OTONOMI
PENYELNGGARAAN PENDIDIKAN
Oleh: Ali Mursidi
I.
PENDAHULUAN
Lahirnya
UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 25
tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,
telah mendapatkan perhatian yang besar dari khalayak luas. Perhatian tersebut
antara lain diwujudkan melalui pembahasan dalam berbagai kegiatan seminar,
lokakarya, diskusi dan lain sebagainya, yang menginginkan desentralisasi dan
Otonomi Daerah/pendidikan dapat berjalan dengan baik dan terwujudnya
kemandirian Daerah.
Kemandirian
daerah, baik propinsi maupun Kabupaten/Kota mansyaratkan berkurangnya campur
tangan pusat dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Kewenangan maupun
urusan-urusan pemerintah harus semakin banyak diserahkan dan dilimpahkan kepada
daerah-dareah, kecuali kewenangan atau urusan-urusan tertentu yang tetap
melekat pada Pemerintah Pusat.
Kecenderungan
global dimasa mendatang mengindikasikan bahwa masyarakat di manapun mendambakan
peningkatan kualitas diri, cerdas, lebih sejahtera serta mendambakan keadilan
dengan kepastian hukum yang mampu menjamin hak asasi manusia (HAM). Dengan
demikian jika kita berbicara tentang otonomi (pendidikan), berarti berbicara
mengenai demokrasi sebagai trend universal dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia secara mandiri.
Pendidikan
merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, karena pendidikan amat strategis
untuk mencerdaskan kehidupan kebangsaan dan diperlukan untuk mewujudkan
pemberdayaan, kematangan, kemandirian, dan kematangan serta mutu bangsa secara
menyeluruh. Pendidikan dalam era Otonomi Daerah harus memiliki kemampuan untuk
merespon tuntutan dan kebutuhan Daerah Otonomi, Regional, Nasional dan Global.
Pendidikan memiliki posisi strategis dalam membawa bangsa ini kesuatu kondisi,
di mana bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, kuat dan bermutu. Namun
kerena lemahnya persiapan implementasi disentralisasi pendidikan ini menghadapi
berbagai permasalahan termasuk pembiayaan pendidikan yang amat vital untuk
membangun pendidikan daerah.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pemikiran mengenai otonomi daerah?
2.
Bagaimana pemikiran tentang otonomi pendidikan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran mengenai Otonomi Daerah
Konsep Otonomi Daerah secara umum
adalah memindahkan sebagian besar kewenangan yang sudah sanggup dilaksanakan
oleh daerah, dari pusat ke daerah. Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud dalam UU
No. 22/1999 dan Uu No. 25/1999 dititikberatkan pada daerah tingkat II dalam
rangka memaksimalisasikan pelayanan publik, karena seperti diketahui fungsi
pokok pemerintahan adalah pelayanan untuk keadilan, pemberdayaan untuk
kemandirian masayarakat, pembangunan untuk kesejahteraan. Secara konseptual
titik berat ekonomi berada di daerah tingkat II, tetapi kewenangan Provinsi
tetap cukup besar. Untuk itu, dengan Otonomi Daerah, tugas pemerintah adalah
menciptakan kondisi untuk memungkinkan majunya masyarakat secara ekonomi,
tetapi tidak menangani langsung pembangunan ekonomi.
Adapun peranan pemerintah pusat akan
berubah, sebatas mengarahkan proses modernisasai agar tidak menimbulkan
akibat-akibat destruktif yang dapat mengancam kesatuan bangsa. Pemerintah pusat
membatasi diri dari tugas yang luas mulai dari penyedia untuk membiayai program
modernisasi, merencanakan dan melaksanakan hingga mengamankan proyek
modernisasi yang mereka rencanakan. Pada intinya pemerintah sebagai dinamisator
pembangunan dan untuk itu harus diimbangi pula kekuatan baru dalam masyarakat. Kekuatan
baru dalam masyarakat bisa berupa potensi lokal seperti sumber daya manusia dan
sumber daya alam, yang murni tumbuh serta berkembang dalam masyarakat setempat. [1]
Upaya untuk melaksanakan Otonomi
Daerah yang telah digulirkan januari 2001, merupakan tekad bersama bagi aparat
pusat maupun daerah. Sehingga untuk mendukung penyelenggaraan Otonomi Daerah
diperlukan kewenangan yang kuat, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara
proposional, karena secara teoritis pelaksanaan dalam Otonomi Daerah sebenarnya
terdapat sendi-sendi pilar penyangka otonomi daearah. Sendi-sendi tersebut
adalah (1) sharing of power (pembagian kewenangan), (2) distribution
of income (pembagian pendidikan), dan (3) empowering (kemandirian
dan pemberdayaan pemerintah daerah), ternyata ketiga sendi-sendi tersebut
sebagai pilar otonomi telah dijabarkan dalam prinsip otonomi sebagai tertuang
dalam UU No.22/1999 juga UU No.25/1999.[2]
Prinsip-prinsip Otonomi Daerah
adalah:
1. Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,
pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan
otonomi daearah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.
3. Pelaksanaan
Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan Daerah Kota,
sedangkan Otonomi Daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan
Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
5. Pelaksanaan
Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi Negara, sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
6. Pelaksanaan
Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupu fungsi anggaran
atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7. Pelaksanaan
asas dekosentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintahan.
8. Pelaksanaan
atas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah pusat kepada
daerah, tetapi juga dari pemerintah pusat dan daerah kepada desa yang disertai
dengan pembiayaan, sarana, prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[3]
B.
Pemikiran mengenai otonomi pendidikan
Pembangunan pendidikan yang selama ini didominasi oleh pemerintah
pusat terbukti kurang efektif. Hal ini terliahat dalam berbagai program
investasi perluasan akses pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan
namun belum dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan. Karena itu, otonomi (sistem
dan pengelolaan) pendidikan merupakan suatu keharusan. Undang-undang Otonomi
Daerah meletakkan kewenangan seluruh urusan pemerintahan bidang pendidikan dan
kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintahan pusat kepada pemerintahan
daerah (Kabupaten/Kota). Kewenangan yang tersisa pada pemerintahan pusat dan
provinsi hanya sebatas besarannya saja (peraturan pemerintah nomor 25 tahun
2000). Pergeseran struktur kewenangan sistem administrasi pendidikan ini merupakan
momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem pengelolaan pendidikan di
sekolah.
Sebagaimana kita ketahuai bahwa Otonomi Daerah dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokrasi, dan
penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan
keanekaragaman daerah. Bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke Kabupaten
dan Kota. Demikian juga otonomi yang mengarah pada sistem dan pengelolaan
pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan
masyarakat. Bukan sekadar memindahkan atau mengembangbiakkan masalah pendidikan
yang menjadi beban pemerintah pusat ke Kabupaten dan Kota. Untuk itu, Kabupaten
dan Kota perlu memilah dan memilih secara hati-hati berbagai strategi pembangunan
pendidikan yang selama ini dilakukan agar kekeliruan kolektif pada masa lalu
tidak diulang oleh kabupeten dan Kota pada masa yanga akan datang. Sehingga
hanya strategi pembangunan pendidikan yang menunjukkan pengaruh positif yang
perlu dilanjutkan, sedangkan yang tidak banyak memberi manfaat bagi siswa dan
sekolah serta melahirkan berbagai masalah baru harus segera ditinggalkan.
Strategi pembangunan pendidikan yang efektif mutlak diperlukan,
dalam arti strategi pembangunan yang memberdayakan memberi kepercayaan yang
luas dan mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan kepada sekoalah. Peran
pemerintah lebih banyak ditekankan pada pelayanan agar proses pendidikan
disekolah berjalan efektif dan efisien. Peran ini dapat dilakuakan oleh semua
jenjang pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupaun Kabupaten/Kota. Yang
penting fokus pembangunan pendidikana harus tetap pada apa yang terjadi
disekolah. Sebab, strategi pembanunan pendidikan yang tidak terfokus pada
pemberdayaan sekolah, umumnya tidak member hasil yang memuaskan.
Pada era desentralisasi pendidikan ini, strategi pembangunan
pendidikan perlu dilakukan upaya pergeseran mendasar dari sistem pengelolaan
terpusat ke sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (school basic
education). Pergeseran ini perlu dilakuakan karena sistem terpusat terbukti
tidak terlalu kondusif bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Upaya
peningkatan mutu pendidikan sampai saat ini belum dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Beberapa masalah yang membuat peningkatan mutu pendidikan tidak
berjalan, dimungkinkan sebagai akibat :
1.
Akuntabilitas sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan kepada
masyarakat masih sangat rendah.
2.
Penggunaan sumber daya tidak optimal. Rendahnya anggaran pendidikan
merupakan kendala besar.
3.
Partisipasi masyarakat masih rendah.
4.
Lembaga pendidikan tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi
dilingkungannya.[4]
Ada tiga faktor penting yang sangat menentukan sukses dan tidaknya
pemberlakuan otonomi atau desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah ini,
yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sekolah. Masing-masing
faktor tersebut memiliki peran yang
berbeda satu sama lainnya. Walaupun demikian perbedaan peran yang
dimiliki bukan berarti tidak berkaitan satu sama lainnya, justru perbedaan
peran tersebut lebih merupakan suatu job distributions, yang sifatnya
saling mendukung dan menyokong suksesnya penerapan konsep otonomi dan
desentralisasi pendidikan.[5]
Sedangkan pendanaan untuk mendanai keigiatan pendidikan menurut
Djohar, dapat diperoleh sedikit-dikitnya dari 7 sumber, yaitu bersumber dari (1)
kontribusi pemerintah, SPP siswa; (2) memperbanyak hak paten yang mempunyai
nilai jual; (3) membangun unit produksi; (4) memiliki program unggulan; (5)
dukungan masyarakat; (6) kerjasama horizontal; (7) mengembangkan lembaga
pendidikan berwawasan bisnis.
Dalam era Otonomi Daerah seperti saat ini, pembaharuan pendidikan
harus segera dilakuakan agar masyarakat secara luas, keluarga, sektor wisata,
politisi dan juga unit-unit pemerintahan di semua tingkatan, akhirnya mampu
memahami bahwa pendidikan merupakan Human investment penting yang harus
dirancang dan dibiayai secara lebih memadai, agar bangasa ini mampu tumbuh dan
bersaiang dengan bangsa lain seiring dengan pertumbuhan dan proses
demokratisasi dalam bebagai sistem kehidupan di Indonesia.[6]
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom, pada kelompok bidang pendidikan
dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1.
Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta
pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional,
serta pedoman pelaksanaannya;
2.
Penetapan standar materi pelajaran pokok;
3.
Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik;
4.
Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan;
5.
Penetapan persyaratan penerimaan, pemindahan, sertifikasi siswa,
warga belajar dan mahasiswa;
6.
Penetapan persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfaatan,
pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan pemilikan benda cagar budaya,
serta persyaratan penelitian arkeologi;
7.
Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan
museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monument
yang diakui secara internasional;
8.
Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap
tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah;
9.
Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi, pendidikan jarak
jauh, serta pengaturan sekolah internasional;
10. Pembinaan
dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia.
Sementara
itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari
masyarakat minoritas, terbelakang, dan/atau tidak mampu;
2.
Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan
untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
luar sekolah;
3.
Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain
pengaturan kurikulum, akreditasi, dan pengangkatan tenaga akademis;
4.
Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tingggi;
5.
Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai latihan dan/atau
penataran guru;
6.
Penyelenggaraan museum provinsi, suaka peninggalan sejarah,
kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional, serta pengembangan bahasa
dan budaya daerah.[7]
Target pembangunan pendidikan di era otonomi daerah diharapkan
terwujud melalui empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, sebagai
berikut:
1.
Strategi pertama adalah peningkatan pemerataan kesempatan
pendidikan. Semua warga Negara Republik Indonesian diberi akses pendidikan yang
sama, apapun tingkatan ekonomi mereka, dimanapun tempat tinggal mereka, dan
apapun latar belakang social mereka.
2.
Strategi kedua adalah peningkatan relevansi pendidikan dengan
pembangunan. Salah satu konsep yang digunakan dalam penerapan strategi ini
adalah konsep link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara materi
ajar (curriculum content)dengan kebutuhan di lapangan (job market).
Penerapan konsep link anad match diharapkan dapat melahirkan para lukusan yang
memiliki jenis ketrampilan yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia kerja
sehingga ketika lulus mereka “Siap kerja”.
3.
Strategi ketiga adalah peningkatan kualitas pendidikan. Penerapan
strategi ini dimulai pada jenjang sekolah dasar, yaitu dengan mengembangkan System
Pembinaan Profesional (SPP) dengan pendekatan gugus sekolah.
4.
Strategi keempat adalah peningkatan efisiensi pengelolaan
pendidikan. Program pembangunan pendidikana tidak hanya terfokus pada aspek
kuantitas. Pada era otonomi daerah, program-program pembangunan pendidikan
harus sudah mulai terfokus pada aspek kualiatas, relefansi, dan efisiensi,
dengan tetap memperhatikan aspek kuantitas.[8]
IV.
ANALISIS
Otonomi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari lahirnya
kebijakan nasional Otonomi Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah memberikan
kewenangan yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk mengelola daerahnya
sendiri termasuk dalam bidang pendidikan. Otonomi pendidikan tidak hanya
sekadar pelimpahan wewenang dari pusat kepada pemerintah daerah tetapi lebih
kepada pemberdayaan potensi daerah untuk mengelola potensi-potensi yang ada di
daerah. Otonomi pendidikan menjadi tanggungjawab bersama dari pemerintah pusat
ke daerah, dan khususnya pemerintah dan masyarakat di daerah dituntut untuk
lebih berperan dalam penyelenggaraan pendidikan
Sentralisasi
pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah
menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh tertinggal
dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini tercermin dalam laporan
United National Development Program (UNDP), yang memposisikan Indonesia pada
peringkat 110 dari 173 negara, jauh di bawah Malaysia (peringkat 55), Thailand
(peringkat 70), Filipina (peringkat 77), Cina (peringkat 96) dan Vietnam
(peringkat 109). Hal ini telah mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang
lebih demokratis dan lebih desentralistis dalam pengelolaannya, sehingga dapat
mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan potensi dirinya, potensi
lingkungan terdekatnya, dan potensi yang lebih luas.[9]
Dengan
semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi, maka dalam
Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling
kurang sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah
daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan
hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal
(daerah) sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya
saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak
dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem
pendidikan nasional.
Secara
singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10
disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya. Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah
daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3)
pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarkan oleh masyarakat.
Selanjutnya
pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor
pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari
pemerintah kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk
hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebenarnya masih
banyak pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, namun
dari beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak
dan kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan
nasional.[10]
Pemberian
aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang Sisdiknas, diharapkan
nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika
dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis
kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain.
Itulah sebabnya pada Pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah
kabupaten/kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan lokal.
Jika
setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dilaksanakan secara
baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang mengitari dunia
pendidikan kita selama ini dapat diatasi dan diantisipasi. Oleh karena itu,
untuk merealisasikan semua itu memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua
pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak.
Dalam
konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di
lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi
sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemeran utama pembelajaran
adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta
didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan
pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya.
V.
KESIMPULAN
1.
Konsep Otonomi Daerah secara umum adalah memindahkan sebagian besar
kewenwngan yang sudah sanggup dilaksanakan oleh daerah, dari pusat ke daerah.
2.
Prinsip-prinsip Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. didasarkan
pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab. diletakkan pada daerah Kabupaten
dan Daerah Kota, sedangkan Otonomi Daerah propinsi merupakan otonomi yang
terbatas, lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom. Harus sesuai dengan
konstitusi Negara. harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif
daerah Pelaksanaan asas dekosentrasi
diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah
Administrasi, Pelaksanaan atas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah pusat kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah pusat dan daerah
kepada desa.
3.
Otonomi Daerah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
pemerataan, keadilan, demokrasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya
lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah. Bukan untuk memindahkan
masalah dari pusat ke Kabupaten dan Kota.
4.
Pembangunan pendidikan yang selama ini didominasi oleh pemerintah
pusat terbukti kurang efektif. Hal ini terliahat dalam berbagai program
investasi perluasan akses pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan
namun belum dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan.
5.
Undang-undang Otonomi Daerah meletakkan kewenangan seluruh urusan
pemerintahan bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada
pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah (Kabupaten/Kota).
6.
Otonomi yang mengarah pada sistem dan pengelolaan pendidikan
bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Bukan sekadar memindahkan atau mengembangbiakkan masalah pendidikan yang
menjadi beban pemerintah pusat ke Kabupaten dan Kota.
7.
Pendanaan untuk mendanai kegiatan pendidikan dapat diperoleh
sedikit-dikitnya dari 7 sumber. (menurut Djohar ) yaitu: kontribusi pemerintah,
SPP siswa, memperbanyak hak paten yang mempunyai nilai jual; membangun unit
produksi; memiliki program unggulan; dukungan masyarakat; kerjasama horizontal;
mengembangkan lembaga pendidikan berwawasan bisnis.
8.
Pendidikan merupakan Human investment penting yang harus
dirancang dan dibiayai secara lebih memadai, agar bangasa ini mampu tumbuh dan
bersaiang dengan bangsa lain.
9.
Otonomi Daerah akan dapat berhasil apabila didukung oleh
keberhasilan otonomi pendiddikan. Sedangkan otonomi pendidikan akan dapat
berhasil apabila didukung tersedianya biaya pendidikan yang memadai.
10. Kebijakan
Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada daerah-daerah
untuk mengelola daerahnya sendiri termasuk dalam bidang pendidikan
11. Otonomi
pendidikan tidak hanya sekadar pelimpahan wewenang dari pusat kepada pemerintah
daerah tetapi lebih kepada pemberdayaan potensi daerah untuk mengelola
potensi-potensi yang ada di daerah.
12. Otonomi
pendidikan menjadi tanggungjawab bersama dari pemerintah pusat ke daerah, dan
khususnya pemerintah dan masyarakat di daerah dituntut untuk lebih berperan
dalam penyelenggaraan pendidikan.
VI.
PENUTUP
Alhamdulillah dengan ridho Allah, dengan izinnya kami pemakalah bisa
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu, tapi sebelumnya kami minta maaf
apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kekurangan ataupun
kesalahan baik mengenai penjelasan, pemahaman ataupun kata-kata yang kurang
jelas untuk dipahami. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif akan selalu kami terima
dengan senang hati. Semoga sekelumit karya kami ini bermanfaat. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad
Slamet. Membangun kebijakan pembiayaan pendidikan melalui manajemen bisnis
dalam pelaksanaan otonomi daerah. Prosiding seminar nasional otonomi
pendidikan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Ali
Muhdiamnur. Konfigurasi politik pendidikan nasional. Yogyakarta: Pustaka
fahima.
Departemen
Agama RI. UU dan PP RI tentang Pendidikan. Jakarta: Depag RI.
Hasbullah,
Otonomi Pendidikan, Jakarta: Raja grafindo persada.
http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Reformulasi-Otonomi-Pendidikan
akses : 30/03/2009
M. Sirozi, Politik
pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo persada.
[1]
Achmad Slamet. Membangun kebijakan pembiayaan pendidikan melalui manajemen
bisnis dalam pelaksanaan otonomi daerah. Prosiding seminar nasional otonomi
pendidikan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hlm.12-13
[2] Ali
Muhdiamnur. Konfigurasi politik pendidikan nasional. Yogyakarta: Pustaka
fahima. Hlm.142
[3]
Ibid. hlm.143
[4]
Achmad Slamet. Op. Cit. hlm.13-15
[5] Ali
Muhdiamnur. Op. Cit. Hlm.145
[6] Ali
Muhdi Amnur. Ibid. hlm.147
[7]
Hasbullah, Otonomi Pendidikan, Jakarta: Raja grafindo persada. Hlm.12-15
[8] M.
Sirozi, Politik pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo persada. Hlm.207-210
[9] http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Reformulasi-Otonomi-Pendidikan
akses : 30/03/2009
[10] Departemen
Agama RI. UU dan PP RI tentang Pendidikan. Jakarta: Depag RI. Hlm.4-34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar