Rabu, 15 Mei 2013

OTONOMI PENYELNGGARAAN PENDIDIKAN



OTONOMI PENYELNGGARAAN PENDIDIKAN
Oleh: Ali Mursidi

I.                   PENDAHULUAN
Lahirnya UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, telah mendapatkan perhatian yang besar dari khalayak luas. Perhatian tersebut antara lain diwujudkan melalui pembahasan dalam berbagai kegiatan seminar, lokakarya, diskusi dan lain sebagainya, yang menginginkan desentralisasi dan Otonomi Daerah/pendidikan dapat berjalan dengan baik dan terwujudnya kemandirian Daerah.
Kemandirian daerah, baik propinsi maupun Kabupaten/Kota mansyaratkan berkurangnya campur tangan pusat dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Kewenangan maupun urusan-urusan pemerintah harus semakin banyak diserahkan dan dilimpahkan kepada daerah-dareah, kecuali kewenangan atau urusan-urusan tertentu yang tetap melekat pada Pemerintah Pusat.
Kecenderungan global dimasa mendatang mengindikasikan bahwa masyarakat di manapun mendambakan peningkatan kualitas diri, cerdas, lebih sejahtera serta mendambakan keadilan dengan kepastian hukum yang mampu menjamin hak asasi manusia (HAM). Dengan demikian jika kita berbicara tentang otonomi (pendidikan), berarti berbicara mengenai demokrasi sebagai trend universal dan peningkatan kualitas sumber daya manusia secara mandiri.
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, karena pendidikan amat strategis untuk mencerdaskan kehidupan kebangsaan dan diperlukan untuk mewujudkan pemberdayaan, kematangan, kemandirian, dan kematangan serta mutu bangsa secara menyeluruh. Pendidikan dalam era Otonomi Daerah harus memiliki kemampuan untuk merespon tuntutan dan kebutuhan Daerah Otonomi, Regional, Nasional dan Global. Pendidikan memiliki posisi strategis dalam membawa bangsa ini kesuatu kondisi, di mana bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, kuat dan bermutu. Namun kerena lemahnya persiapan implementasi disentralisasi pendidikan ini menghadapi berbagai permasalahan termasuk pembiayaan pendidikan yang amat vital untuk membangun pendidikan daerah.

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pemikiran mengenai otonomi daerah?
2.      Bagaimana pemikiran tentang otonomi pendidikan?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pemikiran mengenai Otonomi Daerah
Konsep Otonomi Daerah secara umum adalah memindahkan sebagian besar kewenangan yang sudah sanggup dilaksanakan oleh daerah, dari pusat ke daerah. Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22/1999 dan Uu No. 25/1999 dititikberatkan pada daerah tingkat II dalam rangka memaksimalisasikan pelayanan publik, karena seperti diketahui fungsi pokok pemerintahan adalah pelayanan untuk keadilan, pemberdayaan untuk kemandirian masayarakat, pembangunan untuk kesejahteraan. Secara konseptual titik berat ekonomi berada di daerah tingkat II, tetapi kewenangan Provinsi tetap cukup besar. Untuk itu, dengan Otonomi Daerah, tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi untuk memungkinkan majunya masyarakat secara ekonomi, tetapi tidak menangani langsung pembangunan ekonomi.
Adapun peranan pemerintah pusat akan berubah, sebatas mengarahkan proses modernisasai agar tidak menimbulkan akibat-akibat destruktif yang dapat mengancam kesatuan bangsa. Pemerintah pusat membatasi diri dari tugas yang luas mulai dari penyedia untuk membiayai program modernisasi, merencanakan dan melaksanakan hingga mengamankan proyek modernisasi yang mereka rencanakan. Pada intinya pemerintah sebagai dinamisator pembangunan dan untuk itu harus diimbangi pula kekuatan baru dalam masyarakat. Kekuatan baru dalam masyarakat bisa berupa potensi lokal seperti sumber daya manusia dan sumber daya alam, yang murni tumbuh serta berkembang dalam masyarakat setempat. [1]
Upaya untuk melaksanakan Otonomi Daerah yang telah digulirkan januari 2001, merupakan tekad bersama bagi aparat pusat maupun daerah. Sehingga untuk mendukung penyelenggaraan Otonomi Daerah diperlukan kewenangan yang kuat, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proposional, karena secara teoritis pelaksanaan dalam Otonomi Daerah sebenarnya terdapat sendi-sendi pilar penyangka otonomi daearah. Sendi-sendi tersebut adalah (1) sharing of power (pembagian kewenangan), (2) distribution of income (pembagian pendidikan), dan (3) empowering (kemandirian dan pemberdayaan pemerintah daerah), ternyata ketiga sendi-sendi tersebut sebagai pilar otonomi telah dijabarkan dalam prinsip otonomi sebagai tertuang dalam UU No.22/1999 juga UU No.25/1999.[2]
Prinsip-prinsip Otonomi Daerah adalah:
1.      Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.      Pelaksanaan otonomi daearah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.
3.      Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedangkan Otonomi Daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
5.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
6.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupu fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7.      Pelaksanaan asas dekosentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintahan.
8.      Pelaksanaan atas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah pusat kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah pusat dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana, prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[3]

B.     Pemikiran mengenai otonomi pendidikan
Pembangunan pendidikan yang selama ini didominasi oleh pemerintah pusat terbukti kurang efektif. Hal ini terliahat dalam berbagai program investasi perluasan akses pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan namun belum dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Karena itu, otonomi (sistem dan pengelolaan) pendidikan merupakan suatu keharusan. Undang-undang Otonomi Daerah meletakkan kewenangan seluruh urusan pemerintahan bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah (Kabupaten/Kota). Kewenangan yang tersisa pada pemerintahan pusat dan provinsi hanya sebatas besarannya saja (peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000). Pergeseran struktur kewenangan sistem administrasi pendidikan ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem pengelolaan pendidikan di sekolah.
Sebagaimana kita ketahuai bahwa Otonomi Daerah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokrasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah. Bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke Kabupaten dan Kota. Demikian juga otonomi yang mengarah pada sistem dan pengelolaan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Bukan sekadar memindahkan atau mengembangbiakkan masalah pendidikan yang menjadi beban pemerintah pusat ke Kabupaten dan Kota. Untuk itu, Kabupaten dan Kota perlu memilah dan memilih secara hati-hati berbagai strategi pembangunan pendidikan yang selama ini dilakukan agar kekeliruan kolektif pada masa lalu tidak diulang oleh kabupeten dan Kota pada masa yanga akan datang. Sehingga hanya strategi pembangunan pendidikan yang menunjukkan pengaruh positif yang perlu dilanjutkan, sedangkan yang tidak banyak memberi manfaat bagi siswa dan sekolah serta melahirkan berbagai masalah baru harus segera ditinggalkan.
Strategi pembangunan pendidikan yang efektif mutlak diperlukan, dalam arti strategi pembangunan yang memberdayakan memberi kepercayaan yang luas dan mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan kepada sekoalah. Peran pemerintah lebih banyak ditekankan pada pelayanan agar proses pendidikan disekolah berjalan efektif dan efisien. Peran ini dapat dilakuakan oleh semua jenjang pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupaun Kabupaten/Kota. Yang penting fokus pembangunan pendidikana harus tetap pada apa yang terjadi disekolah. Sebab, strategi pembanunan pendidikan yang tidak terfokus pada pemberdayaan sekolah, umumnya tidak member hasil yang memuaskan.
Pada era desentralisasi pendidikan ini, strategi pembangunan pendidikan perlu dilakukan upaya pergeseran mendasar dari sistem pengelolaan terpusat ke sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (school basic education). Pergeseran ini perlu dilakuakan karena sistem terpusat terbukti tidak terlalu kondusif bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Upaya peningkatan mutu pendidikan sampai saat ini belum dapat memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa masalah yang membuat peningkatan mutu pendidikan tidak berjalan, dimungkinkan sebagai akibat :
1.      Akuntabilitas sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan kepada masyarakat masih sangat rendah.
2.      Penggunaan sumber daya tidak optimal. Rendahnya anggaran pendidikan merupakan kendala besar.
3.      Partisipasi masyarakat masih rendah.
4.      Lembaga pendidikan tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi dilingkungannya.[4]
Ada tiga faktor penting yang sangat menentukan sukses dan tidaknya pemberlakuan otonomi atau desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah ini, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sekolah. Masing-masing faktor tersebut memiliki peran yang  berbeda satu sama lainnya. Walaupun demikian perbedaan peran yang dimiliki bukan berarti tidak berkaitan satu sama lainnya, justru perbedaan peran tersebut lebih merupakan suatu job distributions, yang sifatnya saling mendukung dan menyokong suksesnya penerapan konsep otonomi dan desentralisasi pendidikan.[5]
Sedangkan pendanaan untuk mendanai keigiatan pendidikan menurut Djohar, dapat diperoleh sedikit-dikitnya dari 7 sumber, yaitu bersumber dari (1) kontribusi pemerintah, SPP siswa; (2) memperbanyak hak paten yang mempunyai nilai jual; (3) membangun unit produksi; (4) memiliki program unggulan; (5) dukungan masyarakat; (6) kerjasama horizontal; (7) mengembangkan lembaga pendidikan berwawasan bisnis.
Dalam era Otonomi Daerah seperti saat ini, pembaharuan pendidikan harus segera dilakuakan agar masyarakat secara luas, keluarga, sektor wisata, politisi dan juga unit-unit pemerintahan di semua tingkatan, akhirnya mampu memahami bahwa pendidikan merupakan Human investment penting yang harus dirancang dan dibiayai secara lebih memadai, agar bangasa ini mampu tumbuh dan bersaiang dengan bangsa lain seiring dengan pertumbuhan dan proses demokratisasi dalam bebagai sistem kehidupan di Indonesia.[6]
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom, pada kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya;
2.      Penetapan standar materi pelajaran pokok;
3.      Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4.      Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5.      Penetapan persyaratan penerimaan, pemindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa;
6.      Penetapan persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan pemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian arkeologi;
7.      Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monument yang diakui secara internasional;
8.      Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah;
9.      Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional;
10.  Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.

Sementara itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan/atau tidak mampu;
2.      Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar sekolah;
3.      Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis;
4.      Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tingggi;
5.      Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai latihan dan/atau penataran guru;
6.      Penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.[7]
Target pembangunan pendidikan di era otonomi daerah diharapkan terwujud melalui empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, sebagai berikut:
1.      Strategi pertama adalah peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan. Semua warga Negara Republik Indonesian diberi akses pendidikan yang sama, apapun tingkatan ekonomi mereka, dimanapun tempat tinggal mereka, dan apapun latar belakang social mereka.
2.      Strategi kedua adalah peningkatan relevansi pendidikan dengan pembangunan. Salah satu konsep yang digunakan dalam penerapan strategi ini adalah konsep link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara materi ajar (curriculum content)dengan kebutuhan di lapangan (job market). Penerapan konsep link anad match diharapkan dapat melahirkan para lukusan yang memiliki jenis ketrampilan yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia kerja sehingga ketika lulus mereka “Siap kerja”.
3.      Strategi ketiga adalah peningkatan kualitas pendidikan. Penerapan strategi ini dimulai pada jenjang sekolah dasar, yaitu dengan mengembangkan System Pembinaan Profesional (SPP) dengan pendekatan gugus sekolah.
4.      Strategi keempat adalah peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan. Program pembangunan pendidikana tidak hanya terfokus pada aspek kuantitas. Pada era otonomi daerah, program-program pembangunan pendidikan harus sudah mulai terfokus pada aspek kualiatas, relefansi, dan efisiensi, dengan tetap memperhatikan aspek kuantitas.[8]

IV.             ANALISIS
Otonomi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari lahirnya kebijakan nasional Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk mengelola daerahnya sendiri termasuk dalam bidang pendidikan. Otonomi pendidikan tidak hanya sekadar pelimpahan wewenang dari pusat kepada pemerintah daerah tetapi lebih kepada pemberdayaan potensi daerah untuk mengelola potensi-potensi yang ada di daerah. Otonomi pendidikan menjadi tanggungjawab bersama dari pemerintah pusat ke daerah, dan khususnya pemerintah dan masyarakat di daerah dituntut untuk lebih berperan dalam penyelenggaraan pendidikan
Sentralisasi pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini tercermin dalam laporan United National Development Program (UNDP), yang memposisikan Indonesia pada peringkat 110 dari 173 negara, jauh di bawah Malaysia (peringkat 55), Thailand (peringkat 70), Filipina (peringkat 77), Cina (peringkat 96) dan Vietnam (peringkat 109). Hal ini telah mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang lebih demokratis dan lebih desentralistis dalam pengelolaannya, sehingga dapat mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan potensi dirinya, potensi lingkungan terdekatnya, dan potensi yang lebih luas.[9]
Dengan semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi, maka dalam Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling kurang sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal (daerah) sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional.
Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3) pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarkan oleh masyarakat.
Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebenarnya masih banyak pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan nasional.[10]
Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pada Pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat diatasi dan diantisipasi. Oleh karena itu, untuk merealisasikan semua itu memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak.
Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemeran utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya.

V.                KESIMPULAN
1.      Konsep Otonomi Daerah secara umum adalah memindahkan sebagian besar kewenwngan yang sudah sanggup dilaksanakan oleh daerah, dari pusat ke daerah.
2.      Prinsip-prinsip Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. diletakkan pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedangkan Otonomi Daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas, lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom. Harus sesuai dengan konstitusi Negara. harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah  Pelaksanaan asas dekosentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah Administrasi, Pelaksanaan atas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah pusat kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah pusat dan daerah kepada desa.
3.      Otonomi Daerah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokrasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah. Bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke Kabupaten dan Kota.
4.      Pembangunan pendidikan yang selama ini didominasi oleh pemerintah pusat terbukti kurang efektif. Hal ini terliahat dalam berbagai program investasi perluasan akses pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan namun belum dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan.
5.      Undang-undang Otonomi Daerah meletakkan kewenangan seluruh urusan pemerintahan bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah (Kabupaten/Kota).
6.      Otonomi yang mengarah pada sistem dan pengelolaan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Bukan sekadar memindahkan atau mengembangbiakkan masalah pendidikan yang menjadi beban pemerintah pusat ke Kabupaten dan Kota.
7.      Pendanaan untuk mendanai kegiatan pendidikan dapat diperoleh sedikit-dikitnya dari 7 sumber. (menurut Djohar ) yaitu: kontribusi pemerintah, SPP siswa, memperbanyak hak paten yang mempunyai nilai jual; membangun unit produksi; memiliki program unggulan; dukungan masyarakat; kerjasama horizontal; mengembangkan lembaga pendidikan berwawasan bisnis.
8.      Pendidikan merupakan Human investment penting yang harus dirancang dan dibiayai secara lebih memadai, agar bangasa ini mampu tumbuh dan bersaiang dengan bangsa lain.
9.      Otonomi Daerah akan dapat berhasil apabila didukung oleh keberhasilan otonomi pendiddikan. Sedangkan otonomi pendidikan akan dapat berhasil apabila didukung tersedianya biaya pendidikan yang memadai.
10.  Kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk mengelola daerahnya sendiri termasuk dalam bidang pendidikan
11.  Otonomi pendidikan tidak hanya sekadar pelimpahan wewenang dari pusat kepada pemerintah daerah tetapi lebih kepada pemberdayaan potensi daerah untuk mengelola potensi-potensi yang ada di daerah.
12.  Otonomi pendidikan menjadi tanggungjawab bersama dari pemerintah pusat ke daerah, dan khususnya pemerintah dan masyarakat di daerah dituntut untuk lebih berperan dalam penyelenggaraan pendidikan.

VI.             PENUTUP
Alhamdulillah dengan ridho Allah, dengan izinnya kami pemakalah bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu, tapi sebelumnya kami minta maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan ataupun kesalahan baik mengenai penjelasan, pemahaman ataupun kata-kata yang kurang jelas untuk dipahami. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif akan selalu kami terima dengan senang hati. Semoga sekelumit karya kami ini bermanfaat. Amien.















DAFTAR PUSTAKA

Achmad Slamet. Membangun kebijakan pembiayaan pendidikan melalui manajemen bisnis dalam pelaksanaan otonomi daerah. Prosiding seminar nasional otonomi pendidikan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Ali Muhdiamnur. Konfigurasi politik pendidikan nasional. Yogyakarta: Pustaka fahima.
Departemen Agama RI. UU dan PP RI tentang Pendidikan. Jakarta: Depag RI.
Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Jakarta: Raja grafindo persada.
M. Sirozi, Politik pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo persada.


[1] Achmad Slamet. Membangun kebijakan pembiayaan pendidikan melalui manajemen bisnis dalam pelaksanaan otonomi daerah. Prosiding seminar nasional otonomi pendidikan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hlm.12-13
[2] Ali Muhdiamnur. Konfigurasi politik pendidikan nasional. Yogyakarta: Pustaka fahima. Hlm.142
[3] Ibid. hlm.143
[4] Achmad Slamet. Op. Cit. hlm.13-15
[5] Ali Muhdiamnur. Op. Cit. Hlm.145
[6] Ali Muhdi Amnur. Ibid. hlm.147
[7] Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Jakarta: Raja grafindo persada. Hlm.12-15
[8] M. Sirozi, Politik pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo persada. Hlm.207-210
[10] Departemen Agama RI. UU dan PP RI tentang Pendidikan. Jakarta: Depag RI. Hlm.4-34
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar