib Belajar 9 tahun paling lambat tahun 2015 nanti.
Sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 48 Tahun 2008 tentang
Pendanaan Pendidikan, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam bagian ini akan diuraikan
jenis-jenis biaya pendidikan sesuai dengan PP Nomor 48 Tahun 2008 tersebut.
Biaya pendidikan dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
Biaya Satuan Pendidikan, Biaya Penyelenggaraan dan/ atau Pengelolaan Pendidikan, serta Biaya Pribadi
Peserta Didik.
a.
Biaya Satuan
Pendidikan adalah biaya penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan yang meliputi:
(1)
Biaya investasi
adalah biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia,
dan modal kerja tetap.
(2)
Biaya operasional,
terdiri dari biaya personalia dan biaya nonpersonalia. Biaya personalia terdiri
dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan-tunjangan yang
melekat pada gaji. Biaya nonpersonalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan
pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa daya, air, jasa
telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi,
konsumsi, pajak, asuransi, dll.
(3)
Bantuan biaya
pendidikan yaitu dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang orang
tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya.
(4) Beasiswa adalah
bantuan dana pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang berprestasi.
b. Biaya penyelenggaraan
dan/atau pengelolaan pendidikan adalah biaya penyelenggaraan dan/atau
pengelolaan pendidikan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, atau penyelenggara/satuan pendidikan yang didirikan masyarakat.
c. Biaya pribadi peserta
didik adalah biaya personal yang meliputi biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara
teratur dan berkelanjutan.
B.
Perbandingan Alokasi
Anggaran Pendidikan di Indonesia dengan Negara Asia Tenggara dan Amerika
Serikat
Mengenai
masalah alokasi anggaran pendidikan di Indonesia sampai sekarang ini besarnya
anggaran pendidikan di negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di
Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan kita ternyata
termasuk terjelek di dunia.
Apabila
mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan Indonesia
lebih jelek tidak saja dari negara maju seperti Amerika Serikat, Australia,
nggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari negara berkembang lainnya, seperti
Malaysia, Thailand, Brasilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih
jelek dari negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia,
Nepal, Congo, dan sebagainya.
Angka rata-rata anggaran pendidikan di negara maju mencapai 5,1 persen terhadap
GNP, di negara berkembang 3,8 persen dan negara terbelakang 3,5 persen. Sementara
itu, negara kita hanya mengalokasi dana kurang dua persen terhadap GNP.
Untuk
memajukan dunia pendidikan nasional dan meningkatkan kualitas SDM bangsa sesuai
dengan yang dicita-citakan, maka pemenuhan alokasi anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan.
Komitmen serius untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan adalah persoalan
mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini
melalui pendidikan yang bermutu. Karena, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah
mengamanahkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya duapuluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selama ini
Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI telah sepakat untuk menempatkan alokasi
anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam penetapan APBN setiap
tahun. Hal ini dapat dilihat pada kenaikan anggaran di Departemen Pendidikan
dan Agama yang melonjak sangat tinggi pada tiga tahun terakhir. Upaya untuk
memenuhi anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari dana APBN, diluar
gaji dan pendidikan kedinasan, telah diupayakan untuk direalisasikan secara
bertahap sampai tahun 2009. Rentang kenaikannya adalah dari yang semula hanya
6,6 % pada tahun 2004, menjadi 9,3 % untuk tahun 2005, kemudian menjadi 12 %
untuk tahun 2006, lalu menjadi 14,7 % untuk tahun 2007, selanjutnya menjadi
17,4 % untuk tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 21,1%. Anggaran fungsi
pendidikan pada tahun 2006 memang telah mencapai Rp45,3 triliun, meningkat
menjadi Rp52,4 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi
Rp61,4 triliun pada tahun 2008.
Anggaran
pendidikan di APBN sebenarnya terus naik cukup signifikan sejak 2003. Fenomena
penurunan persentase anggaran hanya sempat terjadi pada 2002. Ketika itu,
anggaran pendidikan hanya mendapatkan porsi 3,76 persen. Padahal, pada 2001
sudah mencapai 4,55 persen.
Setelah
itu, anggaran pendidikan terus bertambah menjadi 4,15 persen pada 2003; 6,6
persen (2004); 7 persen (2005); 9,1 persen (2006); dan 11,8 persen (2007).
Dalam APBN 2007, pendidikan telah berhasil mendapatkan porsi terbesar. Begitu
juga dalam RAPBN 2008.
C.
Dana BOS dan Unsur-Unsurnya
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimulai
sejak bulan Juli 2005, telah berperan dalam percepatan pencapaian program Wajib
Belajar 9 tahun. Oleh karena itu, mulai tahun 2009, pemerintah melakukan
perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi BOS. Program BOS ke depan bukan
hanya berperan untuk mempertahankan APK, namun harus juga berkontribusi penting
untuk peningkatan mutu pendidikan dasar.
BOS adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan
biaya nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program
wajib belajar. Secara detail jenis kegiatan yang boleh dibiayai dari
dana BOS dibahas pada bab berikutnya.
Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban
masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun
yang bermutu. Secara khusus
program BOS bertujuan untuk:
1. Menggratiskan seluruh
siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban biaya operasional sekolah,
baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta.
2. Menggratiskan seluruh
siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya operasional sekolah, kecuali pada
rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf
internasional (SBI).
3. Meringankan beban biaya
operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.
Sasaran
program BOS adalah semua sekolah SD dan SMP, termasuk Sekolah Menengah Terbuka
(SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) yang diselenggarakan oleh
masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia. Program Kejar
Paket A dan Paket B tidak termasuk sasaran dari program BOS ini. Besar biaya
satuan BOS yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku, dihitung
berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan:
·
SD/SDLB di kota : Rp
400.000,-/siswa/tahun
·
SD/SDLB di kabupaten
: Rp 397.000,-/siswa/tahun
·
SMP/SMPLB/SMPT di
kota : Rp 575.000,-/siswa/tahun
·
SMP/SMPLB/SMPT di
kabupaten : Rp 570.000,-/siswa/tahun
Setiap Tahun Anggaran, dana BOS akan diberikan selama 12
bulan untuk periode Januari sampai Desember, yaitu semester 2 tahun pelajaran
2008/2009 dan semester 1 tahun pelajaran. Penyaluran dana dilakukan setiap
periode 3 bulanan, yaitu periode Januari-Maret, April-Juni, Juli-September dan
Oktober-Desember. Penyaluran diharapkan dilakukan di bulan pertama setiap
triwulan.
D.
Pembiayaan Pendidikan di Era
Otonomi Daerah
1.
Kondisi Umum Pembiayaan Pendidikan
Pada Era Otonomi Daerah
Kondisi umum pendidikan pada era otonomi
daerah dapatt dikaji dari hasil penelitian Priyono (2002). Pada penelitian
tersebut dijelaskan bahwa perubahan
kewenangan pengelolaan pendidikan
dengan segera mengubah
pola pembiayaan sektor pendidikan.
Sebelum otonomi daerah,
praktis hanya pembiayaan sekolah dasar
(SD) yang menjadi tanggung
jawab Pemda, sedangkan SLTP dan
SLTA (dan juga perguruan
tinggi) menjadi tanggung
jawab Pusat. Pembiayaan
SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil
Depdiknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota).
Setelah diberlakukannya otonomi daerah,
sebagaimana disinggung di atas, seluruh pengelolaan sekolah dari
SD hingga SLTA
menjadi tanggung jawab
Pemda. Konsekuensinya, tidak
ada lagi Kanwil
dan Kandepdiknas, yang
ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat
kabupaten/kota yang berada
di bawah kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di
bawah kendali pemerintah propinsi.
Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota
dengan Dinas Pendidikan
propinsi tidak ada
hubungan hierarkhis,
sedangkan propinsi masih
tetap mengemban amanat
sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti
itu, jelas bahwa Pusat tidak
lagi punya “tangan” di daerah
untuk mengimplementasikan program-programnya. Implikasinya, setiap
program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda,
atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Dengan
konfigurasi kelembagaan yang
seperti itu pula,
pola pembiayaan pendidikan mengalami
perubahan yang cukup
mendasar. Daerah memiliki
tanggung jawab yang sangat
besar untuk membiayai
sektor pendidikan dengan
menggunakan APBD-nya. Dukungan
dari Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan, tetapi
juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam
APBD kabupaten/kota.
2.
Analisis Terhadap APBD 245
Kabupaten/Kota Tahun 2002
Hasil
penelitian Priyono (2004) juga menjelaskan bahwa tantangan pertama
yang harus dihadapi
oleh para pengelola
pendidikan adalah masalah
pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya
kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan
kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan.
Di sisi
lain, UU No.
20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) memberi
beban yang sangat
berat bagi pemerintah.
Pasal 49 menyatakan bahwa pemerintah
(pusat maupun daerah)
harus mengalokasikan minimal
20% anggarannya untuk keperluan
sektor pendidikan di
luar gaji pendidik
dan biaya pendidikan
kedinasan.
Studi terhadap
245 kabupaten/kota yang
dilakukan oleh penulis
menunjukkan bahwa realisasi anggaran masih jauh dari yang diharapkan. Pada
tahun 2002, rata-rata persentase anggaran
pembangunan terhadap APBD hanya
3,14%. Bahkan, persentase tertinggi hanya mencapai 10%,
masih sangat jauh dari target 20% yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas. Di
atas kertas, Pemda
memang memiliki beberapa
sumber keuangan daerah, seperti dana
perimbangan (DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil), pendapatan
asli daerah (PAD) dan
pinjaman. Tapi pada
kenyataannya, rata-rata peranan
PAD dalam APBD hanya sekitar 7%. Sementara
itu, rata-rata tertimbang rasio dana perimbangan terhadap pengeluaran rutin adalah 1,4 yang
menunjukkan bahwa tidak banyak dana
perimbangan yang bisa digunakan untuk keperluan di luar anggaran rutin. Jelas
bahwa Pemda memiliki
tanggung jawab yang
besar dan bersifat
jangka panjang di sektor
pendidikan, tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup dan stabil untuk
mendanai. Jika situasinya
tidak berubah, Daerah
tidak akan mampu
memenuhi 20% anggaran untuk
pendidikan seperti yang
diamanatkan UU Sisdiknas
dan pada gilirannya ada
risiko terjadi penurunan
kualitas SDM sebagai dampak
otonomi daerah.
Beberapa plot
dan berikut ini
akan memberi gambaran
lebih lengkap tentang
alokasi APBD untuk sektor pendidikan. Hasil analisis
regresi menunjukkan bahwa
dilihat dari sisi
nilai pengeluaran
pembangunan sektor pendidikan
maupun persentase pengeluaran
pendidikan terhadap total
pengeluaran pembangunan, tidak ada perbedaan komitmen antara kabupaten dengan
kota. Dari semua model regresi dalam analisis ini, variabel “kabkot” (yang merupakan dummy variable
untuk status sebagai
kabupaten atau kota)
pengaruhnya selalu tidak signifikan terhadap
pengeluaran pembangunan sektor
pendidikan atau persentase pengeluaran pembangunan untuk
sektor pendidikan. Sementara itu,
analisis terhadap variabel
bebas total pengeluaran
APBD, total dana perimbangan
dan PAD menunjukkan
bahwa ketiga variabel
tersebut memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap nilai pengeluaran untuk sektor pendidikan, tetapi tidak
signifikan pengaruhnya terhadap
persentase pengeluaran pembangunan
sektor pendidikan. Jadi, jika
komitmen suatu daerah
terhadap sektor pendidikan
dilihat dari persentase
pengeluaran sektor pendidikan (bukan nilai absolutnya), maka terlihat bahwa tidak ada jaminan bahwa
daerah-daerah yang lebih kaya akan mengalokasikan prosi dana yang lebih besar
untuk pembangunan sektor pendidikan.
3.
Masalah Alokasi Dana APBN
Dalam Pemilu legislatif
2004, hampir semua
partai berlomba-lomba untuk mengusung tema-tema
populer, utamanya masalah pengangguran
dan pendidikan. Di bidang pendidikan,
hampir semua partai menjanjikan alokasi
dana yang sigifikan untuk sektor
ini. Beberapa calon presiden secara eksplisit menjanjikan bahwa
kalau menang, maka
pemerintah akan
mengalokasikan 20 persen APBN untuk
pendidikan. Di sisi lain,
beberapa pengamat menyatakan
bahwa pemerintah sekarang
telah melakukan pelanggaran, karena
tidak mengalokasikan dana APBN
minimal 20 persen untuk
sektor pendidikan di
luar gaji pegawai
dan pendidikan kedinasan
sebagaimana diamanatkan UUD
1945 (amandemen). Alokasi
yang ada untuk
tahun anggaran 2005 baru sekitar tujuh persen. Persoalan
utama berkaitan dengan
target anggaran pendidikan
20 persen adalah masalah kemampuan
finansial (affordability) pemerintah.
Pertanyaannya: Apakah memang pemerintah
memiliki sumber dana
yang cukup besar
untuk dialokasikan ke sektor pendidikan?
Perlu diingat
kembali, bahwa yang dimaksud sebagai anggaran pendidikan dalam hal ini adalah di
luar untuk keperluan gaji pendidikan dan pendidikan kedinasan. Jadi, kurang
lebih, yang dimaksud
sebagai anggaran pendidikan
di sini adalah
apa yang dikenal sebagai anggaran
pembangunan (bukan anggaran rutin).
Kemampuan fiskal bisa dilihat dari struktur pengeluaran APBN, misalkan
APBN 2004. Untuk tahun 2004, sekitar 15
persen dari APBN akan digunakan untuk keperluan belanja pegawai, 19 persen
untuk membayar cicilan bunga hutang, dan 31 persen untuk transfer ke
daerah. Itu merupakan jenis-jenis
pengeluaran yang tak
terhindarkan, baik karena
“terlanjur” maupun karena ketentuan perundang-undangan. Pos tak
terhindarkan itu total memakan sekitar 65 persen dari APBN. Perlu
ditambahkan, bahwa pada
tahun 2004 ada
beban subsidi sekitar
Rp 23 trilyun atau enam persen
dari anggaran (sebagian besar untuk
subsidi BBM dan listrik).
Secara
politis, subsidi ini
juga tak terelakkan mengingat resistensi yang demikian besar terhadap ide
pencabutan subsidi pemerintah. Jadi,
andaikan pengeluaran rutin
lain bisa dihilangkan,
potensi dana untuk anggaran pembangunan tak akan
lebih dari 30 persen. Pada
kenyataannya, untuk tahun 2004 total
anggaran pembangunan bahkan
kurang dari 20
persen. Katakanlah kita bergerak
dari angka potensi
yang 30 persen
itu. Mungkinkah kemudian
sektor pendidikan diberi 20
persen, dan sisanya
10 persen untuk
pembangunan semua sektor lain.
Padahal di luar sektor pendidikan juga ada sektor lain yang erat
kaitannya dengan Paparan di atas
menunjukkan, bahwa dalam
jangka pendek dan
menengah pemerintah memang tidak
memiliki dana yang
cukup untuk memenuhi
ketentuan konstitusi 20 persen APBN untuk pendidikan. Bahkan
target waktu lima tahun
(hingga 2009) untuk mencapainya,
sebagaimana disepakati oleh
pemerintah dan DPR, kelihatannya juga terlalu optimistik.
Pertama, alokasi di
bawah 20 persen
untuk pendidikan hingga saat
ini tidak dengan serta-merta bisa dianggap sebagai penyimpangan terhadap konstitusi. Dalam kondisi
tekanan fiskal seperti sekarang
ini, siapa pun pemerintahnya, target
20 persen itu
tidak akan bisa
tercapai. Kedua, siapa
pun yang berjanji
akan mengalokasikan anggaran 20
persen untuk pendidikan
dalam jangka pendek,
dia pasti akan dengan terpaksa
mengingkari janjinya.
Di luar masalah
kemampuan finansial, ada sejumlah pertanyaan seputar ketentuan normatif tersebut.
Pertama, menyangkut dasar penentuan
target anggaran. Angka
20 persen sangat mekanistik, dan
tidak menjamin kecukupan anggaran. Mengapa? Karena ketentuan tersebut
tidak didasari oleh sebuah perhitungan
yang teliti tentang kebutuhan anggaran, khususnya
perhitungan biaya satuan (unit cost).
Akibatnya, angka 20 persen itu
menjadi sangat relatif,
bisa cukup, bisa
kurang, bisa juga
“berlebih”. Meskipun terlihat
“aneh”, kemungkinan “kelebihan” dana Ini
menyangkut persoalan kedua,
yakni terkait dengan
otonomi daerah. Kalau berbicara tentang
alokasi APBN, berarti
kita sedang berbicara
tentang pengeluaran pemerintah
pusat. Seperti beberapa kali disinggung
di bagian terdahulu, di era otonomi
daerah ini, kewenangan
pusat di sektor
pendidikan sangat terbatas,
yakni di bidang kurikulum dan
penetapan standar, selain
tanggung jawab untuk
pengelolaan perguruan
tinggi. Itu pun dengan catatan bahwa
peran pemerintah di tingkat perguruan tinggi lebih banyak di
bidang regulasi dan
pengawasan.
Di luar
itu, khususnya dalam pengelolaan Wajib Belajar, menjadi
tanggung jawab daerah. tersebut sangat
mungkin terjadi. Angka 20 persen itu
sangat besar, melibatkan uang sekitar Rp 50 trilyun. Dengan tugas pusat yang demikian terbatas,
untuk apa uang sebanyak itu? Jelas bahwa
kebijakan tersebut tidak sejalan
dengan arah kebijakan
otonomi daerah yang
(konon) mengikuti prinsip “uang mengikuti kewenangan” atau money follows
function. Jajaran pemerintah
pasti sudah menyiapkan
jawabannya, yakni untuk dialokasikan ke
sekolah-sekolah atau yang
terkait dengan itu.
Ini kemudian terkait dengan persoalan ketiga, yakni
tentang mekanisme alokasi. Kalau pusat
akan mengalokasikan langsung
ke sekolah-sekolah, pasti
akan muncul masalah mistargeting. Salah
satu kelemahan utama pusat adalah ketidakmampuannya mengidentifikasi kebutuhan
dan permasalahan di
tingkat mikro (sekolah). Kalau
disalurkan melalui pemerintah
daerah, untuk kemudian
pemda mengalokasikan ke sekolah-sekolah, ini
seperti pola lama.
Sense of belonging
pemda untuk kasus-kasus seperti
ini terbukti scara
umum rendah, kontrol
masyarakat juga minim, sehingga kemungkinan penyimpangan menjadi sangat
terbuka. Lagipula, kalau
akhirnya dialokasikan melalui Pemda, mengapa anggaran itu tidak langsung
dialokasikan ke daerah saja
(melalui mekanisme dana
perimbangan) tanpa perlu
melalui instansi pusat? Ada
ide untuk menggunakan Dewan Pendidikan yang merupakan institusi multi-stakeholder di
tingkat kabupaten/kota untuk menyalurkan dana
itu. Padahal, institusi yang relatif baru tersebut belum
teruji akuntabilitas dan efektifitasnya sejauh ini.
E.
Permasalahan Pembiayaan
Pendidikan di Indonesia
Efisien adalah bagaimana
menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’.
Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk
memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu
jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah
efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang
digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang
menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi
kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita
bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost
education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup
mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia
cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidikan.
Jika kita berbicara
tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah,
training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang
dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan
berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke
lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika
sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya
itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam
dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik
yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les
kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah
waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan
tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain.
Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal
pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00..
Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik
yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu
tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain
seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses
pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai
kurang.
Pendidikan bermutu itu
mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya
pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya
unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih
luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan
anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah.
Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah,
dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih
buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya
status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki
konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu
Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan
Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin
melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan
utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri
Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor
pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan
besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga
tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya
5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar
hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya
perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional
pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar
(Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti
Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya
sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu
untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin
terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan
pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan
merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan.
Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang
wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah
negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu,
beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus
mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas
memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis.
Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya
yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan
menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan
tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab.
Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk tidak
turut dalam penanganan pendidikan.
Latihan Kerja
1.
Carilah kliping/ artikel mengenai
permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia
2.
Jelaskan fenomena praktik pembiayaan
pendidikan di Indonesia dan permasalahannya serta solusi apa yang ditawarkan
guna mengatasi masalah tersebut.
3.
Jelaskan permasalahan mendasar yang dapat
timbul sebagai akibat desentralisasi dalam pembiayaan pendidikan.
Petunjuk Mengerjakan Latihan
1.
Untuk
mengerjakan latihan 1 Anda dapat mencari artikel tentang permasalahan
pembiayaan pendidikan baik dari koran dan internet.
2.
Latihan
no 2 dapat Anda buat dalam bentuk matriks yang memuat praktik pendidikan,
potensi permasalahan dan upaya untuk mengatasinya
3.
Latihan
3 dapat Anda kerjakan dengan membaca hasil penelitian Priyono (2004) yang
menelaah tentang pembiayaan pendidikan pada era otonomi daerah.
Rangkuman
Sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 48 Tahun 2008
tentang Pendanaan Pendidikan, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Biaya pendidikan
dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Biaya Satuan Pendidikan, Biaya
Penyelenggaraan dan/ atau
Pengelolaan Pendidikan, serta Biaya Pribadi Peserta Didik. Untuk besaran anggaran pendidikan, negara
Indonesia dikatakan kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia maupun
di dunia.
Salah satu program pembiayaan pendidikan yang dicanangkan pemerintah
adalah program bantuan operasional sekolah (BOS) yang dimulai sejak bulan Juli
2005, telah berperan dalam percepatan pencapaian program Wajib Belajar 9 tahun. Secara umum program
BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan
dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu.
Sementara itu, permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia masih
banyak, salah satunya pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20% dan mahalnya
biaya pendidikan untuk masing-masing jenjang.
Tes Formatif
1. Sebutkan dasar hukum yang digunakan dalam rangka pelaksanaan pembiayaan
pendidikan di Indonesia!
2. Bagaimana implementasi besaran alokasi dana pendidikan di Indonesia
apabila dibandingkan dengan negara-negara di Asia dan Amerika?
3. Siapakah yang menjadi sasaran untuk menerima batuan operasional sekolah
(BOS)?
4. Permasalahan apa saja yang timbul dalam pelaksanaan pembiayaan pendidikan
di Indonesia?
Tindak Lanjut:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan belajar ini yang
perlu Anda lakukan adalah:
1. Buatlah rangkuman materi dengan mengambil konsep-konsep utama dan
kata-kata kunci
2. Buatlah latihan yang diberikan
dengan mengikuti petunjuk jawaban latihan
3. Cocokkanlah hasil latihan dengan petunjuk jawaban, dan yang dikerjakan
teman-teman, serta penjelasan tutor
4. Apabila penjelasan tutor
menunjukkan hasil latihan Anda baik, silakan melanjutkan ke materi berikutnya
Petunjuk
Jawaban Latihan
1.
Untuk menjawab soal latihan tersebut,
cobalah Anda cermati uraian tentang peran pembiayaan pendidikan pada Kegiatan
Belajar 4
2.
a. Menjelaskan dasar hukum pelaksanaan
pembiayaan pendidikan sesuaikan dengan soal latihan.
b.
Menjelaskan implementasi alokasi dana
pendidikan riil di Indonesia
c.
Menjelaskan mengenai dana BOS
d.
Memaparka mengenai permasalahan pembiayaan
pendidikan di Indonesia
Referensi:
Bahan Ajar Mata Kuliah Manajemen Keuangan Pendidikan. Nanang Fattah, dkk. 2009.
Jurusan Administrasi Pendidikan
Pembiayaan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah;
Masalah dan Prospek. Edy Priyono. 2002. Makalah. Managing Basic
Education (MBE) Project RTI International-USAID.
Becker G.S. 1993. Human Capital, A
theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education.
Chicago, University of Chicago P ress
Cohn. Elchanan, 1979. The
Economics Of Education, Ballinger Publishing
Engkoswara. 2002. Lembaga
Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan
Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan
Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of
Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New
York, Amacom
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education
Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar