Selasa, 18 Juni 2013

TOTAL QUALITY MANAJEMENT



Aku Bangga Pernah Kuliah di IAIN Walisongo Semarang
 
TOTAL QUALITY MANAJEMENT
Oleh: Pak Abu Choir
Dosen Kependidikan Islam
 

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Elemen mutu merupakan suatu cara untuk mengorganisasi usaha manusia. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mencapai keseimbangan antara usaha manusia dalam melakukan tugas, dengan kesukacikitaan dengan partisipasinya dalam meningkatkan bagaimana bekerja dengan baik. (Abdoellah, dkk., 2001). Mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. (Dikdasmen, 2001). Lebih luas Goetsch & Davis (1994) dalam (Tjiptono, 1999) menyatakan mutu sebagai kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Diantara menajemen mutu adalah manajemen mutu terpadu atau yang dikenal dengan TQM.
Total Quality Management adalah salah satu pola manajerial yang berusaha merespon perubahan yang serba cepat dan terus menerus dalam kehidupan masyarakat. Konsep manajemen mi menawarkan pendekatan baru dalam mengelola perusahaan, keutuhan dalam manajemen menjadi ciri utama TQM. Dalam TQM tidak dikenal system pemisahan secara kaku antara. think (yang dilakukan pihak manajemen) dan act (yang diemban oleh karyawan. (Tjiptono, 1999).
TQM merupakan proses perkembangan dari konsep kualitas/mutu. Dimana pada awalnya konsep kualitas/mutu adalah dengan menggunakan nama yang diakhiri ing seperti reengineering, rightsizing, restructuring, downsizing, delayering, reinventing, benchmarking dan lain sebagainya. Dalam perkembangan selanjutnya konsep kualitas/mutu kemudian menggunakan akronim tiga huruf, seperti TQM (Total Quality Management), BPR (Business Process Reengineering), ABC/ABM (Activity-Based CostinglActivity-Based Management), EVA (Economic Value Added), JIT (just-In-Time), SCM (Strategic Cost Management), QFD (Quality Function Deployment), lan lain sebagainya. (Tjiptono, 1999)
Nama TQM dikenalkan pertama kali oleh Nancy Warren, seorang behavioral scientist di Universitas States Navy. (Tjiptono, 1999, Abdoellah, dkk., 2001). Sekalipun banyak konsep bermunculan berkenaan dengan kualitas/mutu, namun tidak banyak yang dapat bertahan dan mendapat respon dari masyarakat. Sehingga banyak konsep yang pada awal kemunculannya membuat heboh, tetapi tidak lama kemudian hilang tertelan waktu. Lain dengan TQM konsep ini termasuk diantara sedikit konsep yang banyak menyita perhatian para akademisi dan praktisi dari berbagai belahan duia pada dua decade terakhir. Tulisan. ini hendak mengemukakan tentang TQM dan aplikasinya dalam Pendidikan Islam sebagal satu perwujudan manajemen mutu dalam Pendidikan Islam.

B.   Fokus Kajian
Untuk mengaralikan kajian tentang manajemen mutu dalam pendidikan Islam, maka ditetapkan focus kajian sebagai berikut:
1.    Bagaimana hakekat manajemen mutu terpadu (TQM) ?
2.    Bagaimana aplikasi manajemen mutu terpadu dalam pendidikan Islam?

C.  Tujuan Kajian
Keseluruhan pembahasan dari kajian ini ditujukan untuk :
1.  Mendeskripsikan hakekat manajemen mutu terpadu (TQM)
2.    Mendeskripsikan aplikasi manajemen mutu terpadu dalam pendidikan Islam
           
D.   Sistematika Kajian
Untuk membahas tentang manajemen mutu terpadu dalam pendidikan Islam, ditetapkan sistematika kajian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan; dalam pendahuluan ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Fokus Kajian, Tujuan Kajian, dan Sistematika Kajian
BAB II: Hakekat Manajemen Mutu. Terpadu; dalam bab ini dipaparkan tentang Pengertian Manajemen Mutu Terpadu, Pilar-pilarnya, dan Sejarah Perkembangannya
BAB III : Aplikasi Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan Islam, yang difokuskan pada Fokus pada Pelanggan, Pengembangan Proses, dan Keterlibatan Total.
BAB IV : Penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi tentang kajian dimaksud. Dan pada akhir kajian ini dipaparkan daftar pustaka yang menjadi rujukan dari pembahasan manajemen mutu terpadu tersebut.


BAB II
HAKEKAT MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQM)

A.   Pengertian
Berbicara tentang manajemen mutu tidak bisa meninggalkan bangunan kata dan keduanya, yaitu. manajemen dan mutu. Dalam banyak kajian manajemen diartikan sebagai, (a) proses kerjasama antara dua orang atau lebih dengan mendayagunakan segala sumber daya manusia maupun manusia pencapaian tujuan tertentu, (b) proses kerja dengan dan melalui orang lain dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sekalipun mungkin masih banyak lagi pendapat untuk mengungkap tentang manajemen tetapi setidaknya dua definisi tersebut dapat mewakili dari definisi-definisi manajemen yang lain.
Dua definisi tersebut memberikan pengertian, bahwa dalam manajemen termaktup unsur (1) kerjasama (dua orang atau lebih); (2) memberdayagunakan segala sumber daya (manusia maupun bukan manusia), dan (3) tujuan (yang ditetapkan). Sehingga manajemen bukanlah kerja individual tetapi kerja kolektif dengan berbagai potensi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan Proses demikian, selanjutnya melahirkan kegiatan (1) planning; (2) organizing; (3) actuating; (4) controlling. Pada akhimya inti dari manajemen adalah
1. Tulis apa yang akan dilakukan (planning)
2. Lakukan apa yang ditulis (actuating)
3. Evaluasi apa yang dilakukan (controlling)
Sedangkan yang dimaksud dengan mutu adalah tingkatan yang menunjukkan gradasi kualitas sebuah obyek. Dimana kualitas adalah sudut dalam melihat suatu obyek. Karena dalam melihat satu obyek akan ditemukan dua kontinum (tingkatan), yaitu kontinum mutu dan kontinum jelek jika diilustrasikan akan memunculkan gambar sebagai berikut:
Mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang akan atau yang tersirat. (Dikdasmen, 2001) Lebih luas lagi mutu adalah kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses, dan hubungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Dalam melihat mutu akan ditemukan beberapa aliran/model, yaitu: (1) model /prestasi/NEM; (2) model sistem/proses; dan (3) model kombinasi tujuan  dan proses. (2001) Sehingga untuk melihat satu lembaga pendidikan/sekolah bermutu dapat ditetapkan beberapa indikator sebagai berikut.
1.    Model Tujuan; (a) seberapa jauh mencapai tujuan; (b) prestasi dalam mencapai tujuan, (c) NEM-nya tinggi. Model tujuan ini  mempunyai kelebihan pada kemudahan diukur; karena prestasi yang baik hanya diukur pada sesuatu yang nyata (nilai akhif), sekolah yang baik yang mempunyai nilai NEM tinggi. Namun demikian kelemahan model tujuan sangat jelas yaitu menimbulkan orang untuk mencari jalan pintas mencapai prestasi dengan praktek jual beli-manipulasi nilai dan lain sebagainya dan kurang terperhatikannya perkembangan anak, padahal tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, tentunya ada proses-proses yang dijalani untuk mencapai cita ideal ini.
2.    Model Sistem; (a) bagaimana guru melayani siswa/service sekolah terhadap siswa; (b) prosesnya baik, bukan pada prestasi (ukuran keberhasilan adalah pada proses bukan pada prestasi akhir). Dalam model ini, kelebihan yang dimiliki sekolah adalah lebih mematangkan anak dan manajemen cenderung stabil (tidak terpengaruh kebijakan yang selalu berubah). Sedangkan kelemahan model ini adalah kurang terperhatikannya prestasi akhir anak, sehingga anak akan menjadi matang sesuai tujuan pendidikan, tetapi tidak mempunyai nilai kompetitif di lapangan kerja.
3.    Model kombinasi Prestasi (tujuan) dan Sistem; (a) integrasi antara tujuan dan sistem/proses, (b) sistem bagus tujuan/prestasi bagus, (c) mencapai tujuan asasi pendidikan dan tujuan praktis dan pragmatis masyarakat.
Perkembangam teori mutu dalam. konteks pendididikan akan mencakup (1) input; (2) proses; (3) output; dan (4) outcome pendidikan. (Dikdasmen, 2001)

Ad.l. Input pendidikan
Yang dimaksud dengan input pendidikan adalah segala sesuatu. yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu dalam hal ini adalah sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi (1) sumber daya manusia (SDM) yaitu: (a) kepala sekolah/madrasah; (b) guru, (c) PSB, (d) siswa; (e) karyawan; (f) keamanan; dan (2) sumberdaya selebihnya, yaitu: (a) peralatan; (b) perlengkapan; (c) uang, (d) buku dan lain sebagainya. Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dan lain sebagainya. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik.

Ad.2  Proses pendidikan
Proses pendidikan merupakan berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut "input", sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut "output". Dalam. pendidikan berskala mikro (tingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, uang, kurikulum, peralatan, dll.) dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu "memberdayakan" peserta didik. "Memberdayakar” dalam. hal ini mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh guru, akan tetapi pengetahuan tersebut juga menjadi muatan nurani peserta didik, dilakukan kemudian dalam kehidupan sehari-hari dan yang lebih penting lagi peserta didik mampu belajar cara belajar (mampu mengembangkan diri).

Ad.3. Output pendidikan
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/pendidikan sekolah. Kinerja Sekolah dapat diukur dari aktivitasnya, efektifitasnya, efesiensinya, inovasinya, kualitas kelulusannya, dan moral kerjanya, dan moral kerjanya. Output dapat dikatakan bermutu jika prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa SMU dapat pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa nilai umum, EBTA, EBTANAS, karya ilmiah, lomba-lomba akademik, (2) prestasi non-akademik, seperti, kejujuran, kesopanan, olahraga, ketrampilan, komputer dan kegiatan-kegiatan lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyaknya tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses), seperti: perencanaan, pelaksanaan/actuating, dan pengawasan.

Ad.3. Outcome pendidikan
Outcome pendidikan adalah dampak setelah siswa lulus dalam jalur konsentrasi yang diikuti, seperti: 818 siswa lulusan SMK mesin kemudian bekerja di Bengkel, IAIN/STAIN Tarbiyah menjadi guru Agama, dan lain-lain.
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa TQM adalah pola manajemen yang menawarkan pendekatan baru dalam mengelola perusahaan. Keutuhan dalam manajemen menjadi ciri utama TQM. Dimana TQM tidak memisahkan secara kaku antara think (yang dilakukan pihak manajemen) dan act (yang diemban oleh karyawan). Karena inti total mengandung makna every process, every job, and person. (Lewis & Smith, 1994) Sehingga dalam hal ini TQM didefinisikan sebagai suatu cara meningkatkan performance secara terus menerus pada setiap tingkatan operasi atau proses dalam setiap area fungsional dari suatu orgartisasi dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia. (Abdoellah, dkk.,2001)

Pengertian TQM dapat dibedakan menjadi dua aspek, aspek pertama menguraikan tentang TQM itu sendiri yaitu sebagai suatu pendekatan dalam memanajemen usaha/bisnis yang berupa memaksimalkan daya saing melalui terus menerus atas produk, jasa, manusia, dan kepentingan organisasi. Sedang aspek kedua menyangkut kajian tentang cara mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh karakteristik TQM yang terdiri dari (1) berfokus pada pelanggan (Internal dan eksternal), (2) berobsesi tinggi pada kualitas, (3) menggunakan pendekatan fi~, (4) membidik komitmen jangka panjang; (5)      kekeutuhan tim; (6) menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan; (7) pendidikan dan pelatihan. (8) menerapkan kebebasan yang terkendali; (9) menuju kesatuan tujuan; dan (10) melibatkan dan pemberdayaan karyawan. (Abdoellah, dkk, 2001, Tjiptono, 1999). Sedangkan menurut Tenner & De Toro (1992) menyangkut aspek yang kedua (cara mencapai TQM dimasukkan pada 3 (tiga) aspek kegiatan, yaitu: (1) customer focus (focus pada pelanggan internal-ekternal); (2) proses improvement (perbaikan proses); dan (3) total involvement (keterlibatan total).
Dengan demikian dalam memahami TQM dua kajian tersebut di atas, perlu mendapat perhatian utuh, sehingga TQM mempunyai dayaguna, dalam mencapai mutu.

B. Pilar-pilar Manajemen Mutu Terpadu (TQM)
Berbagai prinsip TQM telah berhasil diterapkan oleh Bill Creech, seorang mantan jenderal berbintang empat, pada United States Air Force semasa Perang Teluk, yang dikenal dengan "Lima Pilar TQM yang terdiri atas produk, proses, organisasi, pemimpin, dan komitmen. (gambar 1). 




 
 Gambar 1 : Pilar TQM
Produk merupakan titik pusat bagi tujuan dan prestasi organisasi, dan kualitas/mutu di produk tidak mungkin ada tanpa kualitas/mutu proses. Begitu juga kualitas dalam proses tidak mungkin ada tanpa organisasi yang tepat. Sedangkan organisasi menentukan kesehatan dan validitas lemahnya sistem manajemen, kerena itu ditempatkan persis di tengah pilar TQM.  Meskipun demikian organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa yang memimpin. Komittmen yang kuat, dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi pilar-pilar yang lain. Setiap, pilar tergantung pada empat pilar yang lain, dan bila ada salah satu yang lemah, maka semuanya menjadi lemah. (Tjiptono, 1999, Abdoellah, 2001).
Selanjutnya, lebih jauh Cxeech juga menegaskan, bahwa agar program TQM dapat mencapai sukses dalam implementasi, ada empat kriteria yang harus diperhatikan. Pertama pogram tersebut harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi pada kualitas, dalam aktivitasnya, termasuk dalam setiap proses dan produk. Kedua program tersebut harus memenuhi sifat yang kuat untuk menterjemahkan kualitas pada para karyawan diperhatikan dan  dikutsertakan dan diberi inspirasi. Ketiga program TQM harus didasarkan pada pendekatan dsentralisasi yang memberi wewenang disemua tingkat terutama di garis depan, sehingga antusias keterlibatan dan tujuan bersama menjadi kenyataan, dan bukan slogan kosong. Keempat TQM harus ditetapkan secara menyeluruh, sehingga semua prinsip, kebijakan, dan kebijakan mencapai setiap sudut dan celah organisasi. ( Tjiptono, 1999, Abdoellah, 2001)

C . Sejarah Perkembangan Manajemen Mutu Terpadu
Nasution (2001) menyatakan bahwa evolusi gerakan total quality dimulai dan studi waktu dan gerak oleh Bapak manajemen ilmiah, Frederick Wiston Taylor, pada dekade 1920-an. Selanjutnya evolusi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:



Tahun
Kejadian Bersejarah
1911
Frederick W. Taylor mempublikasikan bukunya The Principle of Scienfitic Management  yang melahirkan berbagai teknik, seperti studi waktu dan gerak
1931
Walter A. Shewhart dari Bell Laboratories memperkenalkan Statistical Quality Qontrol of Quality of Manufactured Product
1940
W. Edwards Deming membantu U.S. Beureau of Census dalam menerapkan teknik-teknik sampling statistik
1941
W. Edwards Deming mengajarkan teknik-teknik pengendalian kualitas di U.S. War Departement
1950
W. Edward Deming mengajarkan mata kuliah mengenai kualitas kepada para ilmuwan, insinyur, dan eksekutif perusahaan Jepang
1951
Joseph M. Juran mempublikasikan bukunya yang berjudul Quality Control Handbook
1961
Martin Company (kemudian bernama Martin-Merieta) membangun rudal pershing yang memiliki tingkat kerusakan nol
1970
Philip Crosby memperkenalkan prinsip Zero Defects
1979
Philip Crosby mempublikasikan bukunya yang berjudul Quality is Free
1980
Sairan Dokumentasi TV If Japan Can … Why Can’t We? Memberi pengakuan kepada W. Edwards Demings di USA
1981
Ford Motor Company mengundang W. Edwards Demings untuk berbicara di depan eksekutif puncak, mempelo[ori hubungan produktif  antara produsen mobil dan pakar kualitas
1982
W. Edward Demings menerbitkan buku berjudul Quality, Productivity, and Competitive Position
1984
Philip Bing Crosby menerbitkan buku berjudul Quality Without Thears : The Art of Hassle Free Management
1987
Konggres Amerika Serikat menetapkan Malcolm Balridge National Wuality Award
1988
Secretary of Defense Frank Carlucci memerintahkan U.S. Departement of Defense untuk mengadopsi total quality
1989
Florida and Light berhasil menjadi perusahaan non Jepang pertama yang berhasil memenangkan Deming Prize
1993
Total Quality Approach diajarkan di universitas-universitas di Amerika Serikat.
Kejadian Penting dalam gerakan Kualitas di AS (Nasution, 2001)
BAB III
MANAJEMEN MUTU TERPADU
DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Pada awalnya TQM merupakan suatu pendekatan yang dipakai pada perusahaan bisnis dalam rangka meningkatakan produk serta efektifitas kerja manejemennya. Ketika temyata, TQM telah membawa sukses perusahaan, seperti Xerox, IBM, Motorola, Toyota, dll, menjadikan muncul pertanyaan mengapa tidak di bidang pendidikan ?". Dalam, dunia pendidikan TQM masih relatif baru, sehingga belum banyak yang menagdaptasinya dalam manajemen pendidikan. Bahkan sementara kalangan yang meragukan efektifitas TQM dalam pendidikan dengan alasan bahwa merupakan konsep yang sulit dievaluasi dalam pendidikan. (Taylor & Hill (1993),  Mc. Culoch (1993) dalam. Tjiptono (1999)).
Sedangkan sementara kalangan yang lain menganggap TQM sebagai harapan cerah bagi dunia pendidikan setidaknya dalam. empat bidang dinyatakan Sarwono dan Sudarsono (1997), yaitu: (a) Administrasi dan operasi lembaga pendidikan secara luas untuk mengelola lembaga pendidikan (b) kurikulum (berwawasan konsumen intemal dan eksternal), (c) Metode pengajaran di kelas, dan (d) mengelola aktivitas riset lembaga pendidikan. (Tjiptono, 1999). Namun demikian dalam, usaha meingimplementasikan TQM dalam bidang pendidikan perlu disadari beberapa perbedaan mendasar, yaltu: (a) sekolah bukan Industri, (b) siswa bukan produk pendidikan (c) hasil pendidikan identik dengan produk suatu industri (d) pengguna jasa pendidikan (pelanggan) dapat berwujud siswa, orangtua, pengusaha, dan masyarakat; (e) siswa membutuhkan pendamping dalam proses pendidikannya, dan (f) siswa tidak mempunyai peluang untuk terus mengulang. (Tribus, tt).
Selanjutnya dalam mengkaji implementasi TQM dalam, pendidikan Islam akan dikaji urut berdasarkan 3 (tiga) cara mengimplementasikan TQM menurut Tenner & De Toro (1995), yaitu (1) costumer focus (fokus pada pelanggan internal ekternal); (2) proses improvement (perbaikan proses); dan (3) total involvement (keterlibatan total) yang termasuk dalam aspek kajian kedua dalam TQM.
A.     Fokus Pada Pelanggan
Termasuk dalam faktor penting dari TQM adalah fokus pada pelanggan. Kunci untuk mendapat keuntungan kompetitif jangka panjang adalah memenuhi harapan pelanggan secara  terus-menerus. Oleh sebab itu suatu lembaga perlu melihat kebutuhan dan harapan dari pelanggannya. Kegiatan yang penting dalam rangka untuk mencapai keuntungan ini adalah : (1) identifikasi pelanggan (siapa pelanggan lembaga pendidikan Islam ? (2) identifikasi kebutuhan pelanggan (apa yang mereka harapkan?), dan (3) identifikasi kegiatan pemenuhan kebutuhan pelanggan (bagaimana sebaiknya anda dan pesaing anda) memperlakukan titik pandang pelanggan anda ?.
1.          Identifikasi Pelanggan (siapakah pelanggan itu ?)
Identifikasi pelanggan bukanlah hal yang mudah, sekalipun banyak orang yang berasumsi bahwa identifikasi pelanggan tergolong mudah. Karena dari kegiatan ini akan diformulasikan suatu sikap dan kebijakan. Salah dalam mengidentifikasi pelanggan, berarti “bencana”. Karena sikap dan kebijakan yang diambil akan salah sasaran.
Dalam kaitan ini Tenner dan Detoro (1992) memberikan satu ilustrasi sebagai berikut :
“Kita semua mengasumsikan bahwa kita dapat dengan mudah mengidentifikasi para pelanggan kita. “Kita  menjual dan melayani Blue Chip Corporation,”atau kita bangga bahwa “Lack Luster, Inc. adalah salah satu pelanggan terbesar terbesar dan terbaik kita.” Tetapi bahwa identifikasi sederhana pelanggan tidak berguna, sejak sejak Blue Chip Corp. memiliki seratus ribu karyawan, dan Lack Laster, Inc. menjadi perusahaan internasional dengan lokasi di seluruh dunia. Kita perlu tahu secara langsung siapa yang di dalam Blue Chip Corp. dan siapa yang di dalam Lack Laster, Inc. adalah pelanggan dan untuk apa.”

Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mengidentifikasi pelanggan tidak cukup sekedar mengetahui secara global nama perusahaan atau lembaga yang dilayani. Tetapi lebih dari itu perlu juga diketahui secara detail siapa yang terkena langsung pelayanan itu sendiri. Karena suatu lembaga perlu mengetahui ukuran tingkat pelayanan yang diberikan, kegiatan perbaikan pelayanan di masa depan, dan itu tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang benar-benar merasakan secara langsung pelayanan itu sendiri. Dan orang yang demikian adalah pelanggan.
Tenner dan Detoro (1992) menyatakan “pelanggan sebagai orang yang padanya anda meloloskan output anda.” Sejalan dengan ini Mantja (2000) mtk bahwa pelanggan adalah seseorang atau kelompok yang menerima produk atau jasa layanan. Pelanggan tidak (mesti) berada secara eksternal terhadap organisasi tetapi berada pada setiap tahapan yang mempersyaratkan penyempurnaan ini hasil sebuah produk atau pemberian layanan. Dalam pada ini setiap organisasi perlu bertanya atau mendengar pada klien atau pelanggan yang tept, sehingga akan memberikan umpan balik untuk menjamin layanan yang diberikan memang tepat. (Mantja, 2000).
Dari hal demikian, identifikasi pelanggan juga mengarah pada pembagian pelanggan. Ada pelanggan internal, yaitu mereka yang bekerja untuk lembaga (sekolah/madrasah) dan ada pula pelanggan eksternal, yaitu mereka yang memiliki tuntutan atau kepentingan layanan dari lembaga (sekolah/madrasah). (Mantja, 2000). Lain daripada itu Nasution (2001) membagi kategori pelanggan ini pada tiga bagian, yaitu : (1) pelanggan internal, yakni orang yang berada dalam perusahaan/lembaga dan memiliki pengaruh performa pekerjaan (perusahaan/lembaga); (2) pelangga antara, yakni orang yang bertindak sebagai perantara, bukan pemakai akhir produk, dan (3) pelanggan eksternal, yaitu pemakai akhir produk, sering dsebut sebagai pelanggan nyata. Gagasan lebih lengkap diungkapkan Lewis & Smith (1994), keduanya mengajukan kerangka identifikasi pelanggan pada tiga perspektif, yaitu pelanggan internal (akademik dan administrativ), pelanggan eksternal tidak langsung, pelanggan eksternal tidak langsung. (Tjiptono, 1999). Pelanggan intern al akademik meliputi siswa/murid, staf pengajar, program dan departemen/unit-unit yang mempengaruhi program tertentu (kurikulum, kesiswaan, humas dan keuangan). Pelanggan internal administrasi meliputi mahasiswa, karyawan dan unit, departemen atau bagian yang mempengaruhi suatu pelayanan atas aktivitas (ITU, service cleaning, dll). Pelanggan eksternal langsung terdiri atas employers para siswa/murid dan sekolah atau lembaga lain yang menjadi penerima siswa/murid untuk studi lanjut atau jasa yang lain. Sedangkan pelanggan eksternal tidak langsung meliputi legislatur bodies, masyarakat yang dilayani, BAN, alumni, keputusan dan operasi lembaga pendidikan.
Pelanggan
Kebutuhan
Pelanggan Internal – Akademik
Siswa



Staf Pengajar



Program/unit (kurikulum, kesiswaan, keuangan)

Pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan untuk mencapai kebutuhan pribadi dan tujuan professional; kegembiraan dalam belajar.

Perkembangan pribadi, ‘rasa aman’, kegembiraan dalam bekerja, informasi dan ikut berkesinambungan.

Penyempurnaan berkesinambungan, pertukaran informasi (input/output), kerjasama dan kolaborasi.

Pelanggan Internal –Administratif
Siswa

Karyawan


Unit/departemen, bagian (TU, Perpustakaan, Service Cleaning, dll)


Pelayanan tersedia saat dibutuhkan, pertanyaan terjawab saat diajukan
Perkembangan pribadi, ‘rasa aman’, kegembiraan dalam bekerja, informasi dan ikut berkesinambungan.
Penyempurnaan berkesinambungan, pertukaran informasi (input/output), kerjasama dan kolaborasi
Pelanggan Eksternal – langsung
Employers

Lembaga pendidikan lain

Karyawan yang kompeten, kinerja produktif

Siswa/murid yang mempunyai kemampuan mengikuti studi lanjut
Pelanggan Eksternal – tidak langsung

Masyarakat




BAN (Badan Akreditasi Nasional)
Alumni

Donatur



Terpilih atau diangkat kembali, pemenuhan persyaratan, memberikan kontribusi.
Angkatan kerja, pemimpin dan pengikut yang kompeten, sukarelawan, warga masyarakat, warga negara yang aktif secara politis.
Pemenuhan kriteria dan standar yang ditetapkan.
Kebanggan karena pernah menuntut ilmu di lembaga, melanjutkan studi
Kesadaran akan klas dan kebutuhan lembaga pendidikan, pemberian donasi yang tepat.
Adaptasi; Lewis & Smith dalam (Tjiptono, 1999)
Konsep pelanggan internal  sangat penting karena ia secara dramatis membuat sebuah kasus bahwa suatu organisasi / dalam hal ini lembaga tidak dapat secara berhasil memenuhi kebutuhan para pelanggan eksternalnya (Tenner & De Toro, 1992). Di dalam bekerja dengan klien/pelanggan besar,. Interaksi antara pelanggan eksternal dan internal adalah sangat komplek. Karena itu hal yang perlu dipahami adalah identifikasi output-produk atau jasa yang dihasilkan oleh seseorang. Selanjutnya, pertanyaan yang muncul, “Siapa orang itu, kepada siapa saya akan meloloskan output ini?” Jika identifikasi tentang kepada siapa saya akan meloloskan output ini?” berhasil, maka akan diperoleh daftar kebutuhan, harapan, dan syarat yang harus dipenuhi sebagai suplier. Sehingga identifikasi outpu yang dapat ditemukan secara benar pada daftar di bawah ini : (Tenner & De Toro, 1992)
a.           Apakah yang bukan termasuk output ?
·      Hal yang anda supervisi atau setujui  tetapi yang sebenarnya dihasilkan oleh orang lain. Misalnya : anggaran yang dibuat oleh staff tetapi disetujui manajer senior (Kepala / Rektor dll), maka anggaran tersebut adalah output staff finansoal, sedangkan manajer senior merupakan cosuplier.
·      Tujuan atau outcomes (hasil) untuk lembaga, misalnya keuntungan, kepuasan pelanggan, penghasilan, dan peningkatan andil pasar. Begitu juga moral, hasil-hasil ini adalah hasil sejumlah output yang dihasilkan oleh sejumlah karyawan yang biasanya jauh di luar kapabilitas individu tunggal untuk menarik atau mempengaruhi.
·      Langkah-langkah dalam proses kerja, menjabarkan rencana kerja atau jadwal adalah langkah yang individu mengambil bagian sebagai upaya untuk menyelesaikan suatu proyek tetapi bukan “outpur” yang diloloskan kepada orang lain.
·      Seluruh fungsi yang dijelaskan oleh job kerja ondividual atau tanggung jawab. Manajer bagian pelayanan komputer, dalam semua kemungkinannya tidak secara aktual memperbaiki komputer, sekalipun ia tentu saja bertanggung jawab untuk setiap saat, perbaikan akurat komputer yang mengalami kesalahan fungsi. Kemudian, manajer menjabarkan rencana penstafan, meramalkan, perencanaan pelatihan, anggaran dan sejumlah output lain yang diloloskan kepada lainnya. Para karyawan dalam departemen ini secara aktual melakukan pelayanan perbaikan karena mereka mengunjungi situs pelanggan, mendiagnosa masalah-masalah dan mempengaruhi perbaikan.
b.           Apakah Output itu ?
Prediksi atau pelayanan yang dihasilkan, sebagai bagian dari proses kerja, dan yang diloloskan kepada orang lain, siapa, pada gilirannya, menggunakan mereka dalam proses kerja mereka.
c.           Tetapi, sebenarnya siapakah pelanggan itu ?
Pelanggan sebagai orang yang padanya output diloloskan. Tetapi perlu dipahami ada pelanggan (internal) yang ada di dalam lembaga dan ada pelanggan (eksternal) yang ada  di luar lembaga.
d.           Apa yang sesungguhnya diinginkan pelanggan ?
Identifikasi pelanggan pada output yang dihasilkan, harus menentukan apa yang diharapkan pelanggan, apa yang diperlukan, dan apa yang dibutuhkan dari lembaga, sebagai supplier. Perlu diketahui bahwa konsep kualitas perlu dijelaskan kepada pelanggan dan pemenuhan kebutuhan pelanggan dan harapan mereka adalah tujuan strategis dari manajemen mutu terpadu (TQM).
Pemahaman kebutuhan pelanggan akan menjadi satu jembatan layanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Sebagai satu interface  berikut ditampilkan tabel pelayanan siswa Sekolah Menengah Atas  Mt.Adgcumbe:

  
Pelanggan
Penyalur
Layanan
Siswa
Guru
Manajemen sistem
Rancangan Kurikulum
Konsultasi
Kepemimpinan
Materi dan peralatan

Tenaga Administrasi
Pengembangan system dan Analisis materi dan peralatan
Pelanggan
Penyalur
Layanan
Guru                                   
Dewan Sekolah
Pengambilan kebijakan

Tenaga Administrasi
Bahan ajar dan peralatan
Orang tua
Sistem sekolah
Pengetahuan, kebijaksanaan, mengetahui bagaimana karakteristik anak-anak mereka
Industri
Sistem sekolah
Pengetahuan, bijaksana, mengetahui karakter setiap lulusan
e.           Kepuasan pelanggan
Tujuan implementasi pendekatann adalah menentukan output, identifikasi lapangan, identifikasi syarat-syarat untuk memperkuat kemampuan supplier untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan, dan tentunya meningkatkan kepuasan pelanggan.

2.          Memahami Pelanggan
Pada dasarnya setiap pelanggan menginginkan harapan mereka dapat dicapai dengan sempurna dan konsisten. Setiap pelanggan cenderung merasakan kualitas pelayanan dengan membandingkan layanan yang benar-benar telah dirasakan dalam harapan mereka sebelum mereka membeli barang. Layanan tersebut dipandang tidak memuasakan ketika harapan mereka tidak terpenuhi dan lebih memuasakan ketika harapan-harapan tersebut melebihi apa yang mereka inginkan. (Tenner & De Toro, 1992)
Suatu organisasi yang suskses mampu untuk mendiagnosa berbagai harapan pelanggan dan mampu memuaskan mereka pada setiap saat. Organisasi kelas dunia mempunyai kemampuan luar  baisa dalam memahami tuntutan yang harus dipenuhi bukan tersembunyi. Harapan mereka dapat diidentifikasi  melalui pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
  1.  Produk atau pelayanan macam apa yang diharapkan para pelanggan
  2. Tingkat kualitas yang bagaimana yang dibutuhkan untuk memuaskan harapan mereka ?
  3. Apa sebenarnya pentinya dari setiap ciri pelayanan atau produk tersebut?
  4. Bagaimana para pelanggan puas dengan kualitas pada suatu tingkatan saat ini? (Tenner & De Toro, 1992)
Setiap pelanggan selalu menginginkan mendapatkan produk dan pelayanan yang berkualitas, yang dipahami dengan perasaan bahawa mereka telah melakuikan tukar menukar secara fair dan menerima nilai. Dalam kaitan ini ada lima kriteria produk atau layanan yang diinginkan oleh pelanggan yaitu : (1)  lebih cepat, lebih baik, lebih murah; (2) delapan dimensi kualitas; (3) sepuluh determinan kualitas pelayanan; (4) lima kriteria “rater”; dan Compedium sifat barang yang berkualias. (Tenner & De Toro, 1992)
Ad. 1 Lebih cepat, lebih baik, lebih murah
Harapan ini dapat dilihat sebagai upaya pelanggan untuk mendapatkan sesuatu yang cepat, lebih baik dan lebih murah dari yang tersedia di tempat lain. Dari hal demikian, melahirkan tiga dimensi yang dilakukan pada pasar bebas yaitu (1)  waktu, yang menunjukkan bagaimana suatu produk dan pelayanan dapat dilakukan dengan cepat, mudah  dan nyaman; (2) biaya, yang menunjukkan seberapa mahal harga suatu produk; dan (3) kualitas, sebagai dimensi yang paling sulit didefinisikan. (Tenner & De Toro, 1992)
Ada ukuran dalam melihat dimensi kualitas, yaitu a)  kualitas produk, yang terdiri dari atribut nyata yang dmlk pelanggan; dan b) kualitas pelayanan, yang mencakup ciri khas yang diobservasi dan dialami oleh pelanggan saat transaksi.
Ad.2. Delapan dimensi kualitas
Delapan dimensi kualitas ditemukan Garvin sebagai usaha untuk menganalisis karakteristik  kualitas. Delapan dimensi tersebut adalah :
  1. Performance, yaitu karakteristik pengoperasian primer dari suatu produk. Seperti contoh : performance dari automobile adalah akselerasi (percepatan), handling, kecepatan jelajah dan kenyamanan.
  2. Feature, yaitu aspek performance sekunder. Dalam kaitan ini fetures dalam automobile adalah  “bel”
  3.  Reliability (keandalan), yakni peluang untuk melakukan fungsi khusus pada periode waktu tertentu.
  4. Conformance (kesesuaian), yakni tingkat dimana perancanngan produk dan karakteristik operasi memenuhi standar yang dibuat.
  5. Durability (daya tahan, masa pakai), yaitu ukuran jangka waktu penggunaan produk.
  6.  Serviceability (daya / tingkat servis), yaitu kecepatan, kesopan-santunan, kompetensi dan kemudahan di dalam perbaikan.
  7. Aesthetics (Estetika), yakni bagaimana suatu produk terlihat, terasa, terdengar atau tercium.
  8.  Perceived quality (kualitas yang dipersepikan) yakni reputasi. (Temmer & DeToro, 1992).
Ad. 3. Sepuluh penentu kualitas servis / jasa pelayanan
Identifikasi Berry dan koleganya dalam penelitian ini di awal tahun 1980-an tentang kualitas jasa adalah sebagai berikut :
  1.   Reliability (daya handal), yaitu konsistensi performance dan tingkat ketergantungannya melaksanakan hak servis dengan benar pada kali pertama, menetapi janji-janji dan akurasi.
  2. Security (keamanan); bebas dari bahaya, resiko, atau was-was, keamanan keamanan. finansial, keyakinan
  3.  Competence (kompeten), yakni kepemilikan katrampilan dan pengetahuan  yang diperlukan untuk melakukan servis tersebut.
  4.   Acces (akses), yaitu daya pendekatan dan kemudahan dalam akses, waktu menunggu, dan jam-jam operasi.
  5.  Courtesy (kesopan-santunan) yaitu kejujuran, penghormatan, pertimbangan dan keramahan di dalam kontrak person.
  6.   Communication (komunikasi), menjaga atau memberikan informasi pada pelanggan dalam bahasa yang merka pahami; mendengarkan pelanggan, menyesuaikan bahasa dengan kebtuuhan yang berbeda-beda dari berbagai macam pelanggan; menjelaskan jasa itu sendiri, berapa banyak biaya  yang diperlukan, dan bagaimana problem akan ditangani.
  7. Credibility (kredibilitas), kepercayaan, keyakinan, kejujuran, reputasi perusahaan, karakteristik personal.
  8.  Security (keamanan), bebas dari bahaya resiko, atau was-was, keamanan fisik, keamanan finansial, keyakinan.
  9. Understending the customer (memahami pelanggan); melakukan usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan; membelajari kebutuhan-kebutuhan khusus dari pelanggan; memberikan perhatian secara individual memperhatikan pelanggan dengan teratur.
  10. Tangibles (nyata); bukti fisik atau yang tampak dari servis, fasilitas–fasilitas penampakan personel, alat-alat atau peralatan yang digunakan untuk membenkan servis, represerttasi fisik dan servis, sepert, kartu kredit atau laporan keuangan pelanggan lain dalam fasilitas jasa (Tenner & DeToro, 1992).
                       
Ad. 4. Lima kreteria "Rater"
Rater adalah merupakan akronim dari Reliability, Assurance, Tangibles, dan Responsiveness yang ditemukan Berry sebagai kelanjutan hasil penelitian jasa di atas. Hal mana beberapa organisasi merasa sepuluh kualitas membingunkan dan saling tumpang tindih. "Rater" lebih  karena lebih sederhana. Rater tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Reliability (daya handal); kemampuan untuk melakukan servis yang dan secara akurat dan sesuai kebutuhan
  2.  Assurance (asuransi); pengetahuan dan kesopansantuan dari karyawan dan kemampuan mereka untuk menginspirasikan kepercayaan dan keyakinan
  3.  Tangibles (nyata); fasilitas fisik, peralatan dan penampakan secara personal.
  4. Empathy (empati); perawatan, perhatian secara pribadi yang perusahaan  berikan kepada para pelanggannya, dan
  5.  Responsiveness (daya tanggap); kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan servis yang tepat.
 (Tenner & DeToro, 1992)
Ad. 5. Ringkasan dari karakteristik kualitas
Setting ini memberikan klasifikasi ulang pada kualitas ke dalam dua komponen; deliverable (dapat diantar), yaitu atribut-atribut yang diberikan kepada pelanggan; interaksi, yaitu bagaimana perilaku dan style (pola) memberikan dampak pada pelanggan saat mereka melalui proses-proses servis. (Tenner & DeToro, 1992)
Dalam kaitan ini Pondok Modern Al Rifa’ie mengolaborasikannya dalam perencanaannya sebagai berikut :
  1.  Keandalan, yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segar, akurat dan memuaskan.
  2. Daya tanggap, yaitu keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para santri dan santriwati dan memberikan pelayanan dengan tanggal.
  3.  Kompetensi, yaitu pengetahuan dan ketrampilan serta penugasaan para staf dan karyawan terhadap pelayanan dan jasa yang diberikan
  4. Akses, kemudahan yang didapat pelanggan atau santri dan saintriwati untuk menghubungi pondok baik untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengajaran maupun mengeluhkan hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan.
  5.   Kesopanan yaitu setiap sopan, respek, ramah dan penuh pertimbangan dalam melayani setiap orang serta santri dan santriwati sebelum, saat dan setelah masa pendidikan.
  6. Komunikasi yaitu memberikan informasi akurat dalam bahasa yang dipahami oleh setiap orang atau santri dan santriwati yang berbeda-beda.
  7. Kredibilitas, mencakup kepercayaan dan kejujuran yang diharapkan melekat dalam hati santri dan santriwati.
  8. Keamanan, yaitu memberikan konsumen atau santri dan santriwati bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan.
  9.  Pengertian, yakni mengupayakan staf dan karyawan memahami kebutuhan konsumen atau santri dan santriwati.
  10. Bukti langsung yaitu fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
  11. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dengan tulus.
Dengan menetapkan prinsip-prinsip kualitas sebagai berikut:
1.              Berfokus pada kepuasan santri dan santriwati
2.              Mempraktekkan filosofi  “kualitas yang utama"
3.              Implementasi manajemen kualitas berorientasi proses
4.              Sadar akan setiap masalah yang timbul dan memperoleh solusi secepatnya
5.              Implementasi siklus Plan Do Study Act dalam perbaikan kualitas terus menerus.
6.              Standarisasi operasional.
7.              Membangun kualitas dalam proses.
8.              Menerapkan pengukuran dengan filosofi “berbicara berdasarkan data”
9.              Mengembangkan kemitraan internal dan eksternal.
Mengukur kepuasan pelanggan internal dan ekternal memang tidak mudah. Hal mana seringnya terjadi kekaburan mereka dalam menuturkan indikator yang mereka inginkan. Namun ada beberapa pendekatan untuk  menjelaskan permintaan dan mengukur kepuasan para pelanggan eksternal untuk digunakan dalam mengembangkan dan mempromosikan suatu produk/program baru. Tetapi, pemrosesan sistematis relatif jarang digunakan untuk memahami pelanggan internal.
Ada dua dimensi kerangka kerja yang telah dikembangkan untuk mekanisme yang umumnya, digunakan untuk menampung dari para pelanggan; (1) dimensi pertama tingkat aktifitas yang  dakwah oleh supplier, dan (2) dimensi kedua mempetakan tingkat pemahaman yang bisa diperoleh. Secara aktual memahami dua dimensi ini ditunjukkan dengan tiga tingkat (level) sebagai berikut: (Tenner & De Toro, 1992)

Tingkat 1: Metode Reaktif, menunjukkan pemahaman terendah tentang harapan Pendekatan ini terutama hanya ditujukan untuk menampung baru dicari  penyelesaiannya. Pendekatan ini tidak elemen kualitas modem yang berfokus pada pelanggan. Kelemahan pendekatan jenis reaktif ini ada 4 (empat) faktor, yaitu  pertama, data diperoleh dari seperangkat pelanggan yang bias, dan non perwakilan yang jarang menggunakan keluhan, bahkan seringkali dalam bentuk solusui: “Kami memerlukan  banyak kapasitas CPU”, kedua, hanya sampling terbatas dari pelanggan yang tidak senang. Ketiga, sistem untuk mensintesakan dan menganalisa data seringkali kurang. Keempat, karyawan menerima informasi melalui saluran ini adalah sering dibatasi pada penetapan masalah-masalah konsumen mereka. Para pelanggan juga seringkali tidak mengetahui bagaimana melakukan komplain atau dimana mereka menyalurkan komplain mereka atau komplain atau komplain mereka kurang membawa pengaruh pada suatu usaha perbaikan  mereka inginkan. Karena itu organisasi perlu melakukan terobosan misalnya dengan memberi hadiah pada komplain pelanggan dan pada karyawan yang menerima komplain.
Tingkat 2; Tingkat pemahaman lebih tinggi, ditandai dengan aktif dari pemasok untuk mendengarkan pelanggan. Mekanisme pada tingkat 2 ini didefinsikan sebagai pendekatan yang berkomunikasi dengan pelanggan, tetapi masih  memandang harapan pelanggan, sebagai tujuan kedua, bukan sasaran utama yang ingin dipahami. Tujuan utama dari ini sering hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelanggan atau lebih banyak produk atau memperkenalkan produk baru. Meskipun pendekatan kedua ini lebih efektif dari pendekatan pertama yang bersifat reaktif, namun kemampuan mekanisme tingkat 2 untuk menjaring pandangan-pandangan pelanggan tidak optimal karena mekanisme ini didisain terutama hanya memenuhi tujuan utama, yaitu untuk menjawab pertanyaan pelanggan, bukan untuk mendengar harapan terstruktur, analisis, data penjualan, umpan balik dari wakil pelanggan.
Tingkat 3, pemahaman paling tinggi harapan pelanggan dan ditandai dengan pendekatan proaktif dari perusahaan untuk mendengar harapan pelanggan. Pendekatan ini akan mempu mengungkap harapan pelanggan karena mekanisme tingkat 3 memang khusus didisain secara spesifik untuk menjaring informasi dari pelanggan. Pendekatan pada tingkat 3 ini mencakup wawancara pribadi enggan, kelompok fokus, dan survei  yang didesain khusus untuk menjaring informasi pelanggan. Mekanisme lain pada tertinggi adalah mysteri shopper, dimana perihak perusahaan (lembaga) menempatkan diri mereka dalam posisi pelanggan yang akan menggunakan produk yang dihasilkan. Hal ini memungkinkan lembaga bertindak berdasarkan titik pandang pelanggan mereka.
Apabila kepuasan pelanggan tercapai akan dapat memberikan akan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut :
  1.  Hubungan antara lembaga dan pelanggan menjadi harmonis sehingga pelanggam melakukan pembelian ulang dan mendorong terciptanya loyalitas pelanggan.
  2. Reputasi lembaga menjadi baik di mata pelanggan.
  3. Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan lembaga.
  4. Keuntungan / laba lembaga menjadi meningkat. (Nasution, 2001)
Sedangkan metode yang dipakai guna mengukur kepuasan pelanggan dapat digunakan beberapa hal sebagai berikut : (Nasution, 2001)
  1. Sistem Keluhan dan Saran; yaitu menyediakan kotak saran, kartu komentar, dan lain-lain. Informasi ini memberikan ide-ide / gagasan untuk memperbaiki kualitas produk yang dapat memberikan ide-ide / gagasan.
  2. Ghost Shopping, yaitu mempekerjakan beberapa orang yang berperan sebagai pembeli potensial yang melaporkan kekuatan dan kelemahan produk lembaga dan produk pesaing. 
  3. Lost customer analysis; yaitu lembaga meneliti pelanggan yang sudah berhenti membeli agar mengetahui kelemahan kualitas produk.
  4. Survey kepuasan pelanggan; yakni mengadakan survey guna memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan.
Metode ini jika diterapkan dalam pendidikan dapat diperluas dengan teknik-teknik humas yang komunikatif seperti pertemuaan kelompok (siswa/guru/orang tua/karyawan), kotak saran, penyebaran angket setiap awal tahun dan lain-lain.

B.      Pengembangan Proses
Dalam kajian pengembangan proses ini mencakup (1) Definisi proses dan Manajemen Proses; (2) Langkah-langkah perbaikan proses; Model perbaikan kualitas berorientasi proses.
Ad.1. Definisi Proses dan Manajemen Proses
Suatu proses didefinsiikan sebagai integrasi sekuensial (berurutan) dari orang, material, metode, dan mesin atau peralatan dalam suatu lingkungan, guna menghasilkan nilai tambah output pelanggan. (Tenner & De Toro, 1992, Nasution, 2000). Suatu proses mengkonversi input terukur ke dalam output terukur melalui sejumlah langkah sekuensial yang terorganisasi :
Ada empat yang terlibat dalam operasi dan perbaikan proses, sebagai berikut :
  1. Pelanggan, yaitu orang yang akan menggunakan output secara langsung atau orang yang akan menggunakan output itu sebagai input dalam proses kerja mereka, yaitu pelanggan internal.
  2. Kelompok kerja, yaitu orang-orang yang bekerja dalam proses  untuk menghasilkan dan menyerahkan output yang diinginkan tersebut.
  3. Supplier (pemasok), yaitu orang-orang yang bekerja dalam proses pada kenyataannya merupakan pelanggan dari pemasok.
  4. Pemilik, yaitu orang yang bertanggung jawab untuk operasi dari proses dan perbaikan proses itu. (Tenner & De Toro, 1992, Nasution, 2001)
Seperti diketahui, pelanggan adalah orang yang mendefinisikan proses untuk menghasilkan output yang diinginkan. Hal demikian diperoleh melalui dua kategori informasi yang mengalir dari pelanggan ke kelompok kerja. Kategori pertama adalah informasi mengenai kebutuhan pelanggan yang merupakan suatu deskripsi dari apa yang diinginkan, dibutuhkan atau diharapkan oleh pelanggan. Kebutuhan pelanggan ini akan menentukan apa yang harus dihasilkan dan diserahkan oleh proses. Kategori kedua adalah  informasi tentang umpan balik (feed back) yaitu suatu keterangan tentang baik atau buruknya suatu output  yang diserahkan untuk dibandingkan dengan harapan pelanggan.
Umpan balik ini merupakan isyarat utama untuk perbaikan proses pada operasi yang akan datang. Aliran informasi dan produk dengan pemasok tampak sebagai suatu cermin citra dari proses yang digunakan untuk menghubungkan kelompok kerja dengan pelanggan.
Konsep manajemen proses berkaitan dengan perbaikan kualitas. Gabriel Pall (1987) dalam (Tenner & De Toro, 1992, Nasution, 2001) mengidentifikasikan enam komponen yang penting dalam manajemen proses, sebagai berikut:
  1. Kepemilikan; menugaskan tanggung jawab untuk disain, operasi dan perbaikan proses.
  2. Perencanaan; menetapkan suatu pendekatan terstruktur dan disiplin untuk mengerti, mendefinisikan dan mendokumentasikan semua komponen utama dalam proses dan hubungan antar komponen utama
  3. Pengendalian; menjamin efektivitas sehingga semua output dapat diperkirakan dan konsisten dengan harapan pelanggan.
  4.  Pengukuran; menetapkan peforma atribut terhadap kebutuhan pelanggan dan menetapkan kriteria untuk akurasi, presisi dan frekuensi perolehan data.
  5.  Perbaikan atau peningkatan; meningkatkan efektivitas dari proses melalui perbaikan yang didefinisikan secara tetap
  6.  Optimisasi; meningkatkan efisiensi dan produktivitas melalui perbaikan yang diidentifikasi secara tetap
Keenam komponen di atas, merupakan landasan untuk keberhasilan manajemen suatu proses. Komponen tersebut dibutuhkan untuk proses kerja yang menghasilkan dan menyerahkan produk ke pelanggan, untuk proses yang menspesifikasikan kebutuhan dan kepuasan sepanjang rantai pelanggan-pemasok, dan untuk proses yang mendukung pekerja dalam pekerjaan mereka.
Untuk mencapai keberhasilan suatu proses, suatu organisasi perlu mengetahui proses-proses kunci bagi keberhasilan dimaksud. Sehubungan dengan itu, terdapat enam pertanyaan untuk membantu dalam mengidentifikasi proses kunci yang memiliki dampak terbesar pada pelanggan, sebagai berikut:
  1.  Produk apa yang terpenting bagi pelanggan?
  2. Proses apa yang menghasilkan produk itu ?
  3. Komponen atau faktor kunci apa yang merangsang tindakan dalam organisasi , dan proses apa yang mengkonversi atau mengubah rangsangan ini menjadi output?
  4. Proses mana yang memiliki visibility tertinggi dengan pelanggan/
  5. Proses mana yang memiliki dampak terbesar terhadap standar performansi yang dikendalikan oleh pelanggan?
  6. Berdasarkan data performansi, proses mana yang memiliki potensi terbesar untuk perbaikan?
Apabila proses kunci telah dapat diidentifikasi, perbaikan sitemik dan terus menerus dapat dimulai. Jawaban terhadap keenam pertanyaan di atas dapat saja berbeda untuk setiap organisasi tergantung pada aktifitas bisnis yang dilakukan.

Ad.2. Langkah-langkah Perbaikan Proses
Dalam kaitan ini, Tenner & De Toro (1992) mengemukakan suatu model perbaikan proses yang terdiri atas enam langkah sebagai berikut:
1.              Mendefinisikan Masalah Proses ; model perbaikan dimulai dari penetapan atau spesifikasi system mana yang terlibat agar usaha-usaha dapat terfokus pada proses bukan output. Aktifitas spesifik dalam langkah pertama ini, yaitu : (a) identifikasi output; (b) identifikasi pelanggan; (c) definisi kebutuhan pelanggan; (d) identifikasi proses yang meghasilkan output; dan identifikasi pemilik proses.
2.              Identifikasi dan Dokumentasi Proses ; diagram alir merupakan alat yang umum dipergunakan untuk mendeskripsikan proses. Pembuatan diagram alir bagi proses akan memungkinkan untuk melakukan empat perbaikan yaitu: (a) mengidentifikasi peserta (participants) dalam proses berdasarkan nama, posisi, atau posisi, atau organisasi ; (b) memberikan kepada semua peserta dalam proses dan peanan individual mereka; (c) mengidentifikasi inefisiensi, pemborosan, dan langkah-langkah yang berlebihan atau yang tidak perlu (redundat) dalam proses; dan (dan) menawarkan suatu kerangka kerja sama untuk mendefinisikan pengukuran proses
3.              Mengukur Performa; hal mana dimaksud untuk dapat megkuantifikasi baik atau jelek suatu sistem yang sedang berjalan atau beroperasi. Ukuran-ukuran performa harus didefinisikan dan dievaluasi dalam konteks harapan pelanggan. Pada dasarnya pengukuran performa dapat dilakukan pada tingkat, yaitu proses, output dan income. Ukuran proses mendefinisikan features spesifik, nilai-nilai dan atribut dari setiap produk yang dapat diuji dari dua sisi; (a) karakteristik output yang diinginkan pelanggan; (b) karakteristik output yang secara aktual diserahkan oleh proses (kapabilitas proses). Kebutuhan pelanggan sering disebut sebagai suara pelanggan, sedangkan kapabilitas proses sering disebut suara proses. Sedangkan ukuran outcome mendefinisikan dampak absolut dari proses dan tergantung pada kepuasan pelanggan. Dengan demikian kepuasan pelanggan merupakan ukuran kunci dari outcome.
4.              Memahami mengapa suatu masalah proses terjadi, tidak adanya data menimbulkan kesulitan untuk memahami mengapa suatu suatu sistem berjalan seperti itu, sehingga performanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masalah adalah deviasi atau penyimpangan yang terjadi antara performa yang diharapkan (sasaran) dan performa actual (hasil aktual). Contoh pernyataan masalah, “mesin produksi M tidak pernah mampu berproduksi lebih dari 70% dari disain kapasitasnya.” Untuk memahami mengapa suatu masalah terjadi dan agar langkah-langkah ke arah perbaikan proses efektif dan efesien dapat diajukan tiga pernyataan dasar, yaitu : (1) apa yang menjadi area utama (masalah utama) dalam proses itu ?; (2) apa yang menjadi akar penyebab dari masalah proses itu?; dan (3) apa yang merupakan sumber variasi dari proses? untuk menemukan jawaban dari setiap pertanyaan ini, harus jeli membedakan antara area utama (80% masalah disebabkan 20% saja-nya Pareto), akar masalah (membedakan gejala, penyebab, akar penyebab-nya Ishikawa), dan sumber variasi proses (dengan penyebab umum dan penyebab khusus Deming).
5.              Mengembangkan dan menguji ide-ide; langkah terdahulu membangun kerangka dasar untuk memahami dimensi kritis dari proses, dengan jalan mengidentifikasi proses kunci, mengukur bagaimana baik atau jelek proses itu beroperasi, dan memahami mengapa proses itu beroperasi dengan caranya sendiri sehingga menimbulkan masalah. Keempat langkah itu membantu untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dari masalah utama. Ide-ide untuk perbaikan proses ditujukan langsung pada akar masalah. Agar ide-ide dipilih untuk proses perbaikan proses efektif, ide-ide itu perlu diuji terlebih dahulu sebelum diimplementasikan dalam proses. Dengan demikian langkah kelima ini berusaha untuk mengembangkan dan menguji ide-ide untuk perbaikan proses melalui suatu eksperimentasi, sebelum ide-ide terpilih itu diimplementasikan.
6.              Implementasi solusi dan evaluasi; langkah ini dimulai dengan perencanaan dan implementasi perbaikan-perbaikan yang teridentifikasi dan diuji dalam langkah kelima. Informasi yang diperoleh kemudian dijadikan umpan balik untuk melaksanakan perbaikan proses selanjutknya sehingga akan diperoleh suatu perbaikan proses secara terus menerus.

Ad.3. Model Perbaikan Kualitas Berorientasi Proses
Proses kualitas merupakan  proses sistematik untuk meningkatkan kualitas dan kinerja operasi / lembaga. Montgomey (dalam Nasution, 2001) pada tahun 1990 mengemukakan suatu model yang disebut sebagai model perbaikan kualitas proses bisnis, sebagai berikut :



Gambar tersebut memberi pemahaman bahwa model perbaikan kualitas proses bisnis mengkaji keseluruhan mata rantai pemasok-pelanggan, sehingga suatu kebutuhan dari pelanggan merupakan masukan bagi industri untuk diteruskan pada pemasok. Pengukuran ini diarahkan pada keseluruhan sistem, sehingga apabila ditemukan adanya kecacatan atau kegagalan, kecacatan atau kegagalan tersebut harus diidentifikasi, untuk seterusnya dianalisis penyebab kecacatan atau kegagalan yang terjadi pada proses secara keseluruhan. Hasil temuan berupa akar penyebab kecacatan atau kegagalan itu selanjutnya harus dihilangkan melalui pengembangan korektif. Pada akhirnya tindakan pengujian dan evaluasi harus dilakukan untuk menguji dan mengevaluasi apakah tindakan korektif yang dilakukan itu telah efektif menghilangkan penyebab kegagalan atau kecacatan yang terjadi pada proses keseluruhan.
Tawaran yang lain dalam model perbaikan berorientasi proses dikemukakan oleh Tjiptono (1999) dengan apa yang disebutknya sebagai pendekatan sistem terbuka, yang menekankan kebutuhan kualitas pada ketigaa tahapan utama, yaitu : input, proses tranformasi, dan output. Upaya penyempurnaan kualitas harus difokuskan pada ketiga tahap tersebut dengan tetap mempertimbangkan tantangan atas perlunya pemenuhan standar lembaga pendidikan (PT) baik secara nasional maupun internasional.



Karakteristik Mahasiswa
Akademik
Lainnya
Karakteristik Fakultas
Sumber Daya Finansial
Fasilitas
Program
Jasa Pendukung
Disain
Input
Program
Metode
Lain-lain
Penyampaian
System Data
Umpan Balik
Analisis
Prestasi Mahasiswa
Akademik
Lainnya
Mahasiswa
Lulus/Dropout/Gagal
Pasca Wisuda
Pendidikan Tambahan
Prestasi

Penyempurnaan Kualitas Berkesinambungan dalam PT

C.     Keterlibatan Total
Keterlibatan total sebagai bagian manajemen kualitas mutu terpadu (TQM) mempunyai tujuan untuk mendapatkan karyawan dan supplier yang loyal. Dalam kegiatan ini semua elemen lembaga dari manajer, karyawan dan supplier harus terlibat secara aktif. Maka dalam kajian ini akan dipaparkan berkenaan dengan (1) Kepemimpinan; (2) Pemberdayaan Karyawan; dan (3) Supplier.
Ad.1. Kepemimpinan
            Kesadaran akan kualitas dalam organisasi tergantung pada by faktor intangibles, terutama sikap manajemen puncak terhadap kualitas. Pencapaian tingkat kualitas bukan  merupakan hasil penerapan secara instan jangka pendek untuk meningkatkan daya saing, melainkan melalui implementasi TQM yang mensyaratkan kepemimpinan yang kontinyu (Tjiptono, 1999). Maka pada saat mengimplementasikan TQM, beberapa aktivitas mendasar harus dituntaskan oleh tim manajemen senior. Manajer senior ini mempunyai tanggung jawab pokok bagi keberhasilan organisasinya, dan dengan posisi yang mereka miliki, mempunyai otoritas untuk menentukan arah, membuat kebijakan, mengalokasikan sumber daya, dan memilih pasar dimana perusahaan tersebut akan berpartisipasi. (Tennr & De Toro, 1992). Para manajer senior ini bertanggung jawab terhadap pelanggannya, karyawannya dan utamanya para pemegang saham guna keberhasilan perusahaannya.
Sejalan dengan ini Puffer dan Macam Cartey (1996) dalam (Tjiptono, 1999) telah mengembangkan kerangka kepemimpinan transformasional atau visionary, perilaku kepemimpinan kualitas total semua manajer, dan pengaruh stake holders eksternal pada penentuan persyaratan kepemimpinan.
Dari hal demikian, maka dalam TQM memerlukan keahlian baik di dalam kepemimpinan maupun di dalam manajemen, yang oleh Warren Bennis dalam menyatakan :
“Pemimpin adalah orang yang mengerjakan sesuatu hal yang benar; Manajer adalah  orang yang mengerjakan sesuatu hal dengan benar … Orang-orang Amerika (dan kemungkinan juga orang-orang yang ada di dalam kebanyakan bagian dunia lainnya) dipimpin dan diatur dengan kurang tepat. mereka tidak memberikan perhatian yang cukup pada pengerjaan hal-hal yang benar atau tepat, akan tetapi memberikan terlalu banyak perhatian pada cara pengerjaan sesuatu dengan benar.”
Lebih lanjut perbedaan antara manajemen dan kepemimpinan diberikan pada gambar berikut :



  Mendapatkan                       Meningkatkan
     hasil-hasil                          kualitas sistem

Peningkatan kualitas yang kontinyu di dalam semua produk, pelayanan, dan proses-proses dipercepat bila seseorang menentang status quo (keajegan) setiap hari. Para pemimpm dapat mensetting tahapan untuk tantangan ini dengan mengembangkan jawaban untuk enam pertanyaan mendasar.
1.    Mengapa kita ada; Apa tujuan kita? (misi)
2.    Kita akan seperti apa di masa mendatang? Kita ingin menjadi apa? (visi)
3.    Apa yang menjadi keyakinan kita, dan apa yang kita inginkan pada semua orang untuk mematuhinya? (nilai-nilai)
4.    Panduan apa yang akan latar belakang pada orang-orang di dalam organisasi kami mengenai bagaimana mereka seharusnya memberikan produk dan jasa pada pelanggannya? (kebijakan)
5.    Penuntasan apa untuk jangka panjang dan jangka pendek yang akan memungkinkan bagi kita untuk memenuhi misi kita dan mencapai visi kita? (tujuan dan sasaran)
6.    Bagaimana kita akan bergerak menuju visi kita dan memungkinkan bagi kita dan sasaran kita? (metodologi)
Jawaban pada tiga pertanyaan pertama membentuk batas-batas di dalam framework kepemimpinan. Misi mendefinisikan mengapa organisasi ada. Visi menunjukkan apa yang organisasi ingin buat, dan nilai-nilai initi menjelaskan bagaimana kita bertindak. Jawaban-jawaban pada tiga pertanyaan yang terakhir memenuhi syarat-syarat detil dan membangun batas-batas framework kepemimpman.
Pertanyaan-pertanyaan ini, kelihatannya sederhana dan jelas, namun adalah sangat komplek dan sulit dijawab, khususnya pada saat suatu produk dan pelayanan tradisional organisasi terhantam oleh teknologi baru, dengan kompetitor yang kompeten dan agresif, atau dengan perubahan-perubahan di dalam pelanggan menjadikan sebuah organisasi tidak mampu memahami dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggannya, tidak mampu mengalokasikan sumber dayanya dengan efektif dan efisien, dan tidak mampu mengelola bakat-bakat dari orang-orangnya.

















Dalam konteks TQM pemimpin perlu memiliki karakteristik pribadi yang mancakup: motivasi untuk memimpin, kejujuran dan intgritas, kepercayaan diri, inisiatif, kreativitas/oroginalitas, adaptabilitas/fleksibilitas, kemampuan kognitif, pengetahuan bisnis, dan kharisma (Tjiptono, 1999). Dan dengan fondasi berbagai karakteristik pribadi pemimpin perlu menciptakan visi untuk mengarahkan organisasi dan para karyawan. Karena visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen para karaywan terhadap kualitas, memfokuskan semua upaya organisasi pada pemuasan kebutuhan pelanggan, menumbuhkan sense of teamwork dalam kehidupan kerja, menumbuhkan standard of excellence, dan menjembatani keadaan lembaga sekarang dan masa mendatang. Visi yang ada dirumuskan, diartikulasikan, dan dikomunikasikan ke seluruh jajaran organisasi untuk mempromosikan perubahan, inovasi dan pengambilan keputusan.
Pemimpin efektif kemudian mengambil berbagai langkah untuk menterjemahkan visi menjadi kegiatan spesifik yang dapat dicapai dengan dukungan dan bantuan para manajer dan karyawan. Perolehan dukungan secara berkesinambungan menuntut pemimin menerapkan kepemimpinan transformasional, melalui : (1) penyampaian inspirasi untuk mengkomunikasikan ekspektasi tinggi, menfokuskan upaya, dan mengekspresikan tujuan dengan cara sedrhana; (2) stimulasi intelektual untuk mempromosikan intelegensia, rasionalitas dan pemecahan masalah secara ilmiah; dan (3) pemberian konsiderasi yang bersifat individual untuk memberikan perhatina personal dan memberdayakan karyawan.
Salah satu dari tiga kekurangan dapat menjadi fatal pada proses untuk membangun sebuah visi : (1) kegagalan untuk mempunyai visi awal-visi yang penting, menantang dan pada relaita waktu yang sama; (2) kegagalan mengumpulkan dukungan awal dari semua orang. Tom Peters mengatakan : “Kembangkan dan hidupkan visi yang dapat memungkinkan dicapai dan dapat memberdayakan sumber daya yang ada. Pastikan bahwa visi berada pada satu waktu yang bersamaan (1) cukup spesifik untuk bertindak sebagai “tie breaker” (misalnya kualitas lebih penting dibandingkan dengan jumlah) (2) cukup umum untuk meninggalkan ruangan guna pengambilan inisiatif tegas di dalam perubahan lingkungan saat ini “. Untuk membantu dalam usaha ini, berikut ini ditampilakan delapan ciri statemen visi efektif:

  1. Visi yang efektif memberikan inspirasi
  2. Visi yang efektif jelas dan menantang, mencakup keunggulan
  3. Visi yang efektif menciptakan kesan dalam suatu pasar dan dengan menekankan fleksibilitas dan toleransi, teruji oleh waktu.
  4. Visi yang efektif harus stabil tapi secara konstan tertantang-dan berubah dalam kelompok pinggiran
  5. Visi yang efektif adalah rambu-rambu dan pegnontrol ketika semuanya sudah tersedia,
  6. Visi yang efektif dimakseudkan untuk memperkuat pertama-tama orang-orang kita, kemudian para pelanggan
  7. visi yang efektif mempersiapkan masa depan tetapi lebih mendahulukan penghargaan
(Tenner & De Toro, 1992; Sumber: Adaptasi dari Tom Peters, Thriving on Chaos New York: Knopf, 1987).
Kepemimpinan transformasional yang dikembangkan pada tingkat puncak selanjutnya “disebarluaskan” ke seluruh jajaran manajemen dan karayawan. Hanya melalui difusi ini organisasi dapat menanamkan nilai TQM yang meresap melewati batas-batas tradisional dengan stake holder eksternal. Kepemimpinan TQM perlu menyadari bahwa stakeholder eksternal merupakan elemen intregal organsisasi. Empat komponen perilaku kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam TQM ini mencakup : sharing information, pengembangan hubungan, pemberdayaan karyawan, dan pengambilan keputusan . (Tjiptono, 1999)
Elemen-elemen Kepemimpinan Lainnya
Dua elemen  terakhir di dalam framework kepemimpnan adalah komitmen dan style. Komitmen berhubungan dengan apa yang dikerjakan oleh para manajer itu sendiri dan di dalam alokasi sumber daya yang ada. Style berhubungan dengan bagaimana para manajer melakukan dan mengerjakan hal ini. Peluang pertama untuk mendemonstrasikan komitmen (atau menyatakan kekuranan komitmen) seringkali ditemukan di ld realokasi (pengelokasian ulang), sumber daya dan pendanaan Staff tambahan untuk mengimplemntasikan training yang luas yang diperlukan untuk memperlengkapi semua karyawan dengan keahliannya dan pengtehuannya yang diperlukan untuk mengejar TQM. Apakah sumber daya tersebut akan disediakan ? apakah dana-dana dari akan dibuat tersedia dari pengarahan ualng dari prg training tradisional ?
Hal penting adalah manjer senior berkeigninan untuk mendeomnstrasikan komitmen dengan ikut serta di dalam training yang sama yang orang lain akan lakukan. Apakah manajer senior menggunakan alat-alat, jargon, proses-proses untuk mengejar peningkatan (perbaikan) yang kontinyu? Atau apakah mereka semata-mata menginstruksikan pada bawahan mereka untuk melakukannya?
Apakah para manajer senior berkeinginan untuk membuat struktur-strukturu menyokong TQM, seperti dewan pengurus dan steeerign comitte? Dan apakah para manajer berharap dan berkeinginan untuk ikut serta di dalam struktur-struktur ini? Atau apakah mereka akan mendelegasikan tanggung jawab ini?
Apakah manajer senior mampu mendemonstrasikan komitmen jangka panjang untuk mengimplementasikan peningkatan (perbaikan) yang kontinyu, bahkan pada saat perbaikan mungkin ditinjau pada saat mempunyai biaya-biaya awal yang tigngi? Komitmen berarti lebih dari prosedur baru, kebijakan baru, arahan-arahan, surat-surat, dan perkatan-perkataan baru. Para karyawan mencari komitmen dari top manajemen dengan mengamti perilaku mereka dan style mereka.
Sedangkan dalam urusan style manajemen pemimpin dituntut menampilkan bagaimana cara mengerjakan suatu pekerjaan. Tom Peters memberikan panduan yang jelas di sini:
Pahamilah kekuatan dari aksi yang samar kita : Di tengah-tengah ketidakpastian, pada saat orang memahami perkembangan-perkembangan di dalam usaha untuk memahami dunia yang kacau balau mengenai mereka, signifikasni simbolis mereka bersifat monumental. Orang-orang di dalam organisasi semuanya merupakan penonton, khususnya pada saat kondisi eksternal berubah-ubah. Untuk kondisi baik atau buruk , apa yang anda habiskan waktu anda (bukan apa yang anda nasehatkan ) akan menjadi penmpatan awal pada organisasi. Penggunaan simbol-simbol yang proaktif, seperti jenis-jenis cerita yang anda beritahukan pada orang-orang dan orang-orang yang anda undang untuk pertemuan, mengirimkan sinyal yang kuat pada organisasi mengenai apakah hal yang penting. Konfirmasi akhir mengenai apakah perhitungan yang sesungguhnya di sekitar hal ini, siapa yang dipromosikan pengambil resiko dan pertanda dari yang baru atau dari hal yang lama.

Lalu bagaimana perilaku ideal didefinisikan ? Dua setting kriteria diberikan untuk membantu mendefinisikan performan seorang pemimpin TQM. Enam panduan berikut:
  1. Pemimpin mendasarkan keputusan pada data. Opini-opini adalah menarik, tetapi keputusan-keputusan seharusnya didasarkan pada apa yang anda ketahui bukan yang anda pikirkan.
  2. pemimpin merupakan sumber daya, pelatih, facilitator bagi individu-individu dengan siapa mereka bekerja. Karyawan yang sedang melihat pada pemimpin mereka untuk pengarahan, keputusans, atau persetujuan tidak memahami peran baru anda. Apakah anda telah menerangkan perbedaannya?
  3. pemimpin terlibat aktif. Mereka belajar keahlian-keahlian baru bersama dengan karyawannya. Karena kecakapannya, pemimpin kemudian mampu membantu yang lainnya dalam pencapaian penignkatan kualitas yang  kontinu.
  4. pemimpin membangun komitmen. Mereka menjamin bahwa setiap orang mengetahui peran individu masing-masing serta keigninan kuatnya untuk memberi dukungan.
  5. para pemimpin memberikan inspirasi kepercayaan diri. Mereka menarik yang terbaik dari setiap orang dan mendorong perkembangan setiap pribadi.
  6. para pemimpin berterima kasih. Mereka melakukan hal tersebut dengan segala bentuk incentif moneter maupun non moneter yang dapat diimajinasikan.


Ad.2. Pemberdayaan Karyawan

Pemberdayaan karayawan merupakan usaha dalam rangka perubahan budaya organisasi. Perubahan yang cepat dalam kehidupan manusia semakin tidak memungkinkan pendekatan budaya tradisional dalam mengelola lembaga. Karena organisasi semakin dituntut lincah dalam melakukan pengelolaan kerja yang dilakukannya. Dalam kaitan ini akan dikaji hal-hal sebagai berikut:
1.              Konsep Pemberdayaan Karyawan
2.              Faktor Penghambat Pemberdayaan Karyawan
3.              Implementasi Pemberdayaan Karyawan

Ad. 1. Konsep Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karyawan diartikan sebagai pelibatan karyawan yang lebih berarti (signifcant), dimana pelibatan karyawan sendiri adalah suatu proses untuk mengikutsertakan para karyawan pada semua tingkatan organisasi dalam pembuatan keputusan dan pemecahan masalah (Nasution, 2001). Dengan demikian pemberdayaan tidak sekedar hanya memiliki masukan tetapi juga memperhatikan, memperhatikan, mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan tersebut.
Pemberdayaan karyawan berbeda dengan pendelegasian wewenang. Mulyadi (2000) dalam hal ini menyatakan bahwa pendegasian wewenang adalah pemberian wewenang oleh manajer atas kepada manajer yang lebih rendah untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan otoritas secara eksplisit dari para manajer pemberi wewenang pada waktu wewenang tersebut akan dilaksanakan. Sedangkan pemberdayaan karyawan adalah pemberian wewenang kepada karyawan untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi secara eksplisit dari manajer atasnya. Perbedaan mendasar dari  dua istilah tersebut adalah pada pendelegasian wewenang, seorang karyawan hanya menuggu perintah dengan adanya otoritas eksplisit, sementara dalam pemberdayaan karyawan, karyawan akan lebih memubngkinkan untuk aktif, kreatif dalam berinovasi tanpa menunggu pemberian otoritas secara eksplisit.
Di samping itu, landasan pendelegasian wewenang dan pemberdayaan karyawan pun berbeda. Dimana dalam pendelegasian dimungkinkan pada (1) karyawan yang terdiri dari tenaga kerja yang tidak terampil dan tidak terdidik; (2) informasi manual dan (3) lingkungan usaha yang stabil.  Sedangkan dalam pemberdayaan karyawan dilandasi kesadaran bahwa (1) manusia adalah aktiva organisasi yang paling bernilai dan merupakan keunggulan kompetitif yang paling tinggi, dan (2) gedung dan aktiva tetap lainnya akan mengalami depresiasi nilai karena pemakaian, sedangkan manusia memiliki kesempatan untuk tumbuh. (Mulyadi, 200). Usahaak berhasil jika dimulai dengan hal-hal sebagai berikut:
  1. Adanya keinginan manajer dan penyelia, yaitu manajer tingkat bawah untuk memberi tanggung jawab kepada karyawan
  2. melatih penyelia dan karyawan mengenai bagaimana cara untuk melakukan delegasi dan menerima tanggung jawab
  3. Komunikasi dan umpan balik perlu diberikan oleh manajer dan penyelia karyawan
  4. Penghargaan dan pengakuan sebagai hasil dari evaluasi perlu diberikan kepada karyawan sebagai tanda penghargaan terhadap kontribusi mereka kepada perusahaan. (Nasution, 2001).
 Oleh karena itu dalam pemberdayaan karyawan perlu diperhatikan beberapa prinsip sebagai berikut :
  1. Subsidiarity, yaitu badan yang lebih tinggi tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dilakukan dan dilaksanakan badan yang lebih rendah.
  2. Kesadaran bahwa karyawan pada dasarnya baik ; kegagalan dan kesalahan adalah  yang pada dasarnya juga usaha menuju kebaikan.
  3. Trust-based relationship, artinya harus ada kepercayaan seorang manajer kepada karyawan sehingga hubungan antara manajemen dan karyawan adalah hubungan berbasis kepercayaan (Mulyadi, 2000)
Kehadiran fisik seorang bos dalam memonitor pekerjaan para karyawan tentu sangat berbeda sekali dengan seorang bos yang berada di kantor yang modern dan duduk di depan layar komputer, sebagaimana sekarang. Para manajer tidak akan mengetahui apakah para karyawan itu sedang berkhayal atau sedang mencari jawaban atas masalah-masalah organisasi yang sangat penting. Belum lagi pada saat ini banyak karyawan yang mempunyai latar belakang pendidikan lebih tinggi dari manajernya. Maka pemberdayaan menjadi suatu keniscayaan bagi perjalanan organisasi modern seperti saat ini.

Ad.2. Faktor Penghambat Pemberdayaan Karyawan
Faktor penghambat dari pemberdayaan karyawan yang utama adalah penolakan terhadap perubahan. Penolakan tersebut dapat berasal dari karyawan, serikat kerja, dan pihak manajemen. Namun penolakan terbesar biasanya berasal dari pihak manajemen, sekalipun ketakutan para karyawan dan serikat kerja juga bisa menjadi hambatan tersendiri dari konsep ini.
Penolakan pihak manajemen biasanya karena alasan ketidakamanan, nilai-nilai pribadi, ego, pelatihan manajemen, karakteristik kepribadian, keterlibatan para manajer, serta struktur organisasi, dan praktek manajemen.
Memang tidak ada jaminan bahwa pemberdayaan akan menignkatkan kinerja dan produk dari organisasi. Karena suatu pemberdayaan tanpa adanya kontrol dan komitmen terhadap prinsip-prinsip yang ditetapkan akan membawa dampak pada suatu kisaran perubahan, jauh keluar dari tujuan yang ditetapkan. Padahal prinsip dari suatu perubahan tidak bisa diulang kembali.
Dimensi pertama dari pemberdayaan adalah penegasan identitas/jati diri. Semua pekerja perlu untuk mengetahui misi organisasi, visi kebijakan-kebijakan, tujuan dan metodologi. Lebih-lebih luasnya arah dari suatu organisasi harus dipertajam sebagai suatu pesan yang datang untuk didefinisikan pada para karyawan baik itu individu maupun kelompok. “Pemberdayaan terhadap individu dimana ada level rendah dalam penegasan akan memperburuk kekacauan dan pengaturan tim akan lebih sulit.
Seorang karyawan tidak hanya tahu  peranan mereka, mereka juga mengabdi untuk saling memberikan keuntungan terhadap organisasi dan mereka sendiri. Pengabdian di sini adalah sinonim dari pada komitmen dan komitmen tidak bisa diperjualbelikan, tapi diperoleh. Organisasi hirarki tradisional tidak akan mensyaratkan suatu komitmen. Untuk mendapatkan penegasan yang benar diperlukan syarat-syarat yang bisa menjembatani gap yang halus antara pemenuhan dan komitmen terletak pada orang yang berkomitmen terhadap arah organisasi secara benar. Kalaupun pemberian wewenang mensyaratkan komitmen, dengan istilah lain, para pemimpin perlu untuk melindungi pemenuhan dan bekerja untuk menggerakkan orang-orang untuk menaiki tangga pemenuhan. Komitmen tidak dapat dilaksanakan secara bersama, untuk melakukannya yang terbaik adalah membangun pemenuhan. Semua itu dapat dilakukan untuk menciptakan suatu lingkungan lebih disukai terhadap tumbuhnya suatu komitmen.
Dimensi kedua adalah kapabilitas: Para karaywan harus mempunyai kemampuan, kemahiran dan pengetahuan yang diperlukan dalam pekerjaan mereka. Juga harus mempunyai sumber daya yang diperlukan organisasi, materi-materi, metode-metode, meknik-mekanik. Banyak organisasi yang sudah  bisa mencapai dimensi ini.  Sedangkan dimensi yang ketiga adalah saling percaya. Jika sudah bsa membangun penegasan dan kapabilitas tali kekuatan, kreatifitas dan kemampuan memecakan masalah tentang karyawan. Para karyawan harus percaya pada manajemen dan merasa bahwa manajemen  mempercayai mereka. Oleh karena itu saling percaya akan melengkapi gambaran yang mensyaratkan untuk membangun pemberdayaan karyawan.

Ad. 3. Implementasi Pemberdayaan Karyawan
Pemberdayaan karyawan akan berarti hanya apabila hal tersebut merupakan suatu usaha sistematis yang dilakukan untuk membantu organisasi guna meningkatkan nilai yang akan diberikan kepada pelanggan. Kesalahan yang perlu dihindari dalam implementasi pemberdayan karyawan adalah sebagai berikut :
1.              Memulai kegiatan tanpa adanya strategi sistematis
2.              Memulai kegiatan pemberdayaan tanpa adanya kepemimpinan yang aktif dari manajemen
3.              Menghitung kegiatan (seperti jumlah pertemuan tim untuk peningkatan kualitas)
4.              Rencana dan harapan yang tidak realistik
Peranan utama manajemen dalam pemberdayaan karyawan adalah melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan dan penerapan konsep tersebut secara terus menerus. Peranan ini dapat diringkas menjadi tiga fungsi, yaitu komitmen, kepemimpinan dan kemudahan. Ketiga fungsi ini dibutuhkan untuk mengatasi hambatan dan penolakan terhadap pelaksanaan pemberdayaan atau peruabahan pokok lainnya dalam budaya perusahaan. Peranan manajer dalam pemberdayaan atau meliputi; (1) menujukkan sikap yang mendukung ; (2) menjadi model peran; (3_ menjadi pelatih; (4) menjadi fasilitator; (5) mempraktekkan management bywalking around (MBWA);  (6) mengambil tindakan dengan segera atas rekomendasi; dan (7) menghargai prestasi karyawaan.
 Pemberdayaan sebagai suatu konsep yang berusaha melibatkan dan memberdayakan karyawan secara sungguh-sungguh memerlukan implementasi yang sistematis. Implementasi pemberdayaan terdiri atas empat tahap, yaitu (1)menciptakan lingkungan kerja yang mendukung; (2) Menentukan dan mengatasi faktor penghambat dalam implementasi pemberdayaan; (3) Menerapkan dan menggunakan sarana pendukung; dan (4) menilai, menyesuaikan, dan memperbaikinya  secara reus menerus.
Untuk memacu inisiatif karyawan dibutuhkan lingkungan dan kondisi yang kondusif. Agar lingkungan seperti itu terwujud, maka manajer perlu melakukan hal-hal seperti di bawah ini:
1.              Mempercayai kemampuan karyawan untuk mencapai keberhasilan
2.              bersifat sabar dan meberikan waktu untuk belajar
3.              meberikan bimbingan dan struktur
4.              mengajarkan keterampilan baru kepada karyawan dalam langkah kecil dan incremental
5.              mengajukan pertanyaan yang menantang untuk berfikir dengan cara baru.
6.              membagi informasi dengan karyawan untuk menjalin hubungan
7.              memberikan umpan balik yang tepat waktu dan dapat dipahami serta membantu selama proses belajar,
8.              menawarkan cara alternatif untuk melaksanakan tugas
9.              menunjukkan sense of humor dan perhatian terhadap karyawan
10.           berfokus pada hasil dan menghargai perbaikan pribadi.
Ada berbagai sarana yang dapat digunakan untuk mendorong karyawan agar mereka memberi masukan dan menyalurkannya pada para pengambil keputusan. Diantara sarana tersebut adalah : (1) Brainstorming; (2) Nominal Group Technique; (3) Gugus Kualitas; (4) kotak saran (5) Management by walking around; dll. Kemampuan manajer dalam mengelaborasi teknik-teknik yang ada dalam setiap kebijakab yang dikeluarkannya akan memaksimalkan pemberdayaan karyawan.

Ad.3. Suplier
Sejalan dengan pimpinan dan karyawan, para suplier mewakili kelompok ketiga dari masyarakat yang disatukan ke dalam proses manajemen mutu terpadu. Sejarah hubungan antara konsumen siplier merupakan salah satu kepentingan pribadi dari negosiasi lawan terhadap yang lainnya untuk meningkatkan bagian biaya mereka. Tetapi gambaran baru muncul melalui konsep persangkutan total dari manajemen kualitas total. Usaha-usah gabungan akan meningkatkan kualitas, mengurangi biaya dan menigkatkan bagian pemasaran. Sehingga hal ini akan menghasilkan bagian yang lebih besar untuk dibagi dan negosiasi ukuran biaya menjadi persoalan keduniawian yang relatif.
Desakan untuk menyatukan para suplier ke dalam proses manajemen kualitas total meningkatkan banyak perusahaan untuk melakukan konsep. Jika tidak ada yang lain, kegagalan untuk bekerja sama mengakibatkan perimaan material perusahaan ditolak oleh para pesaing.
Kepercayaan merupakan suatu Syarat untuk Membangun Kerjasama
Setiap transaksi diakhiri dengan berjabat tangan. Setiap kelompok yang meninggalkan tradisi telah memperoleh keuntungan kerja sama yang akan memperkuat kedua organisasi dan membantu setiap partner untuk melawan para pesaing. Tetapi kesuksesan ini juga tergantung pada satu hal yang sederhana tetapi merupakan unsur yang penting yaitu saling percaya.
Berlawanan dengan pendekatan ini terhadap proses pembelanjaan model khas Barat yang dapat dikategorikan sebagai bangunan: “Saya mengawasi untuk diriku sendiri; dan saya tahu bahwa para suplier mengawasi untuk mereka sendiri.”  Dalam permainan ini, kita hanya dapat memperbanyak keuntungan kita sendiri pada pengeluaran terhadap yang lainnya. Tidak mengherankan jika kita membutuhkan dua tingkatan birokrat untuk menandatangani perjanjian dalam rangkap tiga. Dalam pengertian dasar ini kerja sama suplier yang benar dibentuk dengan hubungan saling percaya untuk keuntungan bersama. Kemudian bagaimana kita melaksanakan langkah kepercayaan yang dibutuhkan untuk kepercayaan suplier ? Untuk membantu memulai John Carslie (bekerja sama dengan Bob Parker dalam penulisan Beyond Negotiation), menawarkan definisis kerja yang hebat tentang kepercayaan dengan (1) Mengambil langkah-langkah kecil; (2) Membentuk kepercayaan melalui pola sukses; (3) dari pada “melompat melalui jurang, melalui jembatan”; sistem kualitas super dan proses sertifikat menunjukkan jembatan ini. Sistem-sistem ini biasanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan berkualitas untuk memiliki suplier dengan membentuk kerja sama yang saling menguntungkan.
Perusahaan yang membawa kemajuan kualitas telah merubah kriteria pembelanjaan mereka untuk memberikan keterangan yang memuaskan tentang biaya total transaksi dan daftar harga. Perusahaan yang sama juga mengikuti nilai pembentukan hubungan dalam jangka panjang dengan para suplier yang merupakan pimpinan dalam bidang tersebut.
Dalam konteks pendidikan suplier diterjemahkan sebagai orang yang menjadi perantara output pendidikan kepada masayarakat, yang disebut sebagai “humas”.  Tugas suplier ini mencakup (1) menginformasikan output; (2) memasarkan ouput; (3) memberi pelatihan dan pendidikan kepada output tentang berbagai teknik yang diperlukan dalam dunia kerja atau lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam hal ini staf humas dapat misalnya menyusun daftar lulusan dari lembaga pendidikan tentang latar belakang pribadinya, prestasi di sekolahnya, termasuk foto dirinya atau dengan membuat bursa lulusan. Daftar ini kemudian dikirimkan ke pemakai baik perusahaan atau lembaga pendidikan yang lain. Sehingga lembaga pendidikan akan terus bertanggung jawab terhadap ouput yang dikeluarkannya.

BAB IV
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Sebagai akhir tulisan ini dikemukakan beberapa  kesimpulan sebagai berikut:
1.              TQM merupakan satu pendekatan manajemen kualitas yang berorietasi pada kualitas hasil
2.              Berbagai alat dan instrumen dalam TQM dapat dipakai dalam mendekati manajemen pendidikan, yang diwujudkan dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis  Sekolah
3.              Sebagai satu pendekatan yang mengarahkan pada keutuhan, maka keutuhan dari fokus pelanggan, pengembangan proses, dan pelibatan semua elemen manajemen; manajer, karyawan, dan suplier perlu diperhatikan dengan terus berorientasi pada kualitas.

B.      Saran/Rekomendasi
1.              Dalam mengadaptasi konsep TQM perlu diperhatikan ciri khusus dari lembaga pendidikan yang tidak bisa disamakan 100% dengan perusahaan.
2.              Konsep TQM merupakan harapan cerah bagi perkembangan konsep manajemen.

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah, dkk. 2001 Aplikasi Konsep sistem, sistem thinking, system approach dan system analyisis dalam manajemen (Total Quality Management) Studi kasus perguruan Tinggi, Makalah program Studi Teknologi Pendidikan (S3), PPS Universitas Negeri Jakarta, tidak dipublikasikan.
Dikdasmen, 2001, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Jakarta: Dikdasmen.
Kotler Adnreasen, 1987 Strategic Marketing for non profit organization, (terj. dr. Ova Emilia, M.Ed) Strategi Pemasaran untuk organisasi Nirlaba, Yogyakarta: UGM Press
Mantja, William, 2000, Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan; Ilmu Pendidikan, Januari 2000
Mulyadi, Drs. M.Sc, 200 Total Quality Management; Prinsip Manajemen Kontemporer Untuk Mengarungi Lingkungan Bisnis Global, Cet. III, Yogyakarta: Aditya Media
Nasution, M.N, Drs. M.Sc, 2001, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Ghalia Indonesia
Tenner Arthur R. & De Toro Irving J. 1992, Total Quality ManagementThree Steps to Continous Improvement, Addison-Wesley Publishing Company
Tjiptono, Fandi, 1999 Aplikasi TQM dalam Manajemen Perguruan Tinggi, Konsep dan Pelaksanaan, Jakarta : Depdiknas
Tribus, Myron, Total Quality Management in Education, exergy, inc. Hayward, CA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar