Aku Bangga Pernah Kuliah di IAIN Walisongo Semarang
TOTAL QUALITY MANAJEMENT
Oleh: Pak Abu Choir
Dosen Kependidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Elemen mutu merupakan suatu cara
untuk mengorganisasi usaha manusia. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
mencapai keseimbangan antara usaha manusia dalam melakukan tugas, dengan
kesukacikitaan dengan partisipasinya dalam meningkatkan bagaimana bekerja
dengan baik. (Abdoellah, dkk., 2001). Mutu adalah gambaran dan karakteristik
menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. (Dikdasmen, 2001). Lebih luas
Goetsch & Davis (1994) dalam (Tjiptono, 1999) menyatakan mutu sebagai
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Diantara menajemen
mutu adalah manajemen mutu terpadu atau yang dikenal dengan TQM.
Total
Quality Management adalah salah satu pola manajerial yang berusaha merespon
perubahan yang serba cepat dan terus menerus dalam kehidupan masyarakat. Konsep
manajemen mi menawarkan pendekatan baru dalam mengelola perusahaan, keutuhan
dalam manajemen menjadi ciri utama TQM. Dalam TQM tidak dikenal system
pemisahan secara kaku antara. think
(yang dilakukan pihak manajemen) dan act
(yang diemban oleh karyawan. (Tjiptono, 1999).
TQM
merupakan proses perkembangan dari konsep kualitas/mutu. Dimana pada awalnya
konsep kualitas/mutu adalah dengan menggunakan nama yang diakhiri ing seperti reengineering, rightsizing, restructuring,
downsizing, delayering, reinventing, benchmarking
dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya konsep kualitas/mutu
kemudian menggunakan akronim tiga huruf, seperti TQM (Total Quality
Management), BPR (Business Process
Reengineering), ABC/ABM (Activity-Based CostinglActivity-Based Management),
EVA (Economic Value Added), JIT (just-In-Time),
SCM (Strategic Cost Management), QFD (Quality Function Deployment), lan
lain sebagainya. (Tjiptono, 1999)
Nama TQM
dikenalkan pertama kali oleh Nancy Warren, seorang behavioral scientist di
Universitas States Navy. (Tjiptono, 1999, Abdoellah, dkk., 2001). Sekalipun
banyak konsep bermunculan berkenaan dengan kualitas/mutu, namun tidak banyak
yang dapat bertahan dan mendapat respon dari masyarakat. Sehingga banyak konsep
yang pada awal kemunculannya membuat heboh, tetapi tidak lama kemudian hilang
tertelan waktu. Lain dengan TQM konsep ini termasuk diantara sedikit konsep
yang banyak menyita perhatian para akademisi dan praktisi dari berbagai belahan
duia pada dua decade terakhir. Tulisan. ini hendak mengemukakan tentang TQM dan
aplikasinya dalam Pendidikan Islam sebagal satu perwujudan manajemen mutu dalam
Pendidikan Islam.
B. Fokus Kajian
Untuk
mengaralikan kajian tentang manajemen mutu dalam pendidikan Islam, maka
ditetapkan focus kajian sebagai berikut:
1. Bagaimana hakekat manajemen mutu terpadu (TQM) ?
2. Bagaimana aplikasi manajemen mutu terpadu dalam pendidikan Islam?
C. Tujuan Kajian
Keseluruhan pembahasan dari kajian ini ditujukan untuk :
1. Mendeskripsikan hakekat
manajemen mutu terpadu (TQM)
2. Mendeskripsikan aplikasi
manajemen mutu terpadu dalam pendidikan Islam
D. Sistematika Kajian
Untuk
membahas tentang manajemen mutu terpadu dalam pendidikan Islam, ditetapkan
sistematika kajian sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan; dalam
pendahuluan ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Fokus Kajian, Tujuan
Kajian, dan Sistematika Kajian
BAB II: Hakekat Manajemen
Mutu. Terpadu; dalam bab ini dipaparkan tentang Pengertian Manajemen Mutu
Terpadu, Pilar-pilarnya, dan Sejarah Perkembangannya
BAB III : Aplikasi Manajemen
Mutu Terpadu dalam Pendidikan Islam, yang difokuskan pada Fokus pada Pelanggan,
Pengembangan Proses, dan Keterlibatan Total.
BAB IV : Penutup, berisi
kesimpulan dan rekomendasi tentang kajian dimaksud. Dan pada akhir kajian ini
dipaparkan daftar pustaka yang menjadi rujukan dari pembahasan manajemen mutu
terpadu tersebut.
BAB II
HAKEKAT MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQM)
A. Pengertian
Berbicara tentang manajemen mutu
tidak bisa meninggalkan bangunan kata dan keduanya, yaitu. manajemen dan mutu.
Dalam banyak kajian manajemen diartikan sebagai, (a) proses kerjasama antara
dua orang atau lebih dengan mendayagunakan segala sumber daya manusia maupun
manusia pencapaian tujuan tertentu, (b) proses kerja dengan dan melalui orang
lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sekalipun mungkin masih
banyak lagi pendapat untuk mengungkap tentang manajemen tetapi setidaknya dua
definisi tersebut dapat mewakili dari definisi-definisi manajemen yang lain.
Dua definisi tersebut memberikan
pengertian, bahwa dalam manajemen termaktup unsur (1) kerjasama (dua orang atau
lebih); (2) memberdayagunakan segala sumber daya (manusia maupun bukan
manusia), dan (3) tujuan (yang ditetapkan). Sehingga manajemen bukanlah kerja
individual tetapi kerja kolektif dengan berbagai potensi untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan Proses demikian, selanjutnya melahirkan kegiatan (1)
planning; (2) organizing; (3) actuating; (4) controlling. Pada akhimya inti
dari manajemen adalah
1. Tulis apa yang akan dilakukan
(planning)
2. Lakukan apa yang ditulis (actuating)
3. Evaluasi apa yang dilakukan
(controlling)
Sedangkan yang dimaksud
dengan mutu adalah tingkatan yang menunjukkan gradasi kualitas sebuah obyek.
Dimana kualitas adalah sudut dalam melihat suatu obyek. Karena dalam melihat
satu obyek akan ditemukan dua kontinum (tingkatan), yaitu kontinum mutu dan
kontinum jelek jika diilustrasikan akan memunculkan gambar sebagai berikut:
Mutu adalah gambaran dan
karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya
dalam memuaskan kebutuhan yang akan atau yang tersirat. (Dikdasmen, 2001) Lebih
luas lagi mutu adalah kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa,
manusia, proses, dan hubungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
Dalam melihat mutu akan ditemukan beberapa aliran/model, yaitu: (1) model
/prestasi/NEM; (2) model sistem/proses; dan (3) model kombinasi tujuan dan proses. (2001) Sehingga untuk melihat
satu lembaga pendidikan/sekolah bermutu dapat ditetapkan beberapa indikator
sebagai berikut.
1. Model Tujuan; (a) seberapa jauh
mencapai tujuan; (b) prestasi dalam mencapai tujuan, (c) NEM-nya tinggi. Model
tujuan ini mempunyai kelebihan pada
kemudahan diukur; karena prestasi yang baik hanya diukur pada sesuatu yang
nyata (nilai akhif), sekolah yang baik yang mempunyai nilai NEM tinggi. Namun
demikian kelemahan model tujuan sangat jelas yaitu menimbulkan orang untuk
mencari jalan pintas mencapai prestasi dengan praktek jual beli-manipulasi
nilai dan lain sebagainya dan kurang terperhatikannya perkembangan anak,
padahal tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, tentunya ada
proses-proses yang dijalani untuk mencapai cita ideal ini.
2. Model Sistem; (a) bagaimana
guru melayani siswa/service sekolah terhadap siswa; (b) prosesnya baik, bukan
pada prestasi (ukuran keberhasilan adalah pada proses bukan pada prestasi
akhir). Dalam model ini, kelebihan yang dimiliki sekolah adalah lebih
mematangkan anak dan manajemen cenderung stabil (tidak terpengaruh kebijakan
yang selalu berubah). Sedangkan kelemahan model ini adalah kurang terperhatikannya
prestasi akhir anak, sehingga anak akan menjadi matang sesuai tujuan
pendidikan, tetapi tidak mempunyai nilai kompetitif di lapangan kerja.
3. Model kombinasi Prestasi
(tujuan) dan Sistem; (a) integrasi antara tujuan dan sistem/proses, (b) sistem
bagus tujuan/prestasi bagus, (c) mencapai tujuan asasi pendidikan dan tujuan
praktis dan pragmatis masyarakat.
Perkembangam teori mutu
dalam. konteks pendididikan akan mencakup (1) input; (2) proses; (3) output;
dan (4) outcome pendidikan. (Dikdasmen, 2001)
Ad.l. Input pendidikan
Yang dimaksud dengan input
pendidikan adalah segala sesuatu. yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Sesuatu dalam hal ini adalah sumberdaya dan perangkat
lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input
sumberdaya meliputi (1) sumber daya manusia (SDM) yaitu: (a) kepala
sekolah/madrasah; (b) guru, (c) PSB, (d) siswa; (e) karyawan; (f) keamanan; dan
(2) sumberdaya selebihnya, yaitu: (a) peralatan; (b) perlengkapan; (c) uang, (d)
buku dan lain sebagainya. Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi
sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dan
lain sebagainya. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan dan
sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat
diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik.
Ad.2
Proses pendidikan
Proses pendidikan merupakan
berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain. Sesuatu yang
berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut "input", sedangkan
sesuatu dari hasil proses disebut "output". Dalam. pendidikan
berskala mikro (tingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses
pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan
program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi. Proses
dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta
pemaduan input sekolah (guru, siswa, uang, kurikulum, peralatan, dll.)
dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar,
dan benar-benar mampu "memberdayakan" peserta didik.
"Memberdayakar” dalam. hal ini mengandung arti bahwa peserta didik tidak
sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh guru, akan tetapi pengetahuan
tersebut juga menjadi muatan nurani peserta didik, dilakukan kemudian dalam
kehidupan sehari-hari dan yang lebih penting lagi peserta didik mampu belajar
cara belajar (mampu mengembangkan diri).
Ad.3. Output pendidikan
Output pendidikan adalah
merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang
dihasilkan dari proses/pendidikan sekolah. Kinerja Sekolah dapat diukur dari
aktivitasnya, efektifitasnya, efesiensinya, inovasinya, kualitas kelulusannya,
dan moral kerjanya, dan moral kerjanya. Output dapat dikatakan bermutu jika
prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa SMU dapat pencapaian yang tinggi
dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai umum, EBTA, EBTANAS, karya ilmiah,
lomba-lomba akademik, (2) prestasi non-akademik, seperti, kejujuran, kesopanan,
olahraga, ketrampilan, komputer dan kegiatan-kegiatan lainnya. Mutu sekolah
dipengaruhi oleh banyaknya tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses),
seperti: perencanaan, pelaksanaan/actuating, dan pengawasan.
Ad.3. Outcome pendidikan
Outcome pendidikan adalah
dampak setelah siswa lulus dalam jalur konsentrasi yang diikuti, seperti: 818
siswa lulusan SMK mesin kemudian bekerja di Bengkel, IAIN/STAIN Tarbiyah
menjadi guru Agama, dan lain-lain.
Sebagaimana dijelaskan di
muka, bahwa TQM adalah pola manajemen yang menawarkan pendekatan baru dalam
mengelola perusahaan. Keutuhan dalam manajemen menjadi ciri utama TQM. Dimana
TQM tidak memisahkan secara kaku antara think (yang dilakukan pihak
manajemen) dan act (yang diemban oleh karyawan). Karena inti total
mengandung makna every process, every job, and person. (Lewis &
Smith, 1994) Sehingga dalam hal ini TQM didefinisikan sebagai suatu cara
meningkatkan performance secara terus menerus pada setiap tingkatan operasi
atau proses dalam setiap area fungsional dari suatu orgartisasi dengan
menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia. (Abdoellah,
dkk.,2001)
Pengertian TQM dapat
dibedakan menjadi dua aspek, aspek pertama menguraikan tentang TQM itu sendiri
yaitu sebagai suatu pendekatan dalam memanajemen usaha/bisnis yang berupa
memaksimalkan daya saing melalui terus menerus atas produk, jasa, manusia, dan
kepentingan organisasi. Sedang aspek kedua menyangkut kajian tentang cara
mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh karakteristik TQM yang terdiri dari
(1) berfokus pada pelanggan (Internal dan eksternal), (2) berobsesi tinggi pada
kualitas, (3) menggunakan pendekatan fi~, (4) membidik komitmen jangka panjang;
(5) kekeutuhan tim; (6) menyempurnakan
kualitas secara berkesinambungan; (7) pendidikan dan pelatihan. (8) menerapkan
kebebasan yang terkendali; (9) menuju kesatuan tujuan; dan (10) melibatkan dan
pemberdayaan karyawan. (Abdoellah, dkk, 2001, Tjiptono, 1999). Sedangkan
menurut Tenner & De Toro (1992) menyangkut aspek yang kedua (cara mencapai
TQM dimasukkan pada 3 (tiga) aspek kegiatan, yaitu: (1) customer focus (focus
pada pelanggan internal-ekternal); (2) proses improvement (perbaikan proses);
dan (3) total involvement (keterlibatan total).
Dengan demikian dalam
memahami TQM dua kajian tersebut di atas, perlu mendapat perhatian utuh,
sehingga TQM mempunyai dayaguna, dalam mencapai mutu.
B. Pilar-pilar Manajemen Mutu Terpadu (TQM)
Berbagai prinsip TQM telah
berhasil diterapkan oleh Bill Creech, seorang mantan jenderal berbintang empat,
pada United States Air Force semasa Perang Teluk, yang dikenal dengan
"Lima Pilar TQM yang terdiri atas produk, proses, organisasi, pemimpin,
dan komitmen. (gambar 1).
Gambar 1 : Pilar TQM
Produk merupakan titik pusat
bagi tujuan dan prestasi organisasi, dan kualitas/mutu di produk tidak mungkin
ada tanpa kualitas/mutu proses. Begitu juga kualitas dalam proses tidak mungkin
ada tanpa organisasi yang tepat. Sedangkan organisasi menentukan kesehatan dan
validitas lemahnya sistem manajemen, kerena itu ditempatkan persis di tengah
pilar TQM. Meskipun demikian organisasi
yang tepat tidak ada artinya tanpa yang memimpin. Komittmen yang kuat, dari
bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi pilar-pilar yang lain. Setiap,
pilar tergantung pada empat pilar yang lain, dan bila ada salah satu yang
lemah, maka semuanya menjadi lemah. (Tjiptono, 1999, Abdoellah, 2001).
Selanjutnya, lebih jauh
Cxeech juga menegaskan, bahwa agar program TQM dapat mencapai sukses dalam
implementasi, ada empat kriteria yang harus diperhatikan. Pertama pogram
tersebut harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi pada
kualitas, dalam aktivitasnya, termasuk dalam setiap proses dan produk. Kedua
program tersebut harus memenuhi sifat yang kuat untuk menterjemahkan kualitas
pada para karyawan diperhatikan dan
dikutsertakan dan diberi inspirasi. Ketiga program TQM harus didasarkan
pada pendekatan dsentralisasi yang memberi wewenang disemua tingkat terutama di
garis depan, sehingga antusias keterlibatan dan tujuan bersama menjadi
kenyataan, dan bukan slogan kosong. Keempat TQM harus ditetapkan secara
menyeluruh, sehingga semua prinsip, kebijakan, dan kebijakan mencapai setiap
sudut dan celah organisasi. ( Tjiptono, 1999, Abdoellah, 2001)
C . Sejarah Perkembangan Manajemen Mutu Terpadu
Nasution (2001) menyatakan
bahwa evolusi gerakan total quality dimulai dan studi waktu dan gerak oleh
Bapak manajemen ilmiah, Frederick Wiston Taylor, pada dekade 1920-an. Selanjutnya
evolusi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tahun
|
Kejadian Bersejarah
|
1911
|
Frederick W.
Taylor mempublikasikan bukunya The
Principle of Scienfitic Management yang melahirkan berbagai teknik, seperti
studi waktu dan gerak
|
1931
|
Walter A.
Shewhart dari Bell Laboratories memperkenalkan Statistical Quality Qontrol of
Quality of Manufactured Product
|
1940
|
W. Edwards
Deming membantu U.S. Beureau of Census dalam menerapkan teknik-teknik
sampling statistik
|
1941
|
W. Edwards
Deming mengajarkan teknik-teknik pengendalian kualitas di U.S. War
Departement
|
1950
|
W. Edward
Deming mengajarkan mata kuliah mengenai kualitas kepada para ilmuwan,
insinyur, dan eksekutif perusahaan Jepang
|
1951
|
Joseph M.
Juran mempublikasikan bukunya yang berjudul Quality Control Handbook
|
1961
|
Martin
Company (kemudian bernama Martin-Merieta) membangun rudal pershing yang
memiliki tingkat kerusakan nol
|
1970
|
Philip Crosby
memperkenalkan prinsip Zero Defects
|
1979
|
Philip Crosby
mempublikasikan bukunya yang berjudul Quality is Free
|
1980
|
Sairan
Dokumentasi TV If Japan Can …
Why Can’t We? Memberi pengakuan kepada W. Edwards Demings di USA
|
1981
|
Ford Motor
Company mengundang W. Edwards Demings untuk berbicara di depan eksekutif
puncak, mempelo[ori hubungan produktif
antara produsen mobil dan pakar kualitas
|
1982
|
W. Edward
Demings menerbitkan buku berjudul Quality, Productivity, and Competitive
Position
|
1984
|
Philip Bing
Crosby menerbitkan buku berjudul Quality Without Thears : The Art of Hassle
Free Management
|
1987
|
Konggres Amerika
Serikat menetapkan Malcolm Balridge National Wuality Award
|
1988
|
Secretary of
Defense Frank Carlucci memerintahkan U.S. Departement of Defense untuk
mengadopsi total quality
|
1989
|
Florida and Light berhasil menjadi perusahaan
non Jepang pertama yang berhasil memenangkan Deming Prize
|
1993
|
Total Quality Approach diajarkan di universitas-universitas di
Amerika Serikat.
|
Kejadian Penting dalam gerakan Kualitas
di AS (Nasution, 2001)
BAB III
BAB III
MANAJEMEN MUTU TERPADU
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Pada awalnya TQM merupakan
suatu pendekatan yang dipakai pada perusahaan bisnis dalam rangka meningkatakan
produk serta efektifitas kerja manejemennya. Ketika temyata, TQM telah membawa
sukses perusahaan, seperti Xerox, IBM, Motorola, Toyota, dll, menjadikan muncul pertanyaan
mengapa tidak di bidang pendidikan ?". Dalam, dunia pendidikan TQM masih
relatif baru, sehingga belum banyak yang menagdaptasinya dalam manajemen
pendidikan. Bahkan sementara kalangan yang meragukan efektifitas TQM dalam
pendidikan dengan alasan bahwa merupakan konsep yang sulit dievaluasi dalam
pendidikan. (Taylor & Hill (1993),
Mc. Culoch (1993) dalam. Tjiptono (1999)).
Sedangkan sementara kalangan
yang lain menganggap TQM sebagai harapan cerah bagi dunia pendidikan setidaknya
dalam. empat bidang dinyatakan Sarwono dan Sudarsono (1997), yaitu: (a)
Administrasi dan operasi lembaga pendidikan secara luas untuk mengelola lembaga
pendidikan (b) kurikulum (berwawasan konsumen intemal dan eksternal), (c)
Metode pengajaran di kelas, dan (d) mengelola aktivitas riset lembaga
pendidikan. (Tjiptono, 1999). Namun demikian dalam, usaha meingimplementasikan
TQM dalam bidang pendidikan perlu disadari beberapa perbedaan mendasar, yaltu:
(a) sekolah bukan Industri, (b) siswa bukan produk pendidikan (c) hasil
pendidikan identik dengan produk suatu industri (d) pengguna jasa pendidikan
(pelanggan) dapat berwujud siswa, orangtua, pengusaha, dan masyarakat; (e)
siswa membutuhkan pendamping dalam proses pendidikannya, dan (f) siswa tidak
mempunyai peluang untuk terus mengulang. (Tribus, tt).
Selanjutnya dalam mengkaji
implementasi TQM dalam, pendidikan Islam akan dikaji urut berdasarkan 3 (tiga)
cara mengimplementasikan TQM menurut Tenner & De Toro (1995), yaitu (1)
costumer focus (fokus pada pelanggan internal ekternal); (2) proses improvement
(perbaikan proses); dan (3) total involvement (keterlibatan total) yang
termasuk dalam aspek kajian kedua dalam TQM.
A.
Fokus Pada Pelanggan
Termasuk dalam faktor penting
dari TQM adalah fokus pada pelanggan. Kunci untuk mendapat keuntungan
kompetitif jangka panjang adalah memenuhi harapan pelanggan secara terus-menerus. Oleh sebab itu suatu lembaga
perlu melihat kebutuhan dan harapan dari pelanggannya. Kegiatan yang penting
dalam rangka untuk mencapai keuntungan ini adalah : (1) identifikasi pelanggan
(siapa pelanggan lembaga pendidikan Islam ? (2) identifikasi kebutuhan
pelanggan (apa yang mereka harapkan?), dan (3) identifikasi kegiatan pemenuhan
kebutuhan pelanggan (bagaimana sebaiknya anda dan pesaing anda) memperlakukan
titik pandang pelanggan anda ?.
1.
Identifikasi Pelanggan
(siapakah pelanggan itu ?)
Identifikasi pelanggan
bukanlah hal yang mudah, sekalipun banyak orang yang berasumsi bahwa
identifikasi pelanggan tergolong mudah. Karena dari kegiatan ini akan
diformulasikan suatu sikap dan kebijakan. Salah dalam mengidentifikasi
pelanggan, berarti “bencana”. Karena sikap dan kebijakan yang diambil akan
salah sasaran.
Dalam kaitan ini Tenner dan
Detoro (1992) memberikan satu ilustrasi sebagai berikut :
“Kita semua mengasumsikan bahwa kita
dapat dengan mudah mengidentifikasi para pelanggan kita. “Kita menjual dan melayani Blue Chip
Corporation,”atau kita bangga bahwa “Lack Luster, Inc. adalah salah satu
pelanggan terbesar terbesar dan terbaik kita.” Tetapi bahwa identifikasi
sederhana pelanggan tidak berguna, sejak sejak Blue Chip Corp. memiliki seratus
ribu karyawan, dan Lack Laster, Inc. menjadi perusahaan internasional dengan
lokasi di seluruh dunia. Kita perlu tahu secara langsung siapa yang di dalam
Blue Chip Corp. dan siapa yang di dalam Lack Laster, Inc. adalah pelanggan dan
untuk apa.”
Dari hal tersebut di atas,
dapat disimpulkan bahwa mengidentifikasi pelanggan tidak cukup sekedar
mengetahui secara global nama perusahaan atau lembaga yang dilayani. Tetapi
lebih dari itu perlu juga diketahui secara detail siapa yang terkena langsung
pelayanan itu sendiri. Karena suatu lembaga perlu mengetahui ukuran tingkat
pelayanan yang diberikan, kegiatan perbaikan pelayanan di masa depan, dan itu
tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang benar-benar merasakan secara
langsung pelayanan itu sendiri. Dan orang yang demikian adalah pelanggan.
Tenner dan Detoro (1992)
menyatakan “pelanggan sebagai orang yang padanya anda meloloskan output anda.”
Sejalan dengan ini Mantja (2000) mtk bahwa pelanggan adalah seseorang atau
kelompok yang menerima produk atau jasa layanan. Pelanggan tidak (mesti) berada
secara eksternal terhadap organisasi tetapi berada pada setiap tahapan yang
mempersyaratkan penyempurnaan ini hasil sebuah produk atau pemberian layanan. Dalam
pada ini setiap organisasi perlu bertanya atau mendengar pada klien atau
pelanggan yang tept, sehingga akan memberikan umpan balik untuk menjamin
layanan yang diberikan memang tepat. (Mantja, 2000).
Dari hal demikian,
identifikasi pelanggan juga mengarah pada pembagian pelanggan. Ada pelanggan internal, yaitu mereka yang
bekerja untuk lembaga (sekolah/madrasah) dan ada pula pelanggan eksternal,
yaitu mereka yang memiliki tuntutan atau kepentingan layanan dari lembaga
(sekolah/madrasah). (Mantja, 2000). Lain daripada itu Nasution (2001) membagi
kategori pelanggan ini pada tiga bagian, yaitu : (1) pelanggan internal, yakni
orang yang berada dalam perusahaan/lembaga dan memiliki pengaruh performa
pekerjaan (perusahaan/lembaga); (2) pelangga antara, yakni orang yang bertindak
sebagai perantara, bukan pemakai akhir produk, dan (3) pelanggan eksternal,
yaitu pemakai akhir produk, sering dsebut sebagai pelanggan nyata. Gagasan
lebih lengkap diungkapkan Lewis & Smith (1994), keduanya mengajukan
kerangka identifikasi pelanggan pada tiga perspektif, yaitu pelanggan internal
(akademik dan administrativ), pelanggan eksternal tidak langsung, pelanggan
eksternal tidak langsung. (Tjiptono, 1999). Pelanggan intern al akademik
meliputi siswa/murid, staf pengajar, program dan departemen/unit-unit yang
mempengaruhi program tertentu (kurikulum, kesiswaan, humas dan keuangan).
Pelanggan internal administrasi meliputi mahasiswa, karyawan dan unit,
departemen atau bagian yang mempengaruhi suatu pelayanan atas aktivitas (ITU, service
cleaning, dll). Pelanggan eksternal langsung terdiri atas employers para siswa/murid dan sekolah atau lembaga lain yang
menjadi penerima siswa/murid untuk studi lanjut atau jasa yang lain. Sedangkan
pelanggan eksternal tidak langsung meliputi legislatur
bodies, masyarakat yang dilayani, BAN, alumni, keputusan dan operasi
lembaga pendidikan.
Pelanggan
|
Kebutuhan
|
Pelanggan Internal – Akademik
Siswa
Staf Pengajar
Program/unit (kurikulum,
kesiswaan, keuangan)
|
Pengetahuan, ketrampilan, dan
kemampuan untuk mencapai kebutuhan pribadi dan tujuan professional;
kegembiraan dalam belajar.
Perkembangan pribadi, ‘rasa
aman’, kegembiraan dalam bekerja, informasi dan ikut berkesinambungan.
Penyempurnaan berkesinambungan,
pertukaran informasi (input/output), kerjasama dan kolaborasi.
|
Pelanggan Internal –Administratif
Siswa
Karyawan
Unit/departemen, bagian (TU,
Perpustakaan, Service Cleaning, dll)
|
Pelayanan tersedia saat
dibutuhkan, pertanyaan terjawab saat diajukan
Perkembangan pribadi, ‘rasa
aman’, kegembiraan dalam bekerja, informasi dan ikut berkesinambungan.
Penyempurnaan berkesinambungan,
pertukaran informasi (input/output), kerjasama dan kolaborasi
|
Pelanggan Eksternal – langsung
Employers
Lembaga pendidikan lain
|
Karyawan yang kompeten, kinerja
produktif
Siswa/murid yang mempunyai
kemampuan mengikuti studi lanjut
|
Pelanggan Eksternal – tidak
langsung
Masyarakat
BAN (Badan Akreditasi Nasional)
Alumni
Donatur
|
Terpilih atau diangkat kembali,
pemenuhan persyaratan, memberikan kontribusi.
Angkatan kerja, pemimpin dan
pengikut yang kompeten, sukarelawan, warga masyarakat, warga negara yang
aktif secara politis.
Pemenuhan kriteria dan standar
yang ditetapkan.
Kebanggan karena pernah menuntut
ilmu di lembaga, melanjutkan studi
Kesadaran akan klas dan kebutuhan
lembaga pendidikan, pemberian donasi yang tepat.
|
Adaptasi;
Lewis & Smith dalam (Tjiptono, 1999)
Konsep pelanggan
internal sangat penting karena ia secara
dramatis membuat sebuah kasus bahwa suatu organisasi / dalam hal ini lembaga tidak
dapat secara berhasil memenuhi kebutuhan para pelanggan eksternalnya (Tenner
& De Toro, 1992). Di dalam bekerja dengan klien/pelanggan besar,. Interaksi
antara pelanggan eksternal dan internal adalah sangat komplek. Karena itu hal
yang perlu dipahami adalah identifikasi output-produk atau jasa yang dihasilkan
oleh seseorang. Selanjutnya, pertanyaan yang muncul, “Siapa orang itu, kepada
siapa saya akan meloloskan output ini?” Jika identifikasi tentang kepada siapa
saya akan meloloskan output ini?” berhasil, maka akan diperoleh daftar
kebutuhan, harapan, dan syarat yang harus dipenuhi sebagai suplier. Sehingga
identifikasi outpu yang dapat ditemukan secara benar pada daftar di bawah ini :
(Tenner & De Toro, 1992)
a.
Apakah yang bukan termasuk output ?
· Hal yang anda
supervisi atau setujui tetapi yang
sebenarnya dihasilkan oleh orang lain. Misalnya : anggaran yang dibuat oleh
staff tetapi disetujui manajer senior (Kepala / Rektor dll), maka anggaran
tersebut adalah output staff finansoal, sedangkan manajer senior merupakan
cosuplier.
· Tujuan atau outcomes
(hasil) untuk lembaga, misalnya keuntungan, kepuasan pelanggan, penghasilan,
dan peningkatan andil pasar. Begitu juga moral, hasil-hasil ini adalah hasil
sejumlah output yang dihasilkan oleh sejumlah karyawan yang biasanya jauh di
luar kapabilitas individu tunggal untuk menarik atau mempengaruhi.
· Langkah-langkah
dalam proses kerja, menjabarkan rencana kerja atau jadwal adalah langkah yang
individu mengambil bagian sebagai upaya untuk menyelesaikan suatu proyek tetapi
bukan “outpur” yang diloloskan kepada orang lain.
· Seluruh fungsi yang
dijelaskan oleh job kerja ondividual atau tanggung jawab. Manajer bagian
pelayanan komputer, dalam semua kemungkinannya tidak secara aktual memperbaiki
komputer, sekalipun ia tentu saja bertanggung jawab untuk setiap saat,
perbaikan akurat komputer yang mengalami kesalahan fungsi. Kemudian, manajer
menjabarkan rencana penstafan, meramalkan, perencanaan pelatihan, anggaran dan
sejumlah output lain yang diloloskan kepada lainnya. Para
karyawan dalam departemen ini secara aktual melakukan pelayanan perbaikan
karena mereka mengunjungi situs pelanggan, mendiagnosa masalah-masalah dan
mempengaruhi perbaikan.
b.
Apakah Output itu ?
Prediksi atau pelayanan yang
dihasilkan, sebagai bagian dari proses kerja, dan yang diloloskan kepada orang
lain, siapa, pada gilirannya, menggunakan mereka dalam proses kerja mereka.
c.
Tetapi, sebenarnya siapakah pelanggan itu ?
Pelanggan sebagai orang yang
padanya output diloloskan. Tetapi perlu dipahami ada pelanggan (internal) yang
ada di dalam lembaga dan ada pelanggan (eksternal) yang ada di luar lembaga.
d.
Apa yang sesungguhnya diinginkan pelanggan ?
Identifikasi pelanggan pada output
yang dihasilkan, harus menentukan apa yang diharapkan pelanggan, apa yang
diperlukan, dan apa yang dibutuhkan dari lembaga, sebagai supplier. Perlu
diketahui bahwa konsep kualitas perlu dijelaskan kepada pelanggan dan pemenuhan
kebutuhan pelanggan dan harapan mereka adalah tujuan strategis dari manajemen
mutu terpadu (TQM).
Pemahaman kebutuhan pelanggan akan
menjadi satu jembatan layanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Sebagai
satu interface berikut ditampilkan tabel pelayanan siswa
Sekolah Menengah Atas Mt.Adgcumbe:
Pelanggan
|
Penyalur
|
Layanan
|
Siswa
|
Guru
|
Manajemen sistem
Rancangan Kurikulum
Konsultasi
Kepemimpinan
Materi dan peralatan
|
|
Tenaga Administrasi
|
Pengembangan system dan Analisis materi dan
peralatan
|
Pelanggan
|
Penyalur
|
Layanan
|
Guru
|
Dewan Sekolah
|
Pengambilan kebijakan
|
|
Tenaga Administrasi
|
Bahan ajar dan peralatan
|
Orang tua
|
Sistem sekolah
|
Pengetahuan, kebijaksanaan, mengetahui bagaimana
karakteristik anak-anak mereka
|
Industri
|
Sistem sekolah
|
Pengetahuan, bijaksana, mengetahui karakter setiap
lulusan
|
e.
Kepuasan pelanggan
Tujuan implementasi pendekatann
adalah menentukan output, identifikasi lapangan, identifikasi syarat-syarat
untuk memperkuat kemampuan supplier untuk memenuhi kebutuhan dan harapan
pelanggan, dan tentunya meningkatkan kepuasan pelanggan.
2.
Memahami Pelanggan
Pada dasarnya setiap
pelanggan menginginkan harapan mereka dapat dicapai dengan sempurna dan
konsisten. Setiap pelanggan cenderung merasakan kualitas pelayanan dengan
membandingkan layanan yang benar-benar telah dirasakan dalam harapan mereka
sebelum mereka membeli barang. Layanan tersebut dipandang tidak memuasakan
ketika harapan mereka tidak terpenuhi dan lebih memuasakan ketika
harapan-harapan tersebut melebihi apa yang mereka inginkan. (Tenner & De
Toro, 1992)
Suatu organisasi yang suskses
mampu untuk mendiagnosa berbagai harapan pelanggan dan mampu memuaskan mereka
pada setiap saat. Organisasi kelas dunia mempunyai kemampuan luar baisa dalam memahami tuntutan yang harus
dipenuhi bukan tersembunyi. Harapan mereka dapat diidentifikasi melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
- Produk atau pelayanan macam apa yang diharapkan para pelanggan
- Tingkat kualitas yang bagaimana yang dibutuhkan untuk memuaskan harapan mereka ?
- Apa sebenarnya pentinya dari setiap ciri pelayanan atau produk tersebut?
- Bagaimana para pelanggan puas dengan kualitas pada suatu tingkatan saat ini? (Tenner & De Toro, 1992)
Setiap pelanggan selalu
menginginkan mendapatkan produk dan pelayanan yang berkualitas, yang dipahami
dengan perasaan bahawa mereka telah melakuikan tukar menukar secara fair dan
menerima nilai. Dalam kaitan ini ada lima kriteria produk atau layanan yang
diinginkan oleh pelanggan yaitu : (1)
lebih cepat, lebih baik, lebih murah; (2) delapan dimensi kualitas; (3)
sepuluh determinan kualitas pelayanan; (4) lima kriteria “rater”; dan Compedium
sifat barang yang berkualias. (Tenner & De Toro, 1992)
Ad. 1 Lebih cepat, lebih
baik, lebih murah
Harapan ini dapat dilihat
sebagai upaya pelanggan untuk mendapatkan sesuatu yang cepat, lebih baik dan
lebih murah dari yang tersedia di tempat lain. Dari hal demikian, melahirkan
tiga dimensi yang dilakukan pada pasar bebas yaitu (1) waktu, yang menunjukkan bagaimana suatu
produk dan pelayanan dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan nyaman; (2) biaya, yang menunjukkan
seberapa mahal harga suatu produk; dan (3) kualitas, sebagai dimensi yang
paling sulit didefinisikan. (Tenner & De Toro, 1992)
Ada ukuran dalam melihat
dimensi kualitas, yaitu a) kualitas
produk, yang terdiri dari atribut nyata yang dmlk pelanggan; dan b) kualitas
pelayanan, yang mencakup ciri khas yang diobservasi dan dialami oleh pelanggan
saat transaksi.
Ad.2. Delapan dimensi
kualitas
Delapan dimensi kualitas
ditemukan Garvin sebagai usaha untuk menganalisis karakteristik kualitas. Delapan dimensi tersebut adalah :
- Performance, yaitu karakteristik pengoperasian primer dari suatu produk. Seperti contoh : performance dari automobile adalah akselerasi (percepatan), handling, kecepatan jelajah dan kenyamanan.
- Feature, yaitu aspek performance sekunder. Dalam kaitan ini fetures dalam automobile adalah “bel”
- Reliability (keandalan), yakni peluang untuk melakukan fungsi khusus pada periode waktu tertentu.
- Conformance (kesesuaian), yakni tingkat dimana perancanngan produk dan karakteristik operasi memenuhi standar yang dibuat.
- Durability (daya tahan, masa pakai), yaitu ukuran jangka waktu penggunaan produk.
- Serviceability (daya / tingkat servis), yaitu kecepatan, kesopan-santunan, kompetensi dan kemudahan di dalam perbaikan.
- Aesthetics (Estetika), yakni bagaimana suatu produk terlihat, terasa, terdengar atau tercium.
- Perceived quality (kualitas yang dipersepikan) yakni reputasi. (Temmer & DeToro, 1992).
Ad. 3. Sepuluh penentu
kualitas servis / jasa pelayanan
Identifikasi Berry dan koleganya
dalam penelitian ini di awal tahun 1980-an tentang kualitas jasa adalah sebagai
berikut :
- Reliability (daya handal), yaitu konsistensi performance dan tingkat ketergantungannya melaksanakan hak servis dengan benar pada kali pertama, menetapi janji-janji dan akurasi.
- Security (keamanan); bebas dari bahaya, resiko, atau was-was, keamanan keamanan. finansial, keyakinan
- Competence (kompeten), yakni kepemilikan katrampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan servis tersebut.
- Acces (akses), yaitu daya pendekatan dan kemudahan dalam akses, waktu menunggu, dan jam-jam operasi.
- Courtesy (kesopan-santunan) yaitu kejujuran, penghormatan, pertimbangan dan keramahan di dalam kontrak person.
- Communication (komunikasi), menjaga atau memberikan informasi pada pelanggan dalam bahasa yang merka pahami; mendengarkan pelanggan, menyesuaikan bahasa dengan kebtuuhan yang berbeda-beda dari berbagai macam pelanggan; menjelaskan jasa itu sendiri, berapa banyak biaya yang diperlukan, dan bagaimana problem akan ditangani.
- Credibility (kredibilitas), kepercayaan, keyakinan, kejujuran, reputasi perusahaan, karakteristik personal.
- Security (keamanan), bebas dari bahaya resiko, atau was-was, keamanan fisik, keamanan finansial, keyakinan.
- Understending the customer (memahami pelanggan); melakukan usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan; membelajari kebutuhan-kebutuhan khusus dari pelanggan; memberikan perhatian secara individual memperhatikan pelanggan dengan teratur.
- Tangibles (nyata); bukti fisik atau yang tampak dari servis, fasilitas–fasilitas penampakan personel, alat-alat atau peralatan yang digunakan untuk membenkan servis, represerttasi fisik dan servis, sepert, kartu kredit atau laporan keuangan pelanggan lain dalam fasilitas jasa (Tenner & DeToro, 1992).
Ad. 4. Lima kreteria "Rater"
Rater adalah merupakan
akronim dari Reliability, Assurance, Tangibles, dan Responsiveness yang
ditemukan Berry
sebagai kelanjutan hasil penelitian jasa di atas. Hal mana beberapa organisasi
merasa sepuluh kualitas membingunkan dan saling tumpang tindih.
"Rater" lebih karena lebih sederhana. Rater tersebut adalah sebagai
berikut.
- Reliability (daya handal); kemampuan untuk melakukan servis yang dan secara akurat dan sesuai kebutuhan
- Assurance (asuransi); pengetahuan dan kesopansantuan dari karyawan dan kemampuan mereka untuk menginspirasikan kepercayaan dan keyakinan
- Tangibles (nyata); fasilitas fisik, peralatan dan penampakan secara personal.
- Empathy (empati); perawatan, perhatian secara pribadi yang perusahaan berikan kepada para pelanggannya, dan
- Responsiveness (daya tanggap); kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan servis yang tepat.
(Tenner &
DeToro, 1992)
Ad. 5. Ringkasan dari
karakteristik kualitas
Setting ini memberikan
klasifikasi ulang pada kualitas ke dalam dua komponen; deliverable (dapat
diantar), yaitu atribut-atribut yang diberikan kepada pelanggan; interaksi,
yaitu bagaimana perilaku dan style (pola) memberikan dampak pada pelanggan saat
mereka melalui proses-proses servis. (Tenner & DeToro, 1992)
Dalam kaitan ini Pondok
Modern Al Rifa’ie mengolaborasikannya dalam perencanaannya sebagai berikut :
- Keandalan, yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segar, akurat dan memuaskan.
- Daya tanggap, yaitu keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para santri dan santriwati dan memberikan pelayanan dengan tanggal.
- Kompetensi, yaitu pengetahuan dan ketrampilan serta penugasaan para staf dan karyawan terhadap pelayanan dan jasa yang diberikan
- Akses, kemudahan yang didapat pelanggan atau santri dan saintriwati untuk menghubungi pondok baik untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengajaran maupun mengeluhkan hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan.
- Kesopanan yaitu setiap sopan, respek, ramah dan penuh pertimbangan dalam melayani setiap orang serta santri dan santriwati sebelum, saat dan setelah masa pendidikan.
- Komunikasi yaitu memberikan informasi akurat dalam bahasa yang dipahami oleh setiap orang atau santri dan santriwati yang berbeda-beda.
- Kredibilitas, mencakup kepercayaan dan kejujuran yang diharapkan melekat dalam hati santri dan santriwati.
- Keamanan, yaitu memberikan konsumen atau santri dan santriwati bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan.
- Pengertian, yakni mengupayakan staf dan karyawan memahami kebutuhan konsumen atau santri dan santriwati.
- Bukti langsung yaitu fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
- Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dengan tulus.
Dengan menetapkan
prinsip-prinsip kualitas sebagai berikut:
1.
Berfokus pada kepuasan santri dan santriwati
2.
Mempraktekkan filosofi “kualitas yang utama"
3.
Implementasi manajemen kualitas berorientasi proses
4.
Sadar akan setiap masalah yang timbul dan memperoleh
solusi secepatnya
5.
Implementasi siklus Plan Do Study Act dalam
perbaikan kualitas terus menerus.
6.
Standarisasi operasional.
7.
Membangun kualitas dalam proses.
8.
Menerapkan pengukuran dengan filosofi “berbicara
berdasarkan data”
9.
Mengembangkan kemitraan internal dan eksternal.
Mengukur kepuasan pelanggan
internal dan ekternal memang tidak mudah. Hal mana seringnya terjadi kekaburan
mereka dalam menuturkan indikator yang mereka inginkan. Namun ada beberapa
pendekatan untuk menjelaskan permintaan
dan mengukur kepuasan para pelanggan eksternal untuk digunakan dalam mengembangkan
dan mempromosikan suatu produk/program baru. Tetapi, pemrosesan sistematis
relatif jarang digunakan untuk memahami pelanggan internal.
Ada dua dimensi kerangka kerja yang telah dikembangkan
untuk mekanisme yang umumnya, digunakan untuk menampung dari para pelanggan;
(1) dimensi pertama tingkat aktifitas yang
dakwah oleh supplier, dan (2) dimensi kedua mempetakan tingkat pemahaman
yang bisa diperoleh. Secara aktual memahami dua dimensi ini ditunjukkan dengan
tiga tingkat (level) sebagai berikut: (Tenner & De Toro, 1992)
Tingkat 1: Metode
Reaktif, menunjukkan pemahaman terendah tentang harapan Pendekatan ini terutama
hanya ditujukan untuk menampung baru dicari
penyelesaiannya. Pendekatan ini tidak elemen kualitas modem yang
berfokus pada pelanggan. Kelemahan pendekatan jenis reaktif ini ada 4 (empat)
faktor, yaitu pertama, data diperoleh dari seperangkat pelanggan yang bias, dan
non perwakilan yang jarang menggunakan keluhan, bahkan seringkali dalam bentuk
solusui: “Kami memerlukan banyak
kapasitas CPU”, kedua, hanya sampling
terbatas dari pelanggan yang tidak senang. Ketiga,
sistem untuk mensintesakan dan menganalisa data seringkali kurang. Keempat, karyawan menerima informasi
melalui saluran ini adalah sering dibatasi pada penetapan masalah-masalah
konsumen mereka. Para pelanggan juga seringkali
tidak mengetahui bagaimana melakukan komplain atau dimana mereka menyalurkan
komplain mereka atau komplain atau komplain mereka kurang membawa pengaruh pada
suatu usaha perbaikan mereka inginkan.
Karena itu organisasi perlu melakukan terobosan misalnya dengan memberi hadiah
pada komplain pelanggan dan pada karyawan yang menerima komplain.
Tingkat 2; Tingkat pemahaman lebih tinggi, ditandai
dengan aktif dari pemasok untuk mendengarkan pelanggan. Mekanisme pada tingkat
2 ini didefinsikan sebagai pendekatan yang berkomunikasi dengan pelanggan,
tetapi masih memandang harapan
pelanggan, sebagai tujuan kedua, bukan sasaran utama yang ingin dipahami.
Tujuan utama dari ini sering hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
pelanggan atau lebih banyak produk atau memperkenalkan produk baru. Meskipun
pendekatan kedua ini lebih efektif dari pendekatan pertama yang bersifat
reaktif, namun kemampuan mekanisme tingkat 2 untuk menjaring
pandangan-pandangan pelanggan tidak optimal karena mekanisme ini didisain terutama
hanya memenuhi tujuan utama, yaitu untuk menjawab pertanyaan pelanggan, bukan
untuk mendengar harapan terstruktur, analisis, data penjualan, umpan balik dari
wakil pelanggan.
Tingkat 3, pemahaman paling tinggi harapan pelanggan
dan ditandai dengan pendekatan proaktif dari perusahaan untuk mendengar harapan
pelanggan. Pendekatan ini akan mempu mengungkap harapan pelanggan karena
mekanisme tingkat 3 memang khusus didisain secara spesifik untuk menjaring
informasi dari pelanggan. Pendekatan pada tingkat 3 ini mencakup wawancara
pribadi enggan, kelompok fokus, dan survei
yang didesain khusus untuk menjaring informasi pelanggan. Mekanisme lain
pada tertinggi adalah mysteri shopper, dimana perihak perusahaan (lembaga) menempatkan
diri mereka dalam posisi pelanggan yang akan menggunakan produk yang
dihasilkan. Hal ini memungkinkan lembaga bertindak berdasarkan titik pandang
pelanggan mereka.
Apabila kepuasan pelanggan
tercapai akan dapat memberikan akan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut :
- Hubungan antara lembaga dan pelanggan menjadi harmonis sehingga pelanggam melakukan pembelian ulang dan mendorong terciptanya loyalitas pelanggan.
- Reputasi lembaga menjadi baik di mata pelanggan.
- Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan lembaga.
- Keuntungan / laba lembaga menjadi meningkat. (Nasution, 2001)
Sedangkan metode yang dipakai
guna mengukur kepuasan pelanggan dapat digunakan beberapa hal sebagai berikut :
(Nasution, 2001)
- Sistem Keluhan dan Saran; yaitu menyediakan kotak saran, kartu komentar, dan lain-lain. Informasi ini memberikan ide-ide / gagasan untuk memperbaiki kualitas produk yang dapat memberikan ide-ide / gagasan.
- Ghost Shopping, yaitu mempekerjakan beberapa orang yang berperan sebagai pembeli potensial yang melaporkan kekuatan dan kelemahan produk lembaga dan produk pesaing.
- Lost customer analysis; yaitu lembaga meneliti pelanggan yang sudah berhenti membeli agar mengetahui kelemahan kualitas produk.
- Survey kepuasan pelanggan; yakni mengadakan survey guna memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan.
Metode ini jika diterapkan
dalam pendidikan dapat diperluas dengan teknik-teknik humas yang komunikatif
seperti pertemuaan kelompok (siswa/guru/orang tua/karyawan), kotak saran,
penyebaran angket setiap awal tahun dan lain-lain.
B.
Pengembangan Proses
Dalam kajian pengembangan
proses ini mencakup (1) Definisi proses dan Manajemen Proses; (2)
Langkah-langkah perbaikan proses; Model perbaikan kualitas berorientasi proses.
Ad.1. Definisi Proses dan Manajemen
Proses
Suatu proses didefinsiikan
sebagai integrasi sekuensial (berurutan) dari orang, material, metode, dan
mesin atau peralatan dalam suatu lingkungan, guna menghasilkan nilai tambah
output pelanggan. (Tenner & De Toro, 1992, Nasution, 2000). Suatu proses
mengkonversi input terukur ke dalam output terukur melalui sejumlah langkah
sekuensial yang terorganisasi :
Ada empat yang terlibat dalam operasi dan perbaikan
proses, sebagai berikut :
- Pelanggan, yaitu orang yang akan menggunakan output secara langsung atau orang yang akan menggunakan output itu sebagai input dalam proses kerja mereka, yaitu pelanggan internal.
- Kelompok kerja, yaitu orang-orang yang bekerja dalam proses untuk menghasilkan dan menyerahkan output yang diinginkan tersebut.
- Supplier (pemasok), yaitu orang-orang yang bekerja dalam proses pada kenyataannya merupakan pelanggan dari pemasok.
- Pemilik, yaitu orang yang bertanggung jawab untuk operasi dari proses dan perbaikan proses itu. (Tenner & De Toro, 1992, Nasution, 2001)
Seperti diketahui, pelanggan
adalah orang yang mendefinisikan proses untuk menghasilkan output yang
diinginkan. Hal demikian diperoleh melalui dua kategori informasi yang mengalir
dari pelanggan ke kelompok kerja. Kategori pertama adalah informasi mengenai
kebutuhan pelanggan yang merupakan suatu deskripsi dari apa yang diinginkan,
dibutuhkan atau diharapkan oleh pelanggan. Kebutuhan pelanggan ini akan
menentukan apa yang harus dihasilkan dan diserahkan oleh proses. Kategori kedua
adalah informasi tentang umpan balik (feed back) yaitu suatu keterangan
tentang baik atau buruknya suatu output
yang diserahkan untuk dibandingkan dengan harapan pelanggan.
Umpan balik ini merupakan
isyarat utama untuk perbaikan proses pada operasi yang akan datang. Aliran
informasi dan produk dengan pemasok tampak sebagai suatu cermin citra dari
proses yang digunakan untuk menghubungkan kelompok kerja dengan pelanggan.
Konsep manajemen proses
berkaitan dengan perbaikan kualitas. Gabriel Pall (1987) dalam (Tenner & De
Toro, 1992, Nasution, 2001) mengidentifikasikan enam komponen yang penting
dalam manajemen proses, sebagai berikut:
- Kepemilikan; menugaskan tanggung jawab untuk disain, operasi dan perbaikan proses.
- Perencanaan; menetapkan suatu pendekatan terstruktur dan disiplin untuk mengerti, mendefinisikan dan mendokumentasikan semua komponen utama dalam proses dan hubungan antar komponen utama
- Pengendalian; menjamin efektivitas sehingga semua output dapat diperkirakan dan konsisten dengan harapan pelanggan.
- Pengukuran; menetapkan peforma atribut terhadap kebutuhan pelanggan dan menetapkan kriteria untuk akurasi, presisi dan frekuensi perolehan data.
- Perbaikan atau peningkatan; meningkatkan efektivitas dari proses melalui perbaikan yang didefinisikan secara tetap
- Optimisasi; meningkatkan efisiensi dan produktivitas melalui perbaikan yang diidentifikasi secara tetap
Keenam komponen di atas,
merupakan landasan untuk keberhasilan manajemen suatu proses. Komponen tersebut
dibutuhkan untuk proses kerja yang menghasilkan dan menyerahkan produk ke
pelanggan, untuk proses yang menspesifikasikan kebutuhan dan kepuasan sepanjang
rantai pelanggan-pemasok, dan untuk proses yang mendukung pekerja dalam
pekerjaan mereka.
Untuk mencapai keberhasilan
suatu proses, suatu organisasi perlu mengetahui proses-proses kunci bagi
keberhasilan dimaksud. Sehubungan dengan itu, terdapat enam pertanyaan untuk
membantu dalam mengidentifikasi proses kunci yang memiliki dampak terbesar pada
pelanggan, sebagai berikut:
- Produk apa yang terpenting bagi pelanggan?
- Proses apa yang menghasilkan produk itu ?
- Komponen atau faktor kunci apa yang merangsang tindakan dalam organisasi , dan proses apa yang mengkonversi atau mengubah rangsangan ini menjadi output?
- Proses mana yang memiliki visibility tertinggi dengan pelanggan/
- Proses mana yang memiliki dampak terbesar terhadap standar performansi yang dikendalikan oleh pelanggan?
- Berdasarkan data performansi, proses mana yang memiliki potensi terbesar untuk perbaikan?
Apabila proses kunci telah
dapat diidentifikasi, perbaikan sitemik dan terus menerus dapat dimulai.
Jawaban terhadap keenam pertanyaan di atas dapat saja berbeda untuk setiap
organisasi tergantung pada aktifitas bisnis yang dilakukan.
Ad.2. Langkah-langkah Perbaikan Proses
Dalam kaitan ini, Tenner
& De Toro (1992) mengemukakan suatu model perbaikan proses yang terdiri
atas enam langkah sebagai berikut:
1.
Mendefinisikan Masalah Proses ; model perbaikan
dimulai dari penetapan atau spesifikasi system mana yang terlibat agar
usaha-usaha dapat terfokus pada proses bukan output. Aktifitas spesifik dalam
langkah pertama ini, yaitu : (a) identifikasi output; (b) identifikasi
pelanggan; (c) definisi kebutuhan pelanggan; (d) identifikasi proses yang
meghasilkan output; dan identifikasi pemilik proses.
2.
Identifikasi dan Dokumentasi Proses ; diagram alir
merupakan alat yang umum dipergunakan untuk mendeskripsikan proses. Pembuatan
diagram alir bagi proses akan memungkinkan untuk melakukan empat perbaikan
yaitu: (a) mengidentifikasi peserta (participants) dalam proses berdasarkan
nama, posisi, atau posisi, atau organisasi ; (b) memberikan kepada semua
peserta dalam proses dan peanan individual mereka; (c) mengidentifikasi
inefisiensi, pemborosan, dan langkah-langkah yang berlebihan atau yang tidak
perlu (redundat) dalam proses; dan (dan) menawarkan suatu kerangka kerja sama
untuk mendefinisikan pengukuran proses
3.
Mengukur Performa; hal mana dimaksud untuk dapat
megkuantifikasi baik atau jelek suatu sistem yang sedang berjalan atau
beroperasi. Ukuran-ukuran performa harus didefinisikan dan dievaluasi dalam
konteks harapan pelanggan. Pada dasarnya pengukuran performa dapat dilakukan
pada tingkat, yaitu proses, output dan income. Ukuran proses mendefinisikan
features spesifik, nilai-nilai dan atribut dari setiap produk yang dapat diuji
dari dua sisi; (a) karakteristik output yang diinginkan pelanggan; (b)
karakteristik output yang secara aktual diserahkan oleh proses (kapabilitas
proses). Kebutuhan pelanggan sering disebut sebagai suara pelanggan, sedangkan
kapabilitas proses sering disebut suara proses. Sedangkan ukuran outcome
mendefinisikan dampak absolut dari proses dan tergantung pada kepuasan
pelanggan. Dengan demikian kepuasan pelanggan merupakan ukuran kunci dari
outcome.
4.
Memahami mengapa suatu masalah proses terjadi, tidak
adanya data menimbulkan kesulitan untuk memahami mengapa suatu suatu sistem
berjalan seperti itu, sehingga performanya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Masalah adalah deviasi atau penyimpangan yang terjadi antara performa yang
diharapkan (sasaran) dan performa actual (hasil aktual). Contoh pernyataan
masalah, “mesin produksi M tidak pernah mampu berproduksi lebih dari 70% dari
disain kapasitasnya.” Untuk memahami mengapa suatu masalah terjadi dan agar
langkah-langkah ke arah perbaikan proses efektif dan efesien dapat diajukan tiga
pernyataan dasar, yaitu : (1) apa yang menjadi area utama (masalah utama) dalam
proses itu ?; (2) apa yang menjadi akar penyebab dari masalah proses itu?; dan
(3) apa yang merupakan sumber variasi dari proses? untuk menemukan jawaban dari
setiap pertanyaan ini, harus jeli membedakan antara area utama (80% masalah
disebabkan 20% saja-nya Pareto), akar masalah (membedakan gejala, penyebab,
akar penyebab-nya Ishikawa), dan sumber variasi proses (dengan penyebab umum
dan penyebab khusus Deming).
5.
Mengembangkan dan menguji ide-ide; langkah terdahulu
membangun kerangka dasar untuk memahami dimensi kritis dari proses, dengan
jalan mengidentifikasi proses kunci, mengukur bagaimana baik atau jelek proses
itu beroperasi, dan memahami mengapa proses itu beroperasi dengan caranya
sendiri sehingga menimbulkan masalah. Keempat langkah itu membantu untuk
mengidentifikasi penyebab-penyebab dari masalah utama. Ide-ide untuk perbaikan
proses ditujukan langsung pada akar masalah. Agar ide-ide dipilih untuk proses
perbaikan proses efektif, ide-ide itu perlu diuji terlebih dahulu sebelum
diimplementasikan dalam proses. Dengan demikian langkah kelima ini berusaha
untuk mengembangkan dan menguji ide-ide untuk perbaikan proses melalui suatu
eksperimentasi, sebelum ide-ide terpilih itu diimplementasikan.
6.
Implementasi solusi dan evaluasi; langkah ini
dimulai dengan perencanaan dan implementasi perbaikan-perbaikan yang
teridentifikasi dan diuji dalam langkah kelima. Informasi yang diperoleh
kemudian dijadikan umpan balik untuk melaksanakan perbaikan proses selanjutknya
sehingga akan diperoleh suatu perbaikan proses secara terus menerus.
Ad.3. Model Perbaikan Kualitas
Berorientasi Proses
Proses kualitas
merupakan proses sistematik untuk
meningkatkan kualitas dan kinerja operasi / lembaga. Montgomey (dalam Nasution,
2001) pada tahun 1990 mengemukakan suatu model yang disebut sebagai model
perbaikan kualitas proses bisnis, sebagai berikut :
Gambar tersebut memberi
pemahaman bahwa model perbaikan kualitas proses bisnis mengkaji keseluruhan
mata rantai pemasok-pelanggan, sehingga suatu kebutuhan dari pelanggan
merupakan masukan bagi industri untuk diteruskan pada pemasok. Pengukuran ini
diarahkan pada keseluruhan sistem, sehingga apabila ditemukan adanya kecacatan
atau kegagalan, kecacatan atau kegagalan tersebut harus diidentifikasi, untuk
seterusnya dianalisis penyebab kecacatan atau kegagalan yang terjadi pada
proses secara keseluruhan. Hasil temuan berupa akar penyebab kecacatan atau
kegagalan itu selanjutnya harus dihilangkan melalui pengembangan korektif. Pada
akhirnya tindakan pengujian dan evaluasi harus dilakukan untuk menguji dan
mengevaluasi apakah tindakan korektif yang dilakukan itu telah efektif
menghilangkan penyebab kegagalan atau kecacatan yang terjadi pada proses
keseluruhan.
Tawaran yang lain dalam model
perbaikan berorientasi proses dikemukakan oleh Tjiptono (1999) dengan apa yang
disebutknya sebagai pendekatan sistem terbuka, yang menekankan kebutuhan
kualitas pada ketigaa tahapan utama, yaitu : input, proses tranformasi, dan
output. Upaya penyempurnaan kualitas harus difokuskan pada ketiga tahap
tersebut dengan tetap mempertimbangkan tantangan atas perlunya pemenuhan
standar lembaga pendidikan (PT) baik secara nasional maupun internasional.
Karakteristik Mahasiswa
Akademik
Lainnya
Karakteristik Fakultas
Sumber Daya Finansial
Fasilitas
Program
Jasa Pendukung
|
Disain
Input
Program
Metode
Lain-lain
Penyampaian
System Data
Umpan Balik
Analisis
|
Prestasi Mahasiswa
Akademik
Lainnya
Mahasiswa
Lulus/Dropout/Gagal
Pasca Wisuda
Pendidikan Tambahan
Prestasi
|
Penyempurnaan Kualitas Berkesinambungan
dalam PT
C.
Keterlibatan Total
Keterlibatan total sebagai
bagian manajemen kualitas mutu terpadu (TQM) mempunyai tujuan untuk mendapatkan
karyawan dan supplier yang loyal. Dalam kegiatan ini semua elemen lembaga dari
manajer, karyawan dan supplier harus terlibat secara aktif. Maka dalam kajian
ini akan dipaparkan berkenaan dengan (1) Kepemimpinan; (2) Pemberdayaan Karyawan;
dan (3) Supplier.
Ad.1. Kepemimpinan
Kesadaran
akan kualitas dalam organisasi tergantung pada by faktor intangibles, terutama
sikap manajemen puncak terhadap kualitas. Pencapaian tingkat kualitas
bukan merupakan hasil penerapan secara
instan jangka pendek untuk meningkatkan daya saing, melainkan melalui
implementasi TQM yang mensyaratkan kepemimpinan yang kontinyu (Tjiptono, 1999).
Maka pada saat mengimplementasikan TQM, beberapa aktivitas mendasar harus
dituntaskan oleh tim manajemen senior. Manajer senior ini mempunyai tanggung
jawab pokok bagi keberhasilan organisasinya, dan dengan posisi yang mereka
miliki, mempunyai otoritas untuk menentukan arah, membuat kebijakan,
mengalokasikan sumber daya, dan memilih pasar dimana perusahaan tersebut akan berpartisipasi.
(Tennr & De Toro, 1992). Para manajer
senior ini bertanggung jawab terhadap pelanggannya, karyawannya dan utamanya
para pemegang saham guna keberhasilan perusahaannya.
Sejalan dengan ini Puffer dan
Macam Cartey (1996) dalam (Tjiptono, 1999) telah mengembangkan kerangka
kepemimpinan transformasional atau visionary,
perilaku kepemimpinan kualitas total semua manajer, dan pengaruh stake holders
eksternal pada penentuan persyaratan kepemimpinan.
Dari hal demikian, maka dalam
TQM memerlukan keahlian baik di dalam kepemimpinan maupun di dalam manajemen,
yang oleh Warren Bennis dalam menyatakan :
“Pemimpin adalah orang yang mengerjakan
sesuatu hal yang benar; Manajer adalah
orang yang mengerjakan sesuatu hal dengan benar … Orang-orang Amerika
(dan kemungkinan juga orang-orang yang ada di dalam kebanyakan bagian dunia
lainnya) dipimpin dan diatur dengan kurang tepat. mereka tidak memberikan
perhatian yang cukup pada pengerjaan hal-hal yang benar atau tepat, akan tetapi
memberikan terlalu banyak perhatian pada cara pengerjaan sesuatu dengan benar.”
Lebih
lanjut perbedaan antara manajemen dan kepemimpinan diberikan pada gambar
berikut :
Mendapatkan
Meningkatkan
hasil-hasil kualitas sistem
Peningkatan kualitas yang kontinyu di dalam semua produk, pelayanan, dan
proses-proses dipercepat bila seseorang menentang status quo (keajegan) setiap hari. Para
pemimpm dapat mensetting tahapan untuk tantangan ini dengan mengembangkan
jawaban untuk enam pertanyaan mendasar.
1. Mengapa kita ada; Apa tujuan kita? (misi)
2. Kita akan seperti apa di masa mendatang? Kita
ingin menjadi apa? (visi)
3. Apa yang menjadi keyakinan kita, dan apa yang
kita inginkan pada semua orang untuk mematuhinya? (nilai-nilai)
4. Panduan apa yang akan latar belakang pada
orang-orang di dalam organisasi kami mengenai bagaimana mereka seharusnya
memberikan produk dan jasa pada pelanggannya? (kebijakan)
5. Penuntasan apa untuk jangka panjang dan
jangka pendek yang akan memungkinkan bagi kita untuk memenuhi misi kita dan mencapai
visi kita? (tujuan dan sasaran)
6. Bagaimana kita akan bergerak menuju visi kita
dan memungkinkan bagi kita dan sasaran kita? (metodologi)
Jawaban pada tiga pertanyaan
pertama membentuk batas-batas di dalam framework kepemimpinan. Misi mendefinisikan
mengapa organisasi ada. Visi menunjukkan apa yang organisasi ingin buat, dan
nilai-nilai initi menjelaskan bagaimana kita bertindak. Jawaban-jawaban pada
tiga pertanyaan yang terakhir memenuhi syarat-syarat detil dan membangun
batas-batas framework kepemimpman.
Pertanyaan-pertanyaan ini,
kelihatannya sederhana dan jelas, namun adalah sangat komplek dan sulit
dijawab, khususnya pada saat suatu produk dan pelayanan tradisional organisasi
terhantam oleh teknologi baru, dengan kompetitor yang kompeten dan agresif,
atau dengan perubahan-perubahan di dalam pelanggan menjadikan sebuah organisasi
tidak mampu memahami dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggannya, tidak mampu
mengalokasikan sumber dayanya dengan efektif dan efisien, dan tidak mampu
mengelola bakat-bakat dari orang-orangnya.
Dalam konteks TQM pemimpin
perlu memiliki karakteristik pribadi yang mancakup: motivasi untuk memimpin,
kejujuran dan intgritas, kepercayaan diri, inisiatif, kreativitas/oroginalitas,
adaptabilitas/fleksibilitas, kemampuan kognitif, pengetahuan bisnis, dan
kharisma (Tjiptono, 1999). Dan dengan fondasi berbagai karakteristik pribadi
pemimpin perlu menciptakan visi untuk mengarahkan organisasi dan para karyawan.
Karena visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen para karaywan terhadap
kualitas, memfokuskan semua upaya organisasi pada pemuasan kebutuhan pelanggan,
menumbuhkan sense of teamwork dalam
kehidupan kerja, menumbuhkan standard of excellence,
dan menjembatani keadaan lembaga sekarang dan masa mendatang. Visi yang ada
dirumuskan, diartikulasikan, dan dikomunikasikan ke seluruh jajaran organisasi
untuk mempromosikan perubahan, inovasi dan pengambilan keputusan.
Pemimpin efektif kemudian
mengambil berbagai langkah untuk menterjemahkan visi menjadi kegiatan spesifik
yang dapat dicapai dengan dukungan dan bantuan para manajer dan karyawan.
Perolehan dukungan secara berkesinambungan menuntut pemimin menerapkan
kepemimpinan transformasional, melalui : (1) penyampaian inspirasi untuk mengkomunikasikan
ekspektasi tinggi, menfokuskan upaya, dan mengekspresikan tujuan dengan cara
sedrhana; (2) stimulasi intelektual untuk mempromosikan intelegensia,
rasionalitas dan pemecahan masalah secara ilmiah; dan (3) pemberian konsiderasi
yang bersifat individual untuk memberikan perhatina personal dan memberdayakan
karyawan.
Salah satu dari tiga
kekurangan dapat menjadi fatal pada proses untuk membangun sebuah visi : (1)
kegagalan untuk mempunyai visi awal-visi yang penting, menantang dan pada
relaita waktu yang sama; (2) kegagalan mengumpulkan dukungan awal dari semua
orang. Tom Peters mengatakan : “Kembangkan dan hidupkan visi yang dapat
memungkinkan dicapai dan dapat memberdayakan sumber daya yang ada. Pastikan
bahwa visi berada pada satu waktu yang bersamaan (1) cukup spesifik untuk
bertindak sebagai “tie breaker” (misalnya kualitas lebih penting dibandingkan
dengan jumlah) (2) cukup umum untuk meninggalkan ruangan guna pengambilan
inisiatif tegas di dalam perubahan lingkungan saat ini “. Untuk membantu dalam
usaha ini, berikut ini ditampilakan delapan ciri statemen visi efektif:
- Visi yang efektif memberikan inspirasi
- Visi yang efektif jelas dan menantang, mencakup keunggulan
- Visi yang efektif menciptakan kesan dalam suatu pasar dan dengan menekankan fleksibilitas dan toleransi, teruji oleh waktu.
- Visi yang efektif harus stabil tapi secara konstan tertantang-dan berubah dalam kelompok pinggiran
- Visi yang efektif adalah rambu-rambu dan pegnontrol ketika semuanya sudah tersedia,
- Visi yang efektif dimakseudkan untuk memperkuat pertama-tama orang-orang kita, kemudian para pelanggan
- visi yang efektif mempersiapkan masa depan tetapi lebih mendahulukan penghargaan
(Tenner & De Toro, 1992;
Sumber: Adaptasi dari Tom Peters, Thriving
on Chaos New York: Knopf, 1987).
Kepemimpinan transformasional
yang dikembangkan pada tingkat puncak selanjutnya “disebarluaskan” ke seluruh
jajaran manajemen dan karayawan. Hanya melalui difusi ini organisasi dapat
menanamkan nilai TQM yang meresap melewati batas-batas tradisional dengan stake
holder eksternal. Kepemimpinan TQM perlu menyadari bahwa stakeholder eksternal
merupakan elemen intregal organsisasi. Empat komponen perilaku kepemimpinan
yang dapat diterapkan dalam TQM ini mencakup : sharing information, pengembangan hubungan, pemberdayaan karyawan,
dan pengambilan keputusan . (Tjiptono, 1999)
Elemen-elemen Kepemimpinan Lainnya
Dua elemen terakhir di dalam framework kepemimpnan
adalah komitmen dan style. Komitmen berhubungan dengan apa yang dikerjakan oleh
para manajer itu sendiri dan di dalam alokasi sumber daya yang ada. Style
berhubungan dengan bagaimana para manajer melakukan dan mengerjakan hal ini.
Peluang pertama untuk mendemonstrasikan komitmen (atau menyatakan kekuranan
komitmen) seringkali ditemukan di ld realokasi (pengelokasian ulang), sumber
daya dan pendanaan Staff tambahan untuk mengimplemntasikan training yang luas
yang diperlukan untuk memperlengkapi semua karyawan dengan keahliannya dan
pengtehuannya yang diperlukan untuk mengejar TQM. Apakah sumber daya tersebut
akan disediakan ? apakah dana-dana dari akan dibuat tersedia dari pengarahan
ualng dari prg training tradisional ?
Hal penting adalah manjer
senior berkeigninan untuk mendeomnstrasikan komitmen dengan ikut serta di dalam
training yang sama yang orang lain akan lakukan. Apakah manajer senior
menggunakan alat-alat, jargon, proses-proses untuk mengejar peningkatan
(perbaikan) yang kontinyu? Atau apakah mereka semata-mata menginstruksikan pada
bawahan mereka untuk melakukannya?
Apakah para manajer senior berkeinginan
untuk membuat struktur-strukturu menyokong TQM, seperti dewan pengurus dan
steeerign comitte? Dan apakah para manajer berharap dan berkeinginan untuk ikut
serta di dalam struktur-struktur ini? Atau apakah mereka akan mendelegasikan
tanggung jawab ini?
Apakah manajer senior mampu
mendemonstrasikan komitmen jangka panjang untuk mengimplementasikan peningkatan
(perbaikan) yang kontinyu, bahkan pada saat perbaikan mungkin ditinjau pada
saat mempunyai biaya-biaya awal yang tigngi? Komitmen berarti lebih dari
prosedur baru, kebijakan baru, arahan-arahan, surat-surat, dan
perkatan-perkataan baru. Para karyawan mencari
komitmen dari top manajemen dengan mengamti perilaku mereka dan style mereka.
Sedangkan dalam urusan style
manajemen pemimpin dituntut menampilkan bagaimana cara mengerjakan suatu
pekerjaan. Tom Peters memberikan panduan yang jelas di sini:
Pahamilah kekuatan dari aksi yang samar
kita : Di tengah-tengah ketidakpastian, pada saat orang memahami
perkembangan-perkembangan di dalam usaha untuk memahami dunia yang kacau balau
mengenai mereka, signifikasni simbolis mereka bersifat monumental. Orang-orang
di dalam organisasi semuanya merupakan penonton, khususnya pada saat kondisi
eksternal berubah-ubah. Untuk kondisi baik atau buruk , apa yang anda habiskan
waktu anda (bukan apa yang anda nasehatkan ) akan menjadi penmpatan awal pada
organisasi. Penggunaan simbol-simbol yang proaktif, seperti jenis-jenis cerita
yang anda beritahukan pada orang-orang dan orang-orang yang anda undang untuk
pertemuan, mengirimkan sinyal yang kuat pada organisasi mengenai apakah hal
yang penting. Konfirmasi akhir mengenai apakah perhitungan yang sesungguhnya di
sekitar hal ini, siapa yang dipromosikan pengambil resiko dan pertanda dari
yang baru atau dari hal yang lama.
Lalu bagaimana perilaku ideal
didefinisikan ? Dua setting kriteria diberikan untuk membantu mendefinisikan
performan seorang pemimpin TQM. Enam panduan berikut:
- Pemimpin mendasarkan keputusan pada data. Opini-opini adalah menarik, tetapi keputusan-keputusan seharusnya didasarkan pada apa yang anda ketahui bukan yang anda pikirkan.
- pemimpin merupakan sumber daya, pelatih, facilitator bagi individu-individu dengan siapa mereka bekerja. Karyawan yang sedang melihat pada pemimpin mereka untuk pengarahan, keputusans, atau persetujuan tidak memahami peran baru anda. Apakah anda telah menerangkan perbedaannya?
- pemimpin terlibat aktif. Mereka belajar keahlian-keahlian baru bersama dengan karyawannya. Karena kecakapannya, pemimpin kemudian mampu membantu yang lainnya dalam pencapaian penignkatan kualitas yang kontinu.
- pemimpin membangun komitmen. Mereka menjamin bahwa setiap orang mengetahui peran individu masing-masing serta keigninan kuatnya untuk memberi dukungan.
- para pemimpin memberikan inspirasi kepercayaan diri. Mereka menarik yang terbaik dari setiap orang dan mendorong perkembangan setiap pribadi.
- para pemimpin berterima kasih. Mereka melakukan hal tersebut dengan segala bentuk incentif moneter maupun non moneter yang dapat diimajinasikan.
Ad.2. Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karayawan
merupakan usaha dalam rangka perubahan budaya organisasi. Perubahan yang cepat
dalam kehidupan manusia semakin tidak memungkinkan pendekatan budaya
tradisional dalam mengelola lembaga. Karena organisasi semakin dituntut lincah
dalam melakukan pengelolaan kerja yang dilakukannya. Dalam kaitan ini akan
dikaji hal-hal sebagai berikut:
1.
Konsep Pemberdayaan Karyawan
2.
Faktor Penghambat Pemberdayaan Karyawan
3.
Implementasi Pemberdayaan Karyawan
Ad. 1. Konsep Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karyawan
diartikan sebagai pelibatan karyawan yang lebih berarti (signifcant), dimana
pelibatan karyawan sendiri adalah suatu proses untuk mengikutsertakan para
karyawan pada semua tingkatan organisasi dalam pembuatan keputusan dan
pemecahan masalah (Nasution, 2001). Dengan demikian pemberdayaan tidak sekedar
hanya memiliki masukan tetapi juga memperhatikan, memperhatikan,
mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan tersebut.
Pemberdayaan karyawan berbeda
dengan pendelegasian wewenang. Mulyadi (2000) dalam hal ini menyatakan bahwa
pendegasian wewenang adalah pemberian wewenang oleh manajer atas kepada manajer
yang lebih rendah untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan otoritas secara
eksplisit dari para manajer pemberi wewenang pada waktu wewenang tersebut akan
dilaksanakan. Sedangkan pemberdayaan karyawan adalah pemberian wewenang kepada
karyawan untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan tentang
pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi
secara eksplisit dari manajer atasnya. Perbedaan mendasar dari dua istilah tersebut adalah pada
pendelegasian wewenang, seorang karyawan hanya menuggu perintah dengan adanya
otoritas eksplisit, sementara dalam pemberdayaan karyawan, karyawan akan lebih
memubngkinkan untuk aktif, kreatif dalam berinovasi tanpa menunggu pemberian
otoritas secara eksplisit.
Di samping itu, landasan
pendelegasian wewenang dan pemberdayaan karyawan pun berbeda. Dimana dalam
pendelegasian dimungkinkan pada (1) karyawan yang terdiri dari tenaga kerja
yang tidak terampil dan tidak terdidik; (2) informasi manual dan (3) lingkungan
usaha yang stabil. Sedangkan dalam
pemberdayaan karyawan dilandasi kesadaran bahwa (1) manusia adalah aktiva
organisasi yang paling bernilai dan merupakan keunggulan kompetitif yang paling
tinggi, dan (2) gedung dan aktiva tetap lainnya akan mengalami depresiasi nilai
karena pemakaian, sedangkan manusia memiliki kesempatan untuk tumbuh. (Mulyadi,
200). Usahaak berhasil jika dimulai dengan hal-hal sebagai berikut:
- Adanya keinginan manajer dan penyelia, yaitu manajer tingkat bawah untuk memberi tanggung jawab kepada karyawan
- melatih penyelia dan karyawan mengenai bagaimana cara untuk melakukan delegasi dan menerima tanggung jawab
- Komunikasi dan umpan balik perlu diberikan oleh manajer dan penyelia karyawan
- Penghargaan dan pengakuan sebagai hasil dari evaluasi perlu diberikan kepada karyawan sebagai tanda penghargaan terhadap kontribusi mereka kepada perusahaan. (Nasution, 2001).
- Subsidiarity, yaitu badan yang lebih tinggi tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dilakukan dan dilaksanakan badan yang lebih rendah.
- Kesadaran bahwa karyawan pada dasarnya baik ; kegagalan dan kesalahan adalah yang pada dasarnya juga usaha menuju kebaikan.
- Trust-based relationship, artinya harus ada kepercayaan seorang manajer kepada karyawan sehingga hubungan antara manajemen dan karyawan adalah hubungan berbasis kepercayaan (Mulyadi, 2000)
Kehadiran fisik seorang bos
dalam memonitor pekerjaan para karyawan tentu sangat berbeda sekali dengan
seorang bos yang berada di kantor yang modern dan duduk di depan layar
komputer, sebagaimana sekarang. Para manajer
tidak akan mengetahui apakah para karyawan itu sedang berkhayal atau sedang
mencari jawaban atas masalah-masalah organisasi yang sangat penting. Belum lagi
pada saat ini banyak karyawan yang mempunyai latar belakang pendidikan lebih
tinggi dari manajernya. Maka pemberdayaan menjadi suatu keniscayaan bagi
perjalanan organisasi modern seperti saat ini.
Ad.2. Faktor Penghambat Pemberdayaan
Karyawan
Faktor penghambat dari
pemberdayaan karyawan yang utama adalah penolakan terhadap perubahan. Penolakan
tersebut dapat berasal dari karyawan, serikat kerja, dan pihak manajemen. Namun
penolakan terbesar biasanya berasal dari pihak manajemen, sekalipun ketakutan
para karyawan dan serikat kerja juga bisa menjadi hambatan tersendiri dari
konsep ini.
Penolakan pihak manajemen
biasanya karena alasan ketidakamanan, nilai-nilai pribadi, ego, pelatihan
manajemen, karakteristik kepribadian, keterlibatan para manajer, serta struktur
organisasi, dan praktek manajemen.
Memang tidak ada jaminan
bahwa pemberdayaan akan menignkatkan kinerja dan produk dari organisasi. Karena
suatu pemberdayaan tanpa adanya kontrol dan komitmen terhadap prinsip-prinsip
yang ditetapkan akan membawa dampak pada suatu kisaran perubahan, jauh keluar
dari tujuan yang ditetapkan. Padahal prinsip dari suatu perubahan tidak bisa
diulang kembali.
Dimensi pertama dari
pemberdayaan adalah penegasan identitas/jati diri. Semua pekerja perlu untuk
mengetahui misi organisasi, visi kebijakan-kebijakan, tujuan dan metodologi.
Lebih-lebih luasnya arah dari suatu organisasi harus dipertajam sebagai suatu
pesan yang datang untuk didefinisikan pada para karyawan baik itu individu
maupun kelompok. “Pemberdayaan terhadap individu dimana ada level rendah dalam
penegasan akan memperburuk kekacauan dan pengaturan tim akan lebih sulit.
Seorang karyawan tidak hanya
tahu peranan mereka, mereka juga
mengabdi untuk saling memberikan keuntungan terhadap organisasi dan mereka
sendiri. Pengabdian di sini adalah sinonim dari pada komitmen dan komitmen
tidak bisa diperjualbelikan, tapi diperoleh. Organisasi hirarki tradisional
tidak akan mensyaratkan suatu komitmen. Untuk mendapatkan penegasan yang benar
diperlukan syarat-syarat yang bisa menjembatani gap yang halus antara pemenuhan
dan komitmen terletak pada orang yang berkomitmen terhadap arah organisasi
secara benar. Kalaupun pemberian wewenang mensyaratkan komitmen, dengan istilah
lain, para pemimpin perlu untuk melindungi pemenuhan dan bekerja untuk
menggerakkan orang-orang untuk menaiki tangga pemenuhan. Komitmen tidak dapat
dilaksanakan secara bersama, untuk melakukannya yang terbaik adalah membangun
pemenuhan. Semua itu dapat dilakukan untuk menciptakan suatu lingkungan lebih
disukai terhadap tumbuhnya suatu komitmen.
Dimensi kedua adalah
kapabilitas: Para karaywan harus mempunyai
kemampuan, kemahiran dan pengetahuan yang diperlukan dalam pekerjaan mereka.
Juga harus mempunyai sumber daya yang diperlukan organisasi, materi-materi,
metode-metode, meknik-mekanik. Banyak organisasi yang sudah bisa mencapai dimensi ini. Sedangkan dimensi yang ketiga adalah saling
percaya. Jika sudah bsa membangun penegasan dan kapabilitas tali kekuatan,
kreatifitas dan kemampuan memecakan masalah tentang karyawan. Para
karyawan harus percaya pada manajemen dan merasa bahwa manajemen mempercayai mereka. Oleh karena itu saling
percaya akan melengkapi gambaran yang mensyaratkan untuk membangun pemberdayaan
karyawan.
Ad. 3. Implementasi Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karyawan akan
berarti hanya apabila hal tersebut merupakan suatu usaha sistematis yang
dilakukan untuk membantu organisasi guna meningkatkan nilai yang akan diberikan
kepada pelanggan. Kesalahan yang perlu dihindari dalam implementasi pemberdayan
karyawan adalah sebagai berikut :
1.
Memulai kegiatan tanpa adanya strategi sistematis
2.
Memulai kegiatan pemberdayaan tanpa adanya kepemimpinan
yang aktif dari manajemen
3.
Menghitung kegiatan (seperti jumlah pertemuan tim
untuk peningkatan kualitas)
4.
Rencana dan harapan yang tidak realistik
Peranan utama manajemen dalam
pemberdayaan karyawan adalah melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk
menjamin kesuksesan pelaksanaan dan penerapan konsep tersebut secara terus
menerus. Peranan ini dapat diringkas menjadi tiga fungsi, yaitu komitmen,
kepemimpinan dan kemudahan. Ketiga fungsi ini dibutuhkan untuk mengatasi
hambatan dan penolakan terhadap pelaksanaan pemberdayaan atau peruabahan pokok
lainnya dalam budaya perusahaan. Peranan manajer dalam pemberdayaan atau
meliputi; (1) menujukkan sikap yang mendukung ; (2) menjadi model peran; (3_
menjadi pelatih; (4) menjadi fasilitator; (5) mempraktekkan management
bywalking around (MBWA); (6) mengambil
tindakan dengan segera atas rekomendasi; dan (7) menghargai prestasi karyawaan.
Pemberdayaan sebagai suatu konsep yang
berusaha melibatkan dan memberdayakan karyawan secara sungguh-sungguh
memerlukan implementasi yang sistematis. Implementasi pemberdayaan terdiri atas
empat tahap, yaitu (1)menciptakan lingkungan kerja yang mendukung; (2)
Menentukan dan mengatasi faktor penghambat dalam implementasi pemberdayaan; (3)
Menerapkan dan menggunakan sarana pendukung; dan (4) menilai, menyesuaikan, dan
memperbaikinya secara reus menerus.
Untuk memacu inisiatif
karyawan dibutuhkan lingkungan dan kondisi yang kondusif. Agar lingkungan
seperti itu terwujud, maka manajer perlu melakukan hal-hal seperti di bawah ini:
1.
Mempercayai kemampuan karyawan untuk mencapai
keberhasilan
2.
bersifat sabar dan meberikan waktu untuk belajar
3.
meberikan bimbingan dan struktur
4.
mengajarkan keterampilan baru kepada karyawan dalam
langkah kecil dan incremental
5.
mengajukan pertanyaan yang menantang untuk berfikir
dengan cara baru.
6.
membagi informasi dengan karyawan untuk menjalin
hubungan
7.
memberikan umpan balik yang tepat waktu dan dapat
dipahami serta membantu selama proses belajar,
8.
menawarkan cara alternatif untuk melaksanakan tugas
9.
menunjukkan sense of humor dan perhatian terhadap
karyawan
10.
berfokus pada hasil dan menghargai perbaikan
pribadi.
Ada berbagai sarana yang dapat digunakan untuk
mendorong karyawan agar mereka memberi masukan dan menyalurkannya pada para
pengambil keputusan. Diantara sarana tersebut adalah : (1) Brainstorming; (2)
Nominal Group Technique; (3) Gugus Kualitas; (4) kotak saran (5) Management by
walking around; dll. Kemampuan manajer dalam mengelaborasi teknik-teknik yang
ada dalam setiap kebijakab yang dikeluarkannya akan memaksimalkan pemberdayaan
karyawan.
Ad.3. Suplier
Sejalan dengan pimpinan dan
karyawan, para suplier mewakili kelompok ketiga dari masyarakat yang disatukan
ke dalam proses manajemen mutu terpadu. Sejarah hubungan antara konsumen
siplier merupakan salah satu kepentingan pribadi dari negosiasi lawan terhadap
yang lainnya untuk meningkatkan bagian biaya mereka. Tetapi gambaran baru
muncul melalui konsep persangkutan total dari manajemen kualitas total.
Usaha-usah gabungan akan meningkatkan kualitas, mengurangi biaya dan
menigkatkan bagian pemasaran. Sehingga hal ini akan menghasilkan bagian yang
lebih besar untuk dibagi dan negosiasi ukuran biaya menjadi persoalan
keduniawian yang relatif.
Desakan untuk menyatukan para
suplier ke dalam proses manajemen kualitas total meningkatkan banyak perusahaan
untuk melakukan konsep. Jika tidak ada yang lain, kegagalan untuk bekerja sama
mengakibatkan perimaan material perusahaan ditolak oleh para pesaing.
Kepercayaan merupakan suatu Syarat untuk Membangun Kerjasama
Setiap transaksi diakhiri
dengan berjabat tangan. Setiap kelompok yang meninggalkan tradisi telah
memperoleh keuntungan kerja sama yang akan memperkuat kedua organisasi dan
membantu setiap partner untuk melawan para pesaing. Tetapi kesuksesan ini juga
tergantung pada satu hal yang sederhana tetapi merupakan unsur yang penting
yaitu saling percaya.
Berlawanan dengan pendekatan
ini terhadap proses pembelanjaan model khas Barat yang dapat dikategorikan
sebagai bangunan: “Saya mengawasi untuk diriku sendiri; dan saya tahu bahwa
para suplier mengawasi untuk mereka sendiri.”
Dalam permainan ini, kita hanya dapat memperbanyak keuntungan kita
sendiri pada pengeluaran terhadap yang lainnya. Tidak mengherankan jika kita
membutuhkan dua tingkatan birokrat untuk menandatangani perjanjian dalam
rangkap tiga. Dalam pengertian dasar ini kerja sama suplier yang benar dibentuk
dengan hubungan saling percaya untuk keuntungan bersama. Kemudian bagaimana
kita melaksanakan langkah kepercayaan yang dibutuhkan untuk kepercayaan suplier
? Untuk membantu memulai John Carslie (bekerja sama dengan Bob Parker dalam
penulisan Beyond Negotiation), menawarkan definisis kerja yang hebat tentang
kepercayaan dengan (1) Mengambil langkah-langkah kecil; (2) Membentuk
kepercayaan melalui pola sukses; (3) dari pada “melompat melalui jurang,
melalui jembatan”; sistem kualitas super dan proses sertifikat menunjukkan
jembatan ini. Sistem-sistem ini biasanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan
berkualitas untuk memiliki suplier dengan membentuk kerja sama yang saling
menguntungkan.
Perusahaan yang membawa
kemajuan kualitas telah merubah kriteria pembelanjaan mereka untuk memberikan
keterangan yang memuaskan tentang biaya total transaksi dan daftar harga.
Perusahaan yang sama juga mengikuti nilai pembentukan hubungan dalam jangka
panjang dengan para suplier yang merupakan pimpinan dalam bidang tersebut.
Dalam konteks pendidikan
suplier diterjemahkan sebagai orang yang menjadi perantara output pendidikan
kepada masayarakat, yang disebut sebagai “humas”. Tugas suplier ini mencakup (1)
menginformasikan output; (2) memasarkan ouput; (3) memberi pelatihan dan
pendidikan kepada output tentang berbagai teknik yang diperlukan dalam dunia
kerja atau lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam hal ini staf humas dapat
misalnya menyusun daftar lulusan dari lembaga pendidikan tentang latar belakang
pribadinya, prestasi di sekolahnya, termasuk foto dirinya atau dengan membuat
bursa lulusan. Daftar ini kemudian dikirimkan ke pemakai baik perusahaan atau
lembaga pendidikan yang lain. Sehingga lembaga pendidikan akan terus
bertanggung jawab terhadap ouput yang dikeluarkannya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai
akhir tulisan ini dikemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1.
TQM merupakan satu pendekatan manajemen kualitas
yang berorietasi pada kualitas hasil
2.
Berbagai alat dan instrumen dalam TQM dapat dipakai
dalam mendekati manajemen pendidikan, yang diwujudkan dengan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
3.
Sebagai satu pendekatan yang mengarahkan pada
keutuhan, maka keutuhan dari fokus pelanggan, pengembangan proses, dan
pelibatan semua elemen manajemen; manajer, karyawan, dan suplier perlu
diperhatikan dengan terus berorientasi pada kualitas.
B.
Saran/Rekomendasi
1.
Dalam mengadaptasi konsep TQM perlu diperhatikan ciri
khusus dari lembaga pendidikan yang tidak bisa disamakan 100% dengan
perusahaan.
2.
Konsep TQM merupakan harapan cerah bagi perkembangan
konsep manajemen.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, dkk. 2001 Aplikasi Konsep
sistem, sistem thinking, system approach dan system analyisis dalam manajemen
(Total Quality Management) Studi kasus perguruan Tinggi, Makalah program
Studi Teknologi Pendidikan (S3), PPS Universitas Negeri Jakarta, tidak
dipublikasikan.
Dikdasmen, 2001, Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Dikdasmen.
Kotler Adnreasen, 1987 Strategic
Marketing for non profit organization, (terj. dr. Ova Emilia, M.Ed) Strategi
Pemasaran untuk organisasi Nirlaba, Yogyakarta:
UGM Press
Mantja, William, 2000, Manajemen
Peningkatan Mutu Pendidikan; Ilmu Pendidikan, Januari 2000
Mulyadi, Drs. M.Sc, 200 Total Quality
Management; Prinsip Manajemen Kontemporer Untuk Mengarungi Lingkungan Bisnis
Global, Cet. III, Yogyakarta: Aditya Media
Nasution, M.N, Drs. M.Sc, 2001, Manajemen
Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta:
Ghalia Indonesia
Tenner Arthur R. & De Toro Irving J.
1992, Total Quality ManagementThree Steps to Continous Improvement,
Addison-Wesley Publishing Company
Tjiptono, Fandi, 1999 Aplikasi
TQM dalam Manajemen Perguruan Tinggi, Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta : Depdiknas
Tribus, Myron, Total Quality
Management in Education, exergy, inc. Hayward,
CA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar