PUISI

TERATAI
(Kepada Ki Hajar Dewantoro)
Karya : Sanusi Pane

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu

Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia

Teruslah O Teratai Bahagia
Berseri di kebun Indonesia

Biar sedikit penjaga taman
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkau pun turut menjaga zaman.

(dari Angkatan Pujangga Baru)



 MEMANDANG KEHIDUPAN
Karya: Ajip Rosidi

Memandang relung-relung kehidupan
Aku tak tahu pasti
Apakah mungkin menjadi
Seorang tua yang tenang baca koran
Di tengah ribut dunia kebakaran

Kusaksikan diriku dan kawan-kawan
Sambil makan kacang dan asinan
Memperbincangkan nasib negara
Sengit berdebat
Penuh semangat memberi perintah
Menentukan haluan dunia.

Tidakkah lebih baik kita tenggelamkan
Segala rumus dan perhitungan di warung kopi
Selagi matahari belum tinggi ?
Atau kupilih saja ketenangan kursi goyang
Saban pagi semangkuk susu dan setangkup roti ?

Masih pula merasa kuatir
Akan kepastian hari esok: Bukan tak mungkin
Tuhan tiba-tiba bertitah, "Berhenti !"
Maka planit-planit bertubrukan, bintang-bintang padam
Lalu apa yang masih dapat dicapai ?

                 Sedangkan bumi tak lagi pasti.

Yang tinggal hanya angan-angan yang panjang.
                                             Dan kelam. Sedang
Angan-angan pun
Membutuhkan suatu landasan.

Kuteliti tanganku: urat-uratnya, tulang-tulangnya.
Bisa saja lenyap tiba-tiba, tak satu pun kupunya
                                                          Selain do'a.

 Ular dan Kabut 1973.





Sedekah
Karya: Joko Pinurbo

Ibu tua itu tewas sehabis berjuang keras mendapatkan sedekah dari seorang juragan yang amat pemurah.
Ia terjatuh terinjak-injak sewaktu berdesak-desakkan, sesaat setelah diterima oleh uang dua puluh ribu rupaiah.

“Hanya demi uang sialan itu ia harus setor nyawa,” cetus seorang pelayat. “Jangan-jangan itu uang haram.”
Uang berkata, “Maafkan saya, Bu. Saya tidak sengaja.”

Toh ibu kita yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci pakaian itu wajahnya bersih bercahaya seperti habis di cuci dengan sabun terbaik yang terbuat dari serbuk airmata.
Sesal dan tangis hanya menambah kecantikannya.

“Sudahlah. Dengan dua puluh ribu rupiah ibu ini bisa beli tiket kereta api ekspres. Beliau akan mudik dengan sukses,” ujar seorang penyair yang oleh teman-temannya dipanggil Plato karena nun di jidatnya terdapat sebuah tato.

Kereta hampir berangkat. Uang yang naas tampak ikhlas dan pasrah dalam genggaman tangan almarhumah.
Uang yang tak seberapa ini kemudian disimpan baik-baik oleh cucu ibu yang gigih itu dan kelak akan ia berikan kepada entah siapa yang pantas menerimanya.

(2003)



JEMBATAN
Karya: sutardji calzoum bachri

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa. 
Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi 
dalam teduk pekewuh dalam isyarat dan kilah tanpa makna.

Maka aku pun pergi menatap pada wajah orang berjuta.
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki 
dalam  penuh sesak bis kota
Wajah orang tergusur
Wajah yang ditilanah malang.
Wajah legang pemulung 
yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi 
sekadar penonton etalase indah diberbagai plasa.
Wajah yang diam-diam 
menjerit melengking 
melolong dan mengucap:
Tanah kita satu
Bangsa kita satu
Bahasa kita Satu
Bendera kita satu!

Tapi wahai saudara satu bendera, 
kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda diantara kita?
Sementara jalan-jalan mekar dimana-mana 
menghubungkan kota-kota, 
jembatan-jembatan tumbuh kokoh 
merentangi semua sungai dan lembah yang ada,
 tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang diantara kita?

Dilembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang 
dan otot linu mengerang 
mereka pancangkan koyak moyak bendera hati 
dipijak ketidak pedulian pada saudara

Gerimis tak mampu mengucapkan kibarannya
 lalu tanpa tangis mereka menyanyi
Padamu negeri
Air mata kami.




Sehabis sembahyang
Karya: Joko pinurbo

Aku datang kepadamu dalam doa sujudku.
Terima kasih atas segala pemberianmu,
mohon lagi kemurahanmu: sekadar mobil baru
yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya
agar aku bisa lebih cepat mencapaimu.

Sementara aku masuk kerumahmu, kau malah
pergi ke kantor pos kecamatan,
mengambil jatah sntunan setaus ribu.
Berbekal kartu tanda miskin, kau rela antri
berjam-jam hingga bajumu yang masih baru
langsung luntur oleh cucuran peluhmu.

Kau sempat menangis dan pingsan karena uang
yang dengan susah payah kau dapatkan
langsung amblas dirampas orang.

Kulipat dan kusimpan baju sembahyangku
di bawah bantal supaya tenang tidurku.
Di saku kirinya terselip kartu tanda miskinmu,
di asaku kanannya kutemukan uang seratus ribu.

 


Kita adalah pemilik sah republik ini
Karya: Taufik Ismail

Tidak ada lagi pilihan lain, kita harus berjalan terus,
Karena berhenti atau mundur berarti hancur.

Apakah akan kita jual keyakinan kita dalam pengabdian tanpa harga?
Akan maukah kita duduk satu meja dengan para pembunuh tahun yang lalu?
Dalam setiap kalimat yang berakhiran “duli tuanku!”

Tidak ada lagi pilihan lain, kita harus berjalan terus.
Kita adalah manusia bermata kuyu yang ditepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh.
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara, dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama, dan bertanya-tanya
Diam inikah yang namanya merdeka?

Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan dan seribu pengeras suara yang hampa suara.
Tidak ada lagi pilihan lain, kita harus berjalan terus.
 




NYANYIAN KEMERDEKAAN

Karya: Ahmadun yosi herfanda


Hanya kau yang kupilih kemerdekaan
Diantar pahit manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku bunda tercintaku  Di pasung orang asing itu
Mulutnya yang kelu   Tak mampu lagi menyebut namamu

Berabad-abad kau terlelap bagai laut kehilangan ombak
Burung-burung yang semula bebas di hutanya
Di giring kesangkar-sangkar  Tak bebas mengucapkan kicaunya

Hanya kau yang kupilih kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang ku pilih  diantara pahit manisnya isi dunia

Orang asing itu berabad-abad
Memujamu di negerinya
Namun di negeriku  Mereka berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah sutomo
Bangkitlah wahidin sudiro husodo
Bangkitlah kihajar dewantara
Bangkitlah semua dada yang terluka

Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatan akan memancar dari genggaman itu
Suaramu sayup diudara Membangunkanku dari mimpi siang yang celaka

Hanya kau yang kupilih kemerdekaan
Di antar pahit manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Dan mendobraknya atas namamu

Terlalu pengap udara yang tak bertiup dari rahimmu
Jantungku hampir tumpas karena racunnnya
Matahari yang kita tunggu Ahirnya bersinar juga di langit kita.

 



MALAM YANG TREBUNUH

M. Fadjroel rachman

Bukankah hidup menarikan kutukan sejarah,
Mengiring kabut rusuh di gerimis malam,
Tanpa arah langit patah, hiduppun kandas.
Kematian bertamu berjubah darah.
Semua datang, semua pergi,
sederhana saja miliaran bintang jatuh meminta nama,
Menyeru-nyeru Tuhan yang bergegas pergi.

Rembulan berlayar dideras darah luka wajahku,
Kubur pun berduka meleleh di tenggorokan waktu
tertinggal rumi.
Tertinggal rabi’ah al ‘adawiah.
Bersajak di senja terbakar
Dan dunia yang bunuh diri menapaki jalan sepi
Terkubur di hati,
Tetapi kemana waktu akan membawa pergi, menepi

Berapa tarikan nafas lagi jarak ke galaksi yang dijanjikan itu,
Rumah abadi yang jauh, dimana cemas tersipu pergi?
Tak ada kartu  pos bergambar taman bunga,
hujan mawar cita-cita, ataupun riuh anak-anak berlarian.
Hanya bangku kosong, dusta bersilangan di meja makan,
dan pori-pori mengeluh,
 “ Tuan, kenapa engkau meninggalkan aku?”

Tubuh pun berderak rubuh bukan milik kita lagi,
musim selalu bergegas menziarahi bumi jauh,
jauh dilangit jiwa terbakar,
gerimis diam-diam memahat nisan dari air mata malam,
untuk bunga-bunga melepas ajal.


 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar